Saturday, November 27, 2010

MAKNA KEMERDEKAAN DAN KEBEBASAN PERS DITINJAU DARI HUKUM PIDANA (CONTEMPT OF COURT)


Negara Indonesia adalah negara hukum dengan sistem pemerintahan demokrasi. Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah adanya jaminan atau perlindungan bagi rakyatnya untuk dapat dengan bebas dan merdeka dalam mengeluarkan pendapat maupun ide-idenya, serta adanya jaminan dan perlindungan hukum pada pihak yang menjadi korban dari pelaksanaan kemerdekaan menyatakan pendapat tersebut.[1]
Dalam konteks negara demokrasi, kebebasan mengeluarkan ide-ide, pikiran maupun pendapat merupakan salah satu hak asasi dari rakyatnya yang harus dilindungi oleh negaranya. Dalam negara Indonesia, nilai-nilai kebebasan pers telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Apa yang disebutkan di atas, dimana baik pihak yang mengeluarkan pendapat maupun pihak yang menjadi obyek pemberitaan (korban) tersebut harus mendapat perlakuan dan perlindungan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan merupakan salah satu prinsip dari negara demokrasi. Asas persamaan dihadapan (equality before the law) tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk insan pers. Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku di Indonesia.
Ketentuan ini diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1).
Hubungan antara rakyat Indonesia dengan pemerintahnya terhadap kemerdekaan menyatakan pendapat, maka hukum yang dibentuk oleh pemerintah harus mampu untuk mengatur dan mencegah terjadinya tindakan yang sewenang-wenang. Hukum harus mampu menjamin hak rakyatnya dan yang lebih penting lagi adalah kekuasaan pemerintah semata-mata harus mengabdi pada hukum.
Dari paparan singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa persoalan yang esensil dalam kebebasan pers ini adalah adanya kontradiksi antara kebebasan pers, makna negara hukum serta hukum pidana (contempt of court) yang berlaku di Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, maka dalam makalah ini, yang akan dijadikan fokus pembahasan adalah bagaimana kebebasan pers bila ditinjau dari makna negara hukum, prinsip demokrasi serta  kaitannya dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia?.

A.           Negara Hukum dan Kaitannya Dengan Kebebasan Pers
            Perubahan paradigma sosial, ekonomi, politik dan hukum secara tidak langsung telah memberikan pemaknaan tersendiri terhadap Indonesia sebagai negara hukum. Pergesekan antara nilai-nilai lama kepada nilai-nilai baru akibat arus globalisasi kadang kala menjadi suatu masalah sosial dan hukum. Hal inilah yang sejak lama telah menjadi persoalan krusial yang dialami bangsa Indonesia.
            Arus globalisasi dalam hubungannya dengan perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Hal tersebut menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah karena hal tersebut merupakan bagian dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum.[2]
Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan hukum, dan tanggung jawab profesi. Pers dalam menjalankan perannya itu harus professional selalu terbuka, dikontrol oleh masyarakat. Profesional yang dimaksudkan adalah pers dalam menjalankan tugas jurnalistik tidak bisa lari dari kode etik jurnalistik yang berlandaskan hati nurani kebenaran dan UU pers. Sedangkan kontrol masyarakat disini adalah, setiap orang mendapatkan jaminan hak jawab dan hak koreksi atas kekeliruan pemberitaan pers.[3]
Dalam pengertian di atas, dihubungkan dengan negara Indonesia sebagai negara hukum yang mana setiap rakyatnya mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (tanpa ada pembedaan), semestinya insan pers dalam melakukan aktivitasnya memang harus dijamin kebebasannya oleh hukum dan pada saat yang bersamaan kepada mereka diberikan tanggungjawab atas segala sesuatu perbuatan (pemberitaan mereka). Dengan perkataan lain, kebebasan pers tidaklah mutlak melainkan dibatasi oleh hukum, ketertiban umum dan etika profesi.[4]

B.             Contempt of Court dan Pengaruhnya Terhadap Kebebasan Pers
Contempt of Court adalah suatu mekanisme hukum yang pertama kali timbul dalam sistem Common Law dengan case law-nya, diantaranya adalah Inggris dan Amerika Serikat. Menurut sejarah, Contempt atau penghinaan merupakan perbuatan dalam menentang setiap perintah langsung raja atau setiap penentangan langsung kepada raja atau perintahnya.[5]
Di Indonesia, istilah contempt of court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4, yaitu sebagai berikut;[6]
 “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelanggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, maka perlu dibuat suatu Undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”.

Adanya pengaturan contempt of court dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ditujukan untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia.
Menurut Prof. Oemar Seno Adji, S.H. Terdapat 5 (lima) bentuk konstitutif dari Contempt of Court, yaitu;[7]
1.               Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi (sub judice rule);
2.               Tidak mematuhi perintah pengadilan (disobeying a court order);
3.               Mengacaukan peradilan (obstructing justice);
4.               Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (scandalizing the court);
5.               Tidak berkelakuan baik dalam pengadilan (misbehaving in court).
Dalam upaya untuk mencegah terjadinya contempt of court ini semestinya para jurnalis dalam melakukan kegiatannya harus menyadari beberapa hal;[8]
  1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah loyalitas kebenaran.
  2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah warga masyarakat.
  3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi
  4. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
  5. Jurnalis harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga
  6. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan
  7. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional
  8. Para praktisi pers harus mengikuti jati nurani Selain itu, wajib menghormati kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat, yakni :
·        Norma Agama
·        Rasa Kesusilaan
·        Azaz praduga tak bersalah
Dalam upaya mendorong terciptanya dunia pers yang bertanggungjawab dan profesional Dewan Pers dalam kebijakannnya menetukan kode etik pers sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000, yang meliputi hal-hal sebagai berikut;[9]
A.         Wartawan Indonesia Menghormati Hak Masyarakat Untuk Memperoleh Informasi Yang Benar.
B.         Wartawan Indonesia Menempuh Tatacara Yang Etis Untuk memperoleh Dan Menyiarkan Informasi Serta Memberikan Identitas Kepada Sumber Informasi.
C.         Wartawan Indonesia Menghormati Asas Rraduga Tak Bersalah, Tidak Mencampurkan Fakta Dengan Opini, Berimbang, Dan Selalu Meneliti Kebenaran Informasi Serta Tidak Melakukan Plagiat.
D.         Wartawan Indonesia Tidak Menyiarkan Informasi Yang Bersifat Dusta, Fitnah, Sadis, Cabul, Serta Tidak Menyebutkan Identitas Korban Kejahatan Susila.
E.          Wartawan Indonesia Tidak Menerima Suap Dan Tidak Menyalahgunakan Profesi.
F.          Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, Menghargai Ketentuan Embargo, Informasi Latar Belakang, Dan Off The Record Sesuai Kesepakatan.
G.         Wartawan Indonesia Segera Mencabut Dan Meralat Kekeliruan Dalam Pemberitaan Serta Melayani Hak Jawab.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kode etik pers tersebut di buat dan dibentuk semata-mata untuk menciptakan dunia pers yang profesional dan bertanggung jawab. Hal ini dilakukan karena menurut JE Sahetapy, pers  bisa dikategorikan sebagai pelaku invisible criminal karena dampak pemberitaan bisa merugikan masyarakat (seperti keresahan, balas dendam, main hakim sendiri dan lain-lain) tanpa perlu takut dicap sebagai pelaku kriminal karena ada hak jawab atau hak koreksi.
Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku di Indonesia. Tertib hukum hanya dapat diperoleh bila hukum itu sendiri dapat juga menjaga adanya freedom of the individual dan protection of the community, antara kebebasan dan social control sekaligus menjamin adanya persamaan hak bagi setiap orang menurut undang-undang (equality before the law).[10]

C.                 Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa antara kebebasan pers, negara hukum dan contempt of court dalam hukum pidana merupakan persoalan yang dilematis. Dengan perkataan lain, kebebasan pers di satu sisi merupakan makna dari negara hukum dan aktualisasi dari prinsip negara demokrasi. Di sisi lain, kebebasan pers ini bias dengan penyalahguaan kewenangan oleh berbagai pihak khususnya insan pers. Kebebasan pers ini juga menjadi persoalan penting dalam hukum pidana, khususnya dalam bahasan contempt of court.
Persoalan kebebasan pers ini, bila ditinjau baik dari aspek negara hukum, makna kebebasan dan prinsip demokrasi serta hukum pidana (contempt of court) dapat dikatakan semuanya berasal dari ketiadaan pengertian (penafsiran) serta hukum atau peraturan yang jelas dan tegas yang mengatur tentang kebebasan pers dan juga contempt of court itu sendiri.

D.        Saran
1.          Pengaturan Contempt of Court  semestinya tidak perlu dibuat dalam undang-undang secara khusus, akan tetapi diatur secara khusus pada satu bab dalam KUHP. Dengan demikian pengaturan mengenai Contempt of Court menjadi lebih jelas dan sistematis sehingga sehingga di samping lebih mudah untuk dipahami, juga terjamin sistematisasinya.
2.          Penambahan contempt of court dalam KUHP harus secara jelas (redaksi pasal mengenai unsur-unsur delik, sanksi dan lain-lain) untuk mencegah multi tafsir dan makna ambigu sehingga pada tahap implementasinya selain efektif juga tidak disalahgunakan dan disalahartikan oleh berbagai pihak.
Penambahan pasal contempt of court dalam KUHP harus sesuai dengan tujuan, fungsi dan kegunaan dari contempt of court yaitu untuk menjamin terlaksananya proses peradilan yang cepat, sederhana, murah dan efisien, serta terjaganya wibawa pengadilan sebagai lembaga lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman.


[1]Rudy Satrio Mukantardjo, “Tindak Pidana Pers Dalam RKUHP Nasional”, http://www.eslam.or.id/KUHP/, Diakses, Jum’at, 18 Mei 2007.
[2]“Kebebasan Pers Dalam Perspektif Pidana Ditinjau Dari RUU KUHP”, http://www.duniaesai.com, Diakses, Jum’at, 18 Mei 2007.
[3]Lisa Anggraini, Ibid.
[4]Tjipta Lesmana, “Kebebasan dan Tanggung Jawab Pers Harus Berimbang”, http://www.sinarharapan.com.id, 3 Agustus 2003.
[5]MaPPI, “Suatu Tinjauan Tentang Contemp of Court”, http://www.pemantauperadilan.com, 9 Desember 2003.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Lisa Anggraini, “Penyelesaian Persoalan Pers Melalui Mekanisme Pers”, http://www.elsam.or.id/KUHP/, 21 September 2006.
[9]Yulizar Fahrul, “Kebebasan Pers Dalam Reformasi Hukum”, http://www.lampung.polri.go.id, Diakses, Jum’at, 18 Mei 2007.
[10]“Amir Syamsuddin, “Kebebasan Pers dan Ancaman Hukuman Terhadap Pers”, http://www.suarapembaruan.com., 23 Februari 2005. 

No comments:

Post a Comment