Saturday, November 27, 2010

PROSPEK LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN DI INDONESIA

Oleh : Suleman Batubara SH., MH


I.             Tinjauan Umum Tentang Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sengketa merupakan fenomena sosial yang senantiasa ada sejak adanya kehidupan manusia di alam fana ini.[1] Hal ini terjadi karena kompleksitas dan keberagaman kepentingan dan kebutuhan manusia.[2] Kompleksitas kebutuhan ini didukung juga oleh krisis moneter yang berkepanjangan yang memaksa semua perusahaan termasuk industri perbankan untuk mengelola perusahaan secara efisien dan ekonomis termasuk dalam hal penyelesaian sengketa yang dialaminya agar tetap eksis di era ini.
Salah satu kiat yang dihadirkan oleh industri perbankan untuk dapat meningkatkan pelayanan, pendapatan serta penghematan biaya operasinya yaitu menghadirkan transaksi bisnis tanpa mengharuskan kehadiran para pihak secara pisik (elektronic banking).[3] Jenis-jenis transaksi ini antara lain; phone banking, kartu kredit, kartu debet, Automatic Teller Machine (ATM), Mobile Banking, dan lain sebagainya.  Kehadiran transaksi ini di satu sisi memang memberikan dampak positif khususnya bagi dunia perbankan saat ini, namun di sisi lain juga menyisakan efek negatif seperti; transaksi bisnis semacam ini sangat rentan dengan masalah (sengketa) karena dalam transaksi model ini sangat mudah untuk melakukan kejahatan misalnya money laundering atau penipuan dan bentuk kejahatan lainnya.
Keadaan ini mengharuskan  dunia internasional membentuk suatu organisasi di bidang perbankan untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut. Salah satu organisasi yang sudah dibentuk untuk mencegah dan mengatasi kejahatan-kejahatan tersebut khususnya money laundering adalah FATF (The Financial Action Task Force).[4]
Transaksi yang demikian di satu sisi memang bias dengan masalah namun di sisi yang lain transaksi model ini juga dapat memberikan efek positif bagi para penggunanya seperti; dapat mempersingkat waktu, menghemat biaya dan dipihak perbankan mereka dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada nasabahnya (customer services).
Besarnya kemungkinan terjadinya sengketa dalam lalu lintas transaksi seperti tersebut di atas, mengharuskan para pihaknya (dalam hal ini industri perbankan) untuk mencari beberapa alternatif penyelesaian sengketanya yang mungkin timbul dikemudian hari. Dalam perkembangannya dewasa ini dikenal beberapa alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut di atas seperti; negosiasi (negosiation), konsiliasi (consiliation), mediasi (mediation), arbitrase (arbitration) serta pengadilan (court).[5]
Pranata penyelesaian sengketa tersebut di atas, apabila dilihat dari sudut metode penyelesaian yang digunakan dalam memeriksa dan memutus sengketanya dapat digolongkan kedalam dua golongan yaitu; metode penyelesaian secara litigasi (lewat pengadilan) dan non-litigasi (di luar pengadilan). Metode penyelesaian sengketa melalui arbitrase (non-litigasi) ini pada kenyataannya sangat diminati oleh kalangan usahawan.[6]
Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang antara lain; arbitrase bukan merupakan hal yang baru lagi bagi masyarakat dewasa ini, adanya nilai tambah (keuntungan) yang dapat diperoleh apabila berperkara melalui lembaga arbitrase apabila dibandingkan dengan berperkara lewat pengadilan. Dengan kata lain berperkara melalui jalur arbitrase dirasakan lebih efektif dan efisien khususnya dalam dunia bisnis.[7]

A.           Dasar Hukum Berarbitrase
Dasar hukum berarbitrase adalah klausula arbitrase. Klausula arbitrase adalah suatu kesepakatan diantara para pihak yang bersengkata yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang berisikan persetujuan mereka untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase yang mereka pilih, dengan kata lain klausula arbitrase merupakan falsafah dan dasar hukum bagi semua pihak untuk menyelesaikan sengketanya lewat jalur arbitrase. Jadi tanpa adanya klausula arbitrase yang sah secara hukum suatu arbitrase tidak dapat dilaksanakan.[8]
Klausula arbitrase ini dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum di sebut dengan istilah perjanjian arbitrase yang pengertiannya sebagai berikut;[9]

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dala suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbulnya sengketa.

 Klausula arbitrase apabila dihubungkan dengan pasal 1320 KUHPerdata  tentang syarat sahnya suatu perjanjian, maka suatu klausula arbitrase yang sah adalah suatu klausula (perjanjian) yang dibuat berdasarkan kesepakatan, para pihak yang membuatnya harus cakap melakukan perbuatan hukum, obyek (isi) klausula arbitrase harus jelas serta klausula arbitrase tersebut tidak melanggar sebab yang halal yaitu; undang-undang, kepatutan, keadilan dan kebiasaan.[10]
Syarat sahnya perjanjian tersebut oleh R. Subekti dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu syarat yang bersifat subyektif dan syarat yang bersifat obyektif.[11] Syarat obyektif mengenai hal tertentu di atas, apabila ditinjau dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 5 menyebutkan bahwa ;[12]

(1)               Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2)               Sengkata yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Pengertian perdagangan yang dimaksud dalam pasal tersebut di atas, dapat dilihat dari penjelasan pasal 66 huruf b menyebutkan bahwa sengketa-sengketa yang dapat diarbitrasekan (obyek) arbitrase adalah sengketa dalam ruang lingkup hukum dagang yaitu sebagai berikut;[13]

Yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain dibidang :
-          perniagaan;
-          perbankan;
-          keuangan;
-          penanaman modal;
-          industri;
-          hak kekayaan intelektual.

Dari penjelasan pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa obyek sengketa arbitrase hanyalah sengketa dalam ruang lingkup hukum perdagangan yaitu; di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal dan industri. Ketentuan ini apabila dikaitkan dengan industri perbankan, maka dapat dikatakan bahwa beberapa jenis sengketa perbankan dapat diarbitrasekan.
Pada pragraf terdahulu syarat sahnya perjanjian ini oleh R. Subekti dikelompokan kedalam dua kelompok yaitu syarat subyektif dan obyektif. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan apabila salah satu dari kedua kelompok syarat sahnya perjanjian tersebut tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian. Menurut beliau suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila suatu perjanjian tidak terpenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.[14]
Pengertian antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum adalah berbeda satu sama lain. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan mempunyai pengertian bahwa terhadap perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan oleh salah satu pihak yang merasa haknya dirugikan dengan keadaan tersebut, dengan kata lain perjanjian tersebut adalah sah apabila tidak dipermasalahkan oleh pihak yang dirugikan.
Suatu perjanjian batal demi hukum mempunyai pengertian bahwa, perjanjian tersebut sejak semula adalah tidak sah meskipun tidak ada upaya pembatalan dari salah satu pihak. Oleh karena itu perjanjian yang batal demi hukum ini sejak semula adalah tidak ada. Jadi secara analogi hak-hak dan kewajiban yang melekat di dalam perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum atau hapus secara otomatis.[15]
Syarat perjanjian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan klausula arbitrase maka klausula arbitrase tersebut harus merupakan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam bentuk tertulis, harus dibuat oleh para pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum, obyek kesepakatan tersebut harus jelas serta harus mengenai sebab yang halal. Jadi suatu klausula arbitrase harus memenuhi keempat syarat tersebut di atas agar klausula arbitrase tersebut sah secara hukum dan dapat mengikat para pihak yang membuatnya.
Klausula arbitrase apabila ditinjau dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 7 yang berbunyi “para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi diantara mereka diselesaikan melalui arbitrase”. Kata menyetujui dalam pasal tersebut membuktikan bahwa suatu sengketa hanya dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase apabila telah sama-sama disetujui para pihak, dengan kata lain tanpa adanya persetujuan dari para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase maka sengketa tersebut tidaklah dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Hal ini sejalan dengan syarat sahnya perjanjian yang disebutkan di atas.
Kata persetujuan dalam pasal tersebut di atas apabila dikaitkan dengan pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 maka persetujuan tersebut harus dalam bentuk tertulis. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dituliskan bunyi dari pasal tersebut yaitu;[16]

(3)         Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak.
(4)         Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam akta notaris.
(5)         Perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat;
a.       Masalah yang dipersengketakan;
b.      Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c.       Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d.      Tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan;
e.       Nama lengkap sekretaris;
f.        Jangka waktu penyelesaian sengketa;
g.       Pernyataan kesediaan arbiter;
h.       Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
(4)Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat batal demi hukum.



Klausula arbitrase apabila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perikatan yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[17] Prinsip ini menurut Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya merupakan asas kebebasan berkontrak (pacta sunservanda).[18] Ketentuan ini apabila dikaitan dengan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian maka suatu klausula yang telah dibuat secara sah (memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian) maka klausula arbitrase tersebut merupakan suatu undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Klausula arbitrase ini dalam prakteknya dikenal dua macam yaitu pactum de compromittendo dan akta kompromis. Dari segi yuridis kedua klausula arbitrase ini adalah sama, unsur pembeda diantara kedua klausula arbitrase ini adalah waktu (timing) pembuatan dari pada klausula arbitrase itu sendiri. Klausula arbitrase dalam bentuk pactum de compromittendo ini dibuat sebelum timbulnya sengketa, sedangkan akta kompromis dibuat setelah timbulnya sengketa. Jadi perbedaan diantara kedua klausula arbitrase ini hanyalah terletak pada saat pembuatannya.

B.                 Keuntungan Berarbitrase
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa arbitrase diminati tidak terlepas dari adanya kelebihan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase itu sendiri apabila dibandingkan dengan lembaga pengadilan dalam hal penyelesaian sengketa. Kelebihan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase ini membawa para pihak yang menggunakannya pada posisi untung. Oleh karena itu pada kenyataannya lembaga ini sangat diminati khusus dikalangan usahawan.
Erman Rajagukguk mengatakan bahwa keuntungan berperkara melaui arbitrase antara lain;[19]

Pertama, pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase di luar negeri karena menganggap system hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. Sebenarnya alasan inipun tidak selalu benar karena mereka bias menunjuk pengacara setempat untuk mewakili mereka di depan pengadilan. Kedua, pengusaha-pengusaha Negara maju beranggapan hakim-hakim dari Negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit. Alasan ini juga sepenuhnya tidak benar karena hakim dapat saja memanggil saksi ahli. Sistem pengadilan tertentu, seperti  Pengadilan Niaga Indonesia memungkinkan pengangkatan hakim ad hoc atau hakim yang diangkat karena keahliannya. Ketiga, pengusaha Negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase untuk beberapa kasus ternyata juga memakan waktu yang lama. Keempat, keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan pengadilan bertolak dari anggapan bahwa pengadilan akan bersikaf subyektif kepada mereka, oleh hakim bukan dari Negara mereka. Kelima, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.


Selain beberapa keuntungan yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa keuntungan lain yang dimiliki oleh lembaga arbitrase ini yaitu;[20]
1.      Arbitrase dapat mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2.      Arbitrase dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa.
3.      Arbitrase dapat memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.
4.      Dalam arbitrase memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak, sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi.
5.      Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.
6.      Bersifat tertutup rahasia (confidential).
7.      Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa depan masih terjalin dengan baik.
8.      Mengurangi merebaknya ”permainan kotor” dalam pengadilan.
Prinsip pemeriksaan yang tertutup untuk umum (disclousure) dalam berarbitrase merupakan suatu keuntungan terbesar bagi para pihak. Pengertian tertutup untuk umum di sini adalah tidak dibolehkannya para pihak maupun arbiter untuk mengimformasikan (expose) segala keterangan maupun rahasia mengenai para pihak. Prinsip ini dapat menjaga nama baik para pihak sehingga pada kelanjutan diharapkan tidak menimbulkan efek negatif bagi para pihak maupun usahanya.
Keadaan ini apabila dikaitkan dengan industri perbankan yang nota bene bermodalkan kepercayaan (trust) masyarakat adalah sangat penting. Dengan kata lain suatu perusahaan di bidang jasa keuangan ini akan bankrut bilamana sudah tidak mendapatkan kepercayaan lagi dari masyarakat.[21] Nasabah akan menarik simpanan atau tabungannya dari bank bersangkutan bilamana ia sudah kehilangan kepercayaan terhadap bank itu. Oleh karena itu lembaga arbitrase ini adalah penting bagi dunia perbankan khususnya dalam penyelesaian sengketa mereka.
Dari uraian tentang keuntungan arbitrase di atas, dapat dikatakan bahwa berperkara lewat arbitrase adalah lebih cepat, hemat dan sederhana bila dibandingkan dengan berperkara lewat pengadilan. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari arbitrase ini apabila diklasifikasikan paling tidak terdapat 3 klasifikasi yaitu; keuntungan dari segi waktu, ekonomi dan kredibilitas.
II.                      Penerapan Arbitrase Dalam penyelesaian Sengketa Perbankan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa perbankan menurut pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan penjelasannya merupakan ruang lingkup sengketa yang dapat diarbitrasekan.[22] Memang tidak semua sengketa perbankan dapat diselesaikan melalui arbitrase, dengan kata lain sengketa perbankan yang dapat diarbitrasekan hanyalah sebatas sengketa yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengkete serta sengketa yang dapat diadakan perdamaian.
Apa yang disebutkan di atas sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi;

(1)               Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hokum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2)               Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.


Dari ketentuan ini dapat dipastikan bahwa tidaklah semua sengketa perbankan dapat diarbitrasekan, akan tetapi tidak sedikit sengketa perbankan yang dapat diarbitrasekan seperti sengketa kredit macet, kredit sindikasi, usaha patungan dan beberapa jenis sengketa lainnya.
Jenis sengketa tersebut pada kondisi perekonomian Indonesia yang carut marut ini menumpuk di beberapa lembaga keuangan yang ada seperti bank. Penumpukan perkara ini, menjadi persoalan tersendiri bagi dunia perbankan dalam artian merupakan suatu tuntutan bagi kalangan industri perbankan saat ini untuk dapat menyelesaiakn sengketanya secara cepat dan hemat biaya agar arus perputaran uang menjadi lancer.
Hal ini penting apabila dikaitkan dengan usaha pokok dari bank yaitu sebagai suatu lembaga yang bergerak di bidang pengumpulan uang dari masyarakat yang selanjutnya didistribusikan kembali kepada mereka sendiri dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.[23] Sudah barang tentu apabila suatu industri perbankan mempunyai banyak sengketa dan mengalami kendala dalam penyelesaiaanya akan menimbulkan kerugian dan kemacetan dalam arus perputaran uang misalnya sengketa kredit macet.
Dengan melihat fenomena di atas, dikaitkan dengan efek negatif yang ditimbulkan dari penumpukan perkara dalam dunia perbankan maka sudah seharunya industri perbankan maupun para usahawan untuk mencari solusi yang tepat, cepat, ekonomis serta efektif untuk memecahkan persoalan tersebut. Hal ini dilakukan untuk dapat menyelamatkan industri tersebut dari resiko yang mungkin timbul dan juga untuk menjaga perusahaan tersebut untuk tetap eksis untuk selamanya.
  
A.                   Keuntungan yang diperoleh industri perbankan dari berarbitrase
Di samping beberapa keuntungan yang disebutkan di atas, masih ada keuntungan lain yang biasa didapatkan dari berperkara lewat arbitrase ini yaitu terjaganya nama baik dari masing-masing pihak. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sifat pemeriksaan dalam lembaga arbitrase yang tertutup untuk umum (disclousure).
Dalam industri perbankan, intekritas merupakan modal dasar untuk majunya industri ini. Kenyataan ini apabila dihubungkan dengan kelebihan berperkara melalui lembaga arbitrase yang dapat menjaga nama baik para pihaknya sangat membantu dunia perbankan.  
Kredibilitas atau nama baik bagi industri perbankan merupakan hal yang sangat penting, karena keadaan ini dapat menentukan maju mundurnya usaha mereka. Dengan kata lain suatu industri perbankan yang sudah tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dengan sendirinya mengakibatkan hancurnya sebuah perusahaan perbankan. Hal ini dikarenakan industri perbankan yang bermodalkan uang rakyat yang disimpan pada lembaga tersebut dalam berbagai macam transaksi baik simpanan, tabungan, deposito maupun bentuk-bentuk transaksi lainnya. Oleh karena itu suatu industri perbankan seharusnya dapat menjaga nama baiknya agar industri ini selamat dan sukses.

B.                   Prospek arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan di Indonesia
Menjamurnya industri perbankan di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam hal regulasi (peraturan) di bidang perbankan ini sendiri. Gebrakan yang dilakukan oleh pemerintah ini memberikan perubahan yang sangat berarti khususnya dalam dunia perbankan. Industri perbankan menjadi sebuah perusahaan idola sehingga perusahaan ini tumbuh dimana-mana dari pusat kota sampai pelosok desa.
Ada beberapa alasan yang menjadikan para usahawan mengidolakan usaha di bidang jasa keuangan ini antara lain; [24]
1.              Dengan dikeluarkannya beberapa regulasi di bidang perbankan ini memudahkan para usahawan untuk mendirikan sebuah bank baik yang menyangkut tentang persyaratan modal, persyaratan menjadi pemegang saham maupun pengurus suatu bank.
2.              Adanya regulasi ini memudahkan para pebisnis melakukan kegiatan bank khususnya dalam hal pengerahan dana dan pemberian kredit.
3.              Dikeluarkannya peraturan tersebut memungkinkan bank untuk melakukan perluasan kantor, pendirian bank nasional atau bank campuran dan peningkatan suatu bank biasa menjadi bank devisa.
Adapun peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah; paket 1 Juni 1983, keuangan, paket 27 Oktober 1988.[25] Dikeluarkannya regulasi ini secara langsung mendorong pertumbuhan industri perbankan. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah ini di satu sisi memang memberikan dampak positif bagi dunia perbankan dan masyarakat pada khususnya dan pada pertumbuhan ekonomi pada umumnya.
Pertumbuhan industri perbankan ini juga tidak terlepas dari kemajuan teknologi khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi. Keadaan ini sangat membantu kalangan industri perbankan, karena dengan kemajuan teknologi ini memungkinkan mereka untuk membuat produk-produk baru di bidang perbankan dan juga dapat meningkatkan pelayanannya (services) terhadap nasabah yang pada akhirnya dapat menambah pendapatan dan kemasukan pada industri tersebut dengan bertambahnya nasabah pada bank tersebut.
Seiring dengan kemajuan teknologi ini, produk atau paket di bidang perbankanpun mengalami kemajuan khususnya dalam hal pelayanan terhadap nasabahnya (customer services). Pelayanan yang diberikan oleh industri perbankan melalui elektronik seperti internet banking ini memungkinkan nasabah melakukan berbagai transaksi tanpa membutuhkan waktu dan pormalitas yang panjang. Kehadiran produk ini disamping memberikan keuntungan bagi nasabah dan juga perusahaan perbankannya sendiri, produk ini juga sangat rentan dengan masalah dan mengandung resiko yang sangat besar khususnya bagi pihak industri perbankan.
Syahril Sabirin mengatakan bahwa e-banking ini, paling tidak mempunyai 4 resiko besar yaitu;[26]
1.      Transaksi dengan sistem semacam ini rawan terhadap manipulasi data dan pembobolan.
2.      Resiko reputasi nama baik bagi industri perbankan sendiri bilamana pelayanan e-bankingnya tidak berjalan dengan baik.
3.      Outsourcing risk dimana bank kerap menggunakan jasa pihak ketiga sebagai internet service provider (ISP), yang tidak tertutup kemungkinan layanan ISP pada suatu waktu mengalami gangguan
4.      Resiko hukum, karena aspek hukum tentang e-banking sampai saat ini belum ada pengaturan yang jelas.
Paparan di atas, menunjukkan betapa pentingnya arbitrase dalam industri perbankan  saat ini. Dikatakan penting karena berperkara melalui jalur arbitrase dapat memberikan solusi juga dapat memberikan nilai tambah bagi usahanya sendiri. Melihat keadaan di atas, sudah semestinya kalangan industri perbankan juga usahawan untuk membudayakan lembaga arbitrase ini dalam dunia mereka.

III.                   Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sangat membantu dan menguntungkan semua pihak dalam hal ini industri perbankan. Adapun keuntungan-keuntungan tersebut antara lain;
1.      Dapat mengatasi penumpukan perkara.
2.      Dapat memperlancar kinerja pada industri perbankan.
3.      Dapat menghemat biaya dan waktu.
4.      Dapat menjaga nama baik industri perbankan sendiri.
5.      Dapat menjaga hubungan baik dengan nasabahnya.  


[1]Adi Sulistiyono, “Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution Dalam Perspektif Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 25. 71.
[2]Ibid.
[3]Erman Rajagukuguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia”, (Pidato Pada Dies Natalis     Universitas Sumatera Utara, Depok, 20 Nopember 2002). hal. 4. 

[4]PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Cet. Ke-1, (Jakarta :PPATK, 2003), hal. 1.
[5]Gary Goodpaster, “Arbitrase di Indonesia”, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, Cet. Ke-1. Editor. Felix. O. Soebagio, Co-Editor Erman Rajagukguk, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hal. 11.
[6]Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. Pasal 1. butir 1, sedangkan menurut R. Subekti arbitrase adalah penyelesaian sengketa atau pemusatan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau yang ditunjuk tersebut. R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Cet. Ke-1. (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1981), hal. 1. 
[7]Hikmahanto Juwana, “Urgensi Pengaturan Arbitrase Dalam Undang-Undang Pasar Modal”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 14. 62.
[8]Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit.
[9]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, pasal 1. butir 3.
[10]Ibid.
[11]Syarat subyektif menyangkut para pihak dalam perjanjian tersebut sedangkat syarat subyektif menyangkut obyek dari perjanjian itu sendiri. R. Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. Ke-18, (Jakarta : pt intermasa, 2001), hal. 17.
[12]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. pasal. 5.
[13]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. penjelasan. ps. 66. 
[14]Ibid.
[15]Ibid.
[16]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. pasal. 9.
[17]KUHPerdata, ps. 1338.
[18]Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Det. Ke-1 (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 60. 
[19]Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Cet. Ke-1. (Jakarta : Chandra Pratama, 2000), hal. 1-4.
[20]Adi Sulistiyono, Op. Cit. hal. 73.
[21]Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Cet. Ke-1. (Bandung : Book Terrace & Library, 2005), hal. 12.
[22]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, pasal 66 dan penjelasannya.
[23]Zulkarnain Sitompul, Op. Cit.
[24]Infobank, Edisi Khusus Juni No. 263/2001, hal. 14.
[25]Ibid.
[26]Sahril Sabirin, “Urgensi Regulasi Dalam Internet Banking”, Disampaikan Dalam Seminar, Aspek Hukum Internet Banking Dalam Kerangka Hukum Teknologi Informasi. Bandung, 13 Juli 2001. hal. 2.

No comments:

Post a Comment