Saturday, November 27, 2010

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG INVESTOR MEMILIH PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE (ICSID) DARI PADA PENGADILAN


Oleh : Suleman Batubara SH., MH

A.           Pengantar
Dalam perkembangannya para pelaku ekonomi (investor) cenderung memilih jalur non-litigasi dalam penyelesaian sengketanya, seperti; negosiasi,[1] mediasi,[2] konsiliasi dan arbitrase.[3] Diminatinya lembaga arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa penanaman modal asing atau sengketa dagang internasional dikarenakan beberapa hal antara lain:[4]
a.             Proses beracara melalui litigasi biasanya memakan waktu yang relatif cukup lama, karena proses peradilan mengenal tingkat pertama hingga tingkat kasasi dan bahkan peninjauan kembali.[5]
b.            Hukum acara peradilan yang bertele-tele, rumit dan birokratis menimbulkan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ini memakan biaya yang mahal dan waktu yang cukup lama sehingga menimbulkan biaya yang cukup mahal.
c.             Prinsip tertutup yang diterapkan dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase.[6]
d.            Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, prinsip ini memberikan pengertian bahwa suatu putusan arbitrase akan dapat langsung dilaksanakan segera setelah putusan tersebut dijatuhkan, walau dalam prakteknya prinsip ini tidak selamanya benar.
e.             Adanya kebebasan bagi para pihak untuk memilih arbiternya sendiri yang dianggap cakap menyelesaikan sengketa.
f.              Sifat putusan yang diberikan arbiter dalam arbitrase biasanya lebih bersifat win-win solution bukan menang-kalah (win-lose) seperti putusan hakim dalam pengadilan.[7]
g.             Prinsip dasar pengambilan keputusan dalam arbitrase yang didasarkan pada kepatutan (ex aequo et bono), keadilan serta kepentingan para pihak yang bersengketa.
h.             Citra dunia peradilan yang tidak baik. Hal terakhir ini merupakan salah satu alasan dasar bagi pelaku ekonomi dalam menghindari lembaga pengadilan. Penyalahgunaan kewenangan, profesionalisme dan sikaf berat sebelah adalah irama yang sering kita temui di dunia peradilan khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, investor asing merasa alergi terhadap hukum dan pengadilan Indonesia.

Erman Rajagukguk, dalam bukunya Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan menyebutkan beberapa alasan kalangan usahawan memilih lembaga arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa mereka adalah sebagai berikut:[8]

Pertama, karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim dari negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit. Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung. Keempat, Adanya anggapan bahwa pengadilan di Indonesia akan bersikaf subyektif kepada mereka karena hakim yang memeriksa dan memutus sengketa bukan dari negara mereka. Kelima, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka. Keenam, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Dalam penjelasan Undang-undang arbitrase dan ADR sendiri, sebagaimana terdapat dalam alinea keempat, bagian umum, menyebutkan beberapa kelebihan arbitrase:[9]

a.             dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b.            dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena masalah dan administratif;
c.             para pihak dapat memilih arbiter yang mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d.            para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e.             putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tara cara (prosedur) sederhana saja atau pun langsung dapat dilaksanakan.

Kelebihan-kelebihan arbitrase yang termuat pada bagian Penjelasan Umum di atas, dikuatkan lagi dalam pasal-pasal  Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Di bawah ini, akan diuraikan  secara lebih dalam kelebihan-kelebihan arbitrase tersebut.

1.      Kerahasiaan
Prinsip tertutup yang diterapkan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan suatu penyimpangan dari hukum acara yang berlaku di pengadilan yang pada prinsipnya terbuka untuk umum.[10] Hal ini ditujukan agar image  dan integritas para pihak yang bersengketa tetap terjaga.
Sebagai perbandingan, prinsip kerahasiaan ini, apabila ditinjau dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), salah satunya dapat dilihat di dalam penjelasan umum paragrap empat yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase akan dijamin kerahasiaan para pihak.[11] Hal yang sama juga dapat dilihat dari isi Pasal 27 undang-undang yang sama. Dalam pasal ini disebutkan bahwa, semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.[12]
Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip kerahasiaan dalam berarbitrase adalah dijamin oleh undang-undang. Prinsip ini dapat saja disimpangi oleh para pihak sepanjang hal tersebut disepakati.
Penerapan prinsip rahasia, dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase ditujukan untuk menjaga image dan integritas para pihak yang bersengketa. Dengan terjaganya image dan integritas para pihak ini, diharapkan prospek usahanya tetap terjaga, sehingga para pihak masih dapat menjalankan usahanya dengan baik.[13]

2. Proses Cepat dan Biaya Murah
Penyelesaian sengketa secara cepat dan biaya murah tentunya merupakan harapan bagi semua pihak yang mengalami suatu perkara. Oleh sebab itu, proses arbitrase dibuat sesederhana mungkin oleh para pihak. Sebagai contoh, dalam menyusun suatu kontrak, para pihak dapat mencantumkan klausul penyelesaian perselisihan dalam dua tahap, yaitu negosiasi dan arbitrase. Dengan kata lain, jika terjadi perselisihan maka para pihak akan menyelesaikannya terlebih dahulu dengan negosiasi. Jika negosiasi tidak berhasil, maka sengketa akan diserahkan kepada arbitrase.
Prinsip cepat dalam berarbitrase,  dapat dilihat dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang menyebutkan:[14]

(1)               Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk.
(2)               Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang.


Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa, prinsip cepat dan biaya murah dalam berarbitrase merupakan salah satu kelebihan arbitrase apabila dibandingkan dengan pengadilan. Namun menyangkut proses arbitrase ICSID, proses arbitrase yang diasumsikan cepat, ternyata tidak terlaksana. Sebagai contoh adalah kasus AMCO Asia v. Republic of Indonesia yang dalam penyelesaian sengketanya memakan waktu hampir tujuh tahun.

3.            Putusan Arbitrase Bersifat Final dan Mengikat
Putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final dan binding, final diartikan bahwa terhadap putusan arbitrase tertutup untuk melakukan upaya hukum baik banding ke Pengadilan Tinggi ataupun kasasi ke Mahkamah Agung.[15] Sifat putusannya yang final dan binding ini lebih memungkinkan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase secara cepat. Sifat putusan arbitrase ini berbeda dengan putusan pengadilan. Dengan kata lain, suatu putusan pengadilan, dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali.[16]
Hal ini merupakan salah satu yang menyebabkan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase cenderung lebih cepat dari pada berperkara melalui lembaga pengadilan.[17] Sifat final dan binding yang dimiliki oleh putusan arbitrase ini diharapkan dapat mempercepat dan mempermudah pelaksanaan dari putusan arbitrase itu sendiri, sehingga dengan demikian dapat menguntungkan para pihak baik dari segi waktu maupun secara finansial.
Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) pasal 6 ayat (7) disebutkan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat.[18] Prinsip ini kemudian dikuatkan kembali oleh pasal 60 undang-undang yang sama.[19] Begitu juga Arbitrase ICSID, putusan dari arbitrase ini juga bersifat final dan mengikat, seperti tercantum dalam article 53 Konvensi ICSID, yang berbunyi sebagai berikut:[20]
(1)         The award shall be binding on the parties and shall not be subject to any appeal or to any orther remedy except those provided for inthis Convention. Each party shall abide by and comply with the tirms of the award except to the extent that enforcement shall have been stayed pursuant to the relevant provision of this Convention.
(2)         For the purpose of this Section, “award” shall include any decision interpreting, revising or annuling such award pursuant to Article 50, 51 or 52.


Melihat Article 53 ICSID Convention tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa, Arbitrase ICSID juga menganut prinsip final dan binding ini terhadap putusan yang dikeluarkannya. Hal terlihat jelas dari kata the award shall be binding sebagaimana terdapat dalam article tersebut.

4.       Kebebasan Memilih Arbiter
            Apabila ditelaah dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka (7) arbiter diartikan sebagai berikut:[21]

Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.


Melihat fungsi dan peranan arbiter dari pengertian arbiter tersebut di atas, sudah barang tentu dalam memilih seorang arbiter harus didasarkan pada keahlian, integritas, profesionalime dan akuntabilitas. Hal ini dilakukan agar tujuan dari arbitrase dapat tercapai dengan baik. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) ditentukan bahwa syarat-syarat arbiter adalah sebagai berikut:[22]

1.         Cakap melakukan tindakan hukum;
2.         Berumur minimum 35 tahun;
3.         Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
4.         Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lainnya atas putusan arbitrase; dan
5.         Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya minimun 15 tahun dan bukan merupakan pejabat peradilan.

Dalam arbitrase pemilihan arbiter pada prinsipnya  diserahkan kepada para pihak, yang didasarkan pada kesepakatan mereka. Namun, apabila diantara para pihak tidak menemukan kesepakatannya tentang ini, maka atas permohonan para pihak dapat meminta pengadilan untuk memilih dan mengangkat seorang arbiter.[23] Begitu juga sebaliknya, apabila salah satu pihak tidak setuju atas seorang arbiter yang telah diangkat, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keberatannya pada pengadilan.[24]
Diberikannya kebebasan bagi para pihak untuk memilih sendiri arbiternya sudah barang tentu sangat menguntungkan para pihak. Dengan perkataan lain, adanya kebebasan dalam memilih arbiter ini, memungkinkan para pihak untuk menemukan orang yang tepat untuk menyelesaikan sengketa mereka. Kearifan dalam memilih arbiter ini, jelas berdampak, pada obyektifitas dan kualitas putusan.
Dalam ICSID Convention, ketentuan mengenai pemilihan arbiter ini diatur dalam article 37, sebagai berikut:[25]

(1)   The Arbitral Tribunal (here in after called the Tribunal) shall be costitued as soon as possible after registration of a request pursuant to article 36.
(2)   (a) The Tribunal shall be consist of a sole arbitrator or any uneven number of arbitrators appointed as the parties shall agree.
(b) Where the parties do not agree upon the number of arbitrators and the method of their appoinment, the Tribunal shall consist of three arbitrators, one arbitrator appointed by each party and the third, who shall be the president of the Tribenunal, appointed by agreement of the parties.


               Dengan demikian, dalam Arbitrase ICSID, arbiter ICSID bisa tunggal atau lebih sebagaimana disetujui oleh para pihak. Apabila para pihak tidak sepakat terhadap jumlah dan cara pengangkatan arbiter, Dewan arbiter terdiri dan tiga orang. Dimana masing-masing pihak mengangkat satu orang, dan kedua orang arbiter yang diangkat oleh para pihak tersebut, mengangkat satu orang arbiter lain yang sekaligus menjadi ketua arbitrase. Pengangkatan mana didasarkan pada kesepakatan para pihak.


[1]Negosiasi adalah  suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau kesepahaman kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan. Ahmad Zakaria, http://www.ahmadzakaria.net, Negosiasi: Suatu Pengantar Teori Praktis. Diakses, 23 Januari 2008.
[2]Secara umum mediasi sebenarnya merupakan bentuk dari dari proses alternatif dispute resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa. Penyebutan alternatif penyelesaian sengketa ini dikarenakan mediasi merupakan satu alternatif penyelesaian sengketa di samping pengadilan yang bersifat tidak memutus, cepat, murah dan memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan. Dalam proses mediasi ini juga dibantu oleh pihak ketiga yang netral (mediator) yang dipilih oleh para pihak. MaPPI FHUI, http://www.pemantauperadilan.com, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Diakses, 23 Januari 2008.
[3]Ada jauh lebih banyak lagi jenis altenatif penyelesaian sengketa ini, tetapi hanya ketujuh inilah yang paling sering dibicarakan. Namun, Pasal 1, angka 10, Undang-undang Arbitrase dan ADR hanya mengenal empat di antaranya di luar arbitrase. Menurut Pasal tersebut, “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli.” Chaterine Tay Swee Kian, Resolving Disputes by Arbitration (Singapore: Ridge Books, 1998). Hal. 4.
[4]Eman Suparman melihat bahwa perubahan itu sesungguhnya telah terjadi pada tataran yang lebih rendah (keputusan atau peraturan pemerintah), bukan tataran primer (undang-undang), melalui paket-paket deregulasi. Besar dugaan bahwa perkembangan pada tingkat bawah ini telah mempengaruhi penataan hukum nasional. Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan (Jakarta: PT Tatanusa, 2004). Hal. 1-2.
[5]Menurut beberapa pandangan, tuduhan ini tidak selalu benar karena penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam beberapa kasus ternyata memakan waktu yang lama. Bahkan, di negara-negara tertentu, proses peradilan dapat berlangsung lebih cepat daripada proses arbitrase. Bandingkan dengan alinea kelima, Bagian Umum, Penjelasan Undang-Undang tentang Arbitrase dan ADR. Lihat juga Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan (Jakarta: Chandra Pratama, 2000). Hal. 1.
[6]Sidang pemeriksaan di pengadilan pada dasarnya terbuka untuk umum. Artinya, setiap orang boleh menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan. Tujuannya ialah untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi menusia dan lebih menjamin objektivitas, sebagaimana diatur Pasal 17-18 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 179 ayat (1) dan 317 HIR jo. Pasal 190 Rbg. Bahkan, putusan yang diucapkan dalam sidang yang tidak terbuka dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan putusan itu batal demi hukum. Namun, apabila undang-undang menentukan lain atau ada alasan-alasan penting dari majelis hakim, persidangan dilakukan dengan tertutup (Pasal 17 Undang-undang No. 14 Tahun 1970). Pemeriksaan perkara perceraian dan perzinahan, misalnya, dilaksanakan dengan tertutup. Bandingkan dengan Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogjakarta: Penerbit Liberty, 1999). Hal. 13.
[7]Bahkan, walaupun sering dikatakan lembaga arbitrase mengambil putusan berdasarkan bukti sama seperti litigasi, penelitian terhadap arbiter-arbiter American Arbitration Association mengatakan bahwa 75% di antara mereka mengambil putusan berdasarkan konsensus. Hanya tiga arbiter mengungkapkan perbedaan pendapat diselesaikan melalui voting. Lihat Erman Rajagukguk, Op. Cit. Hal. 2.
[8]Ibid.
[9]Bahkan, pakar hukum lain mengurutkan dua belas kelebihan arbitrase terhadap pengadilan. Walaupun Undang-undang Arbitrase dan ADR ini menyebutkan setidaknya lima keunggulan arbitrase terhadap peradilan, di bagian lain, tepatnya dalam Penjelasan, Bagian Umum, alinea kelima, dengan jelas diungkapkan bahwa sebetulnya satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya tidak dipublikasikan. Itu berarti bahwa keempat butir lainnya masih merupakan kelebihan semu. Munir Fuady, “Penyelesaian Sengketa Bisnis melalui Arbitrase,” Jurnal Hukum Bisnis, vol. 21 (Oktober-November 2002). Hal. 92.
[10]“Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja”, http://www.pin.co.id./fokus/ArtikelTunggal.asp?Artikel=241, Diakses, 16 Juni 2006.
[11]Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Penjelasan umum.
[12]Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Pasal 27.
[13]Magdir Ismail,Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Australia, Cet. Ke-1 (Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia, 2007). Hal. 69. 
[14]Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Pasal 48.
[15]Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) juga bersifat final dan binding. Oleh sebab itu, menurut BANI para pihak terikat pada putusan tersebut. Dengan perkataan lain, tindakan para pihak yang bertentangan dengan putusan BANI dianggap sebagai pelanggaran. “Pendapat Yang Mengikat & Klausula Arbitrase”, http://www.bani-arb.org/bani_pendapat_ind.htm, Diakses, 4 April 2008.
[16]Prinsip final dan mengikat yang dimiliki oleh suatu putusan arbitrase, menjadikan putusan arbitrase tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok.”Kemungkinan Diajukannya Perkara Dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan”, http://www.jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/klausul-arvitrase-dan-pengadilan_18,html., Diakses, 4 April 2008.  
[17]Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, Arbitrase di Indonesia. Cet. Ke-1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995). Hal. 19-21.
[18]Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Pasal 6 ayat (7).
[19]Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) pasal 60 dinyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Pasal 60.
[20]International Center for Settlement of Investment Disputes, chapter IV, article 53.
[21]Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Pasal 1 angka (7).
[22]Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Pasal 12 ayat (1).
[23]Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Pasal 13.
[24]Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Pasal 22.
[25]International Center for Settlement of Investment Disputes, chapter IV, article 37.

2 comments: