Sunday, November 28, 2010

PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA (Studi PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare)


Oleh: Suleman Batubara, SH., MH

A. Uraian singkat kasus
            Dalam putusan kasus PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare No. 2944 K/Pdt/1983 ini Mahkamah Agung dalam putusannya tidak menguraikan tentang perjanjian pokok antara PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare yang merupakan dasar bagi para pihak dalam mengajukan maupun membantah suatu klaim atau gugatan. Selain itu dalam putusan ini juga Mahkamah Agung tidak menguraikan tentang latar belakang terjadinya sengketa tersebut.
Dalam putusan ini, hanya dijelaskan bahwa antara PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare telah terjadi sengketa dan oleh Navigation Maritime Bulgare telah membawa sengketa tersebut pada sebuah lembaga arbitrase di London sebagai forum penyelesaian sengketa yang mereka pilih sebagaimana tertuang dalam perjanjian mereka. Oleh arbiter atau para arbiternya pada lembaga arbitrase ini telah menjatuhkan putusannya yaitu; mewajibkan PT. Nizwar untuk membayar uang sejumlah US$ 72.576.39 (tujuh puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh enam 39/100 United States Dollars), membayar bunga sebesar 7 ½ % setiap tahunnya terhitung sejak tanggal 1 Januari 1975 sampai lunas dibayar dan biaya arbitrase f  250,- (dua ratus lima puluh pound sterling).
            Dalam bukunya Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan. Diuraikan bahwa sengketa tersebut di atas timbul  dari Charterparty (perjanjian sewa kapal/Rakovski antara PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare) yang mereka buat pada tanggal 5 Juli 1974. Dalam perjanjian ini Navigation Maritime Bulgare telah menyewakan kapalnya (Rakovski) kepada PT. Nizwar untuk suatu perjalanan dari Jugoslavia ke Indonesia.[1] Pada tahap pelaksanaannya perjanjian tersebut ternayata mengalami sengketa dimana PT. Nizwar mengalami kelebihan berlabuh dan oleh karenanya pihak Navigation Maritime Bulgare mengajukan klaimnya pada lembaga arbitrase di London tersebut.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa oleh arbiter atau para arbiter dalam lembaga arbitrase yang mereka pilih ini telah memberikan putusannya yaitu; mewajibkan PT. Nizwar untuk membayar uang sejumlah US$ 72.576.39 (tujuh puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh enam 39/100 United States Dollars), membayar bunga sebesar 7 ½ % setiap tahunnya terhitung sejak tanggal 1 Januari 1975 sampai lunas dibayar dan biaya arbitrase f  250,- (dua ratus lima puluh pound sterling). Perlu diketahui bahwa PT. Nizwar adalah suatu perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Indonesia sedangkan Navigation Maritime Bulgare adalah suatu perusahaan yang berkedudukan dan tunduk pada hukum Bulgaria.
Pada tanggal 27 Agustus 1979 Navigation Maritime Bulgare sebagai pihak yang dimenangkan dalam arbitrase di London ini mengajukan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase London (asing) tersebut pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar terhadap putusan arbitrase asing ini dapat diakui dan dilaksanakan (eksekusi) di Indonesia.[2] Dalam permohonannya ini Navigation Maritime Bulgare mendalilkan bahwa berdasarkan Staatsblad 1933-131 yo. 132 yo. dan Konvensi Geneva 1927, suatu keputusan arbitrase asing (luar negeri) mempunyai kekuatan hukum sebagai keputusan akhir pengadilan yang dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri di Indonesia, setelah memperoleh fiat executie. Sementara pihak PT. Nizwar sebagai pihak termohon (pihak yang dikalahkan dalam arbitrase di London) memberikan jawabannya dengan menyebutkan bahwa PT. Nizwar tidak pernah menandatangani suatu perjanjian dengan Navigation Maritime Bulgare. Di samping itu menurut PT. Nizwar Staatsblad 1933-131 yo. 132 yo. 133 tidak berlaku di Republik Indonesia dan Republik Indonesia tidak terikat oleh perjanjian-perjanjian yang dalam zaman kolonial diperlakukan oleh Netherlands untuk Hindia Belanda.
            Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya telah memberikan pertimbangannya antara lain; bahwa berdasarkan pasal 5 Peraturan Peralihan dari Konferensi Meja Bundar (KMB) berkenaan dengan pengalihan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia dan Peraturan Presiden No. 2 tanggal 15 Oktober 1945, maka persetujuan-persetujuan internasional yang berlaku untuk wilayah Republik Indonesia pada saat penyerahan kedaulatan tetap berlaku untuk Republik Indonesia termasuk Konvensi Geneva yang tercakup dalam konsideran Staatsblad 1933-1932 yo. 133, kecuali apabila Republik Indonesia telah membatalkannya. Atas dasar pertimbangan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan dengan mengabulkan permohonan Navigation Maritime Bulgare, memerintahkan PT. Nizwar untuk melaksanakan putusan arbitrase London dan menghukum termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 4.300,- (empat ribu tiga ratus rupiah).
            Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini tidak diterima oleh PT. Nizwar, hal ini terlihat dengan dilakukannya upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia oleh PT. Nizwar sendiri. Mahkamah Agung dalam putusannya telah menolak upaya hukum kasasi ini dengan menyatakan bahwa upaya hukum kasasi tersebut tidak dapat diterima oleh karena tidak adanya risalah atau memori kasasi yang memuat alasan-alasan dari pemohon kasasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung Republik Indonesia.
            Dalam putusannya Mahkamah Agung selain memberikan pertimbangan tersebut di atas, lembaga ini juga memberikan pertimbangan hukum tambahan demi menjamin kepastian hukum dalam hubungannya dengan Konvensi New 1958 (Convention on the Recognation and enforcement of Foreign Arbitral Award) sebagai berikut;
  1. Bahwa pada azasnya sesuai dengan yurisprudensi di Indonesia, suatu putusan Pengadilan Asing dan putusan Hakim Asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia kecuali kalau antara negara Republik Indonesia dan Negara Asing yang bersangkutan diadakan perjanjian tentang pelaksanaan putusan Pengadilan Asing/Putusan Hakim Arbitrase Asing;
  2. Bahwa meskipun menurut pasal 5 Peraturan Peradilan dari perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) perihal penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia, perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku untuk wilayah Indonesia tetap berlaku bagi Republik Indonesia namun hal ini tidak berarti Republik Indonesia mutlak terikat pada perjanjian-perjanjian internasional yang dahulu oleh pemerintah kerajaan Belanda, dengan alasan perjanjian internasional tersebut terjadi pada waktu keadaan dunia internasional sepenuhnya dikuasai oleh negara-negara penjajah, dengan demikian prinsip State Succession berdasarkan hukum internasional juga dikuasai oleh keadaan tersebut, dimana kalau kelak suatu negara jajahan memperoleh kemerdekaannya, maka negara jajahan tersebut otomatis (sesuai passief stelsel) terikat pada perjanjian-perjanjian internasional yang telah diadakan oleh negara penjajah.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan serta alasan-alasan tersebut di atas, Mahkamah Agung telah memberikan putusannya yaitu;
1.      Memutuskan bahwa permohonan kasasi yang diajukan oleh PT. Nizwar tidak dapat diterima, hal ini dikarenakan tidak dicantumkannya risalah atau memori kasasi pada permohonan kasasinya sebagaimana diwajibkan dalam pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung Republik Indonesia. Oleh karena itu Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusannya tidak dapat menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh PT. Nizwar tersebut.
2.      Memutuskan bahwa permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diajukan oleh Navigation Maritime Bulgare tidak dapat diterima, sehingga permohonannya harus ditolak. Tidak dapat diterimanya permohonan pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase asing tersebut dikarenakan belum adanya peraturan pelaksanaan tentang putusan arbitrase asing di Indonesia. Oleh karena itu Mahkamah Agung merasa perlu menunggu suatu peraturan pelaksanaan bilamana suatu putusan arbitrase asing diterima baik pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia. Putusan Mahkamah Agung ini dengan sendirinya membatalkan atau menjadikan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menerima permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase ini menjadi batal secara hukum sehingga putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut secara hukum tidak mempunyai daya laku.
Berdasarkan uraian kasus tersebut di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji dalam hubungannya dengan penolakan putusan arbitrase asing di Indonesia antara lain;
  1. Bagaimana keterkaitan Negara Republik Indonesia terhadap Konvensi New York 1958?
  2. Bagaimana hubungan antara negara Republik Indonesia dengan negara Inggris (London) dalam hubungannya dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing?
  3. Apakah dikarenakan belum adanya peraturan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing dapat dijadikan dasar atau alasan untuk menolak permohonan pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing di Indonesia?
  4. Apakah ketiadaan peraturan pelaksanaan putusan arbitrase asing ini dapat ditafsirkan bertentangan dengan kepentingan umum sehingga harus ditolak permohonan pengakuan dan pelaksanaannya?
Untuk mengetahui keabsahan dan kebenaran secara hukum dari hal-hal tersebut diatas,  dalam kaitannya dengan penolakan putusan arbitrase asing di Indonesia. Di bawah ini dicoba untuk mengkaji dan menganalisanya dengan mengaitkannya dengan regulasi di bidang arbitrase yang relevan saat ini.  Namun dalam pembahasan ini akan ditemui beberapa kejanggalan dikarenakan kurang lengkapnya data dan informasi yang diperoleh terkait dengan kasus, hal ini menyebabkan analisa serta telaah yang akan dilakukan jadi terbatas serta kurang dalam.
Suatu hal yang logis, bilamana hasil analisa dan telaah berbeda apabila data dan informasi tentang kasus dapat diperoleh secara lengkap. Namun untuk tidak menjadi rancu dan pertimbangan efisiensi serta fokus terhadap masalah yang hendak dikaji yaitu dalam hubungannya dengan penolakan permohannya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Di bawah ini hanya dikaji hal-hal yang erat kaitannya dengan penolakan putusan arbitrase asing di Indonesia.

B. Analisa putusan dikaitkan dengan peruturan perundang-undangan yang berlaku dalam hubungannya dengan penolakan putusan arbitrase asing di Indonesia
            Seperti disebutkan  di atas, bahwa ada beberapa hal yang dijadikan fokus bahasan dan analisa serta kajian dalam hubungannya dengan penolakan putusan arbitrase asing di Indonesia. Dalam pembahasan ini penulis hanya menelaah dan mengakaji serta menganalisa hal-hal tersebut di atas dengan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah tersebut sehubungan dengan penolakan putusan arbitrase asing di Indonesia. Adapun hal-hal yang ingin ditelaah dan dikaji serta dianalisa dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut;

1.            Keterkaitan Negara Republik Indonesia terhadap Konvensi New York 1958
Diratifikasinya Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognation and Enforcementn of Foreign Arbitral Awards) pada tanggal 5 Agustus 1981 oleh pemerintah Indonesia maka secara hukum (yuridis normatif) negara Indonesia terikat atas konvensi tersebut. Adanya tindakan ratifikasi oleh pemerintah Indonesia terhadap Konvensi ini mengakibatkan negara Indonesia secara hukum terikat pada konvensi itu sendiri. Ratifikasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini sebagai suatu bentuk legalisasi dan pengakuan secara hukum bahwa konvensi tersebut berlaku terhadap negara Indonesia walau dengan beberapa ketentuan dan pengecualiannya. Terikat di sini dalam pengertian bahwa negara Indonesia harus tunduk, patuh dan mentaati serta melaksanakan konvensi tersebut.
Dari pemahaman tersebut diatas, maka sudah seharusnya suatu putusan arbitrase asing yang diminta pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia semestinya dapat diakui dan dilaksanakan tentunya setelah memenuhi prasyarat yang telah ditentukan dalam perundang-undangan serta tidak melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Keharusan pemerintah Indonesia untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing yang dimintakan perihal pengakuan dan pelaksanaannya memang hanya terbatas pada permohonan yang diajukan oleh negara-negara peserta anggota Konvensi New York 1958 atau permohonan tersebut dimohonkan oleh suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat suatu perjanjian internasional baik secara bilateral maupun multilateral perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, dengan kata lain pemerintah Indonesia hanya wajib mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing bilamana antara negara Indonesia dengan negara pemohon terdapat perjanjian timbal balik (asas resiprositas) perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Jadi pengadilan Indonesia dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung dapat menolak baik pengakuan maupun pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing bila ternyata antara negara Indonesia dengan negara pemohon tidak terdapat perjanjian internasional perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Apa yang disebutkan di atas sejalan dengan ketentuan yang terdapat lampiran Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 yang menyatakan;[3]

“............, the Government of the Republic of Indonsia declare that it will apply the Convention on the basic of reciprocity, to the recognation and enforcement of award made only in the territory of another Contracting State, and that it will apply the Convention only to differences arising out of legal relationships, whether contractual or not, which are considered as commercial under the Indonesian Law”



            Ketentuan ini juga sejalan dengan bunyi pasal I ayat (3) Konvensi New York 1958 yang menyebutkan bahwa “............, any state may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognation and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State..........”. Dari bunyi pasal ini, dapat dikatakan bahwa para negara anggota dibolehkan atau diberikan kebebasan untuk hanya mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase asing bilamana antara negara pemohon dengan negara termohon terikat suatu perjanjian internasional perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Prinsip ini sering disebut dengan asas timbal balik dimana suatu putusan arbitrase asing dapat ditolak pengakuan dan pelaksanaannya apabila diantara mereka tidak terdapat asas timbal balik (reciprocity principle) ini.
            Apa yang disebutkan dalam pasal I Konvensi New York 1958 ini diatur juga dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan PERMA No. 1 Tahun 1990. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ketentuan ini dapat dilihat dalam pasal 66 butir (a) yang menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia bilamana antara negara pemohon dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Dari bunyi pasal ini semakin jelas bahwa negara Indonesia hanya akan mengakui serta mau melaksanakan suatu permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing apabila antara negara pemohon dengan negara Indonesia terikat suatu perjanjian internasional (asas resiprositas) perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.[4]
            Ketentuan ini  ditegaskan kembali oleh PERMA No. 1 Tahun 1990, sebagaimana terdapat dalam pasal 3 ayat (1), yang berbunyi;[5]

(1)         putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi Internasional perihal pengakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Pelaksanaan didasarkan pada asas timbal balik (resiprositas).


            Dari bunyi pasal-pasal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa negara Indonesia secara yuridis terikat pada konvensi New York 1958 dan oleh karenanya seharusnya pemerintah Indonesia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung harus mengakui dan mau melaksanakan suatu putusan arbitrase yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia bilamana antara negara pemohon dengan negara Indonesia terdapat perjanjian perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan aritrase asing.[6] Selain keharusan asas resiprositas ini agar suatu putusan arbitrase asing dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia, suatu permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing juga hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia bilamana telah memenuhi prasyarat sebagaimana ditentukan dalam undang-undang secara limitatif, seperti; tidak bertentangan dengan ketertiban umum,[7] sobyek sengketa termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang,[8] putusan yang diambil tidak didasarkan pada tipu muslihat dan lain sebaginya.[9] Dengan kata lain suatu putusan arbitrase asing akan ditolak perihal pengakuan dan pelaksanaannya bilamana ternyata putusan arbitrase asing tersebut belum/tidak atau melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia seperti; putusan tersebut bukan merupakan ruang lingkup hukum dagang menurut hukum Indonesia, putusan diambil berdasarkan tipu muslihat, putan telah diambil dengan melanggar hukum acara arbitrase, putusan bertentangan dengan kepentingan umum dan lain sebagainya.
            Banyaknya pengaturan tentang asas resiprositas dalam perundang-undangan mengenai arbitrase selain menunjukkan betapa pentingnya asas ini juga menyatakan bahwa asas resiprositas merupakan sesuatu yang harus ada (mandatory) agar suatu permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat diterima. Pernyataan ini apabila dikaitkan dengan kasus dimana antara negara pemohon yaitu negara London (Inggris) dengan negara termohon yaitu Indonesia adalah sama-sama negara anggota Konvensi New York 1958.
            Oleh karena itu kasus tersebut di atas, apabila dilihat dari sudut hubungan antara negara pemohon dengan negara termohon yang merupakan sesama negara anggota konvensi (terikat secara hukum perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing) semestinya permohonan tersebut dapat diterima dan diakui. Namun seperti dikatakan pada uraian singkat sengketa, dimana alasan hakim pada Mahkamah Agung tidak dapat menerima pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut adalah dikarenakan belum adanya peraturan pelaksanaan tentang pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing di Indonesia. Dengan kata lain permohonan tersebut ditolak dikarenakan belum adanya peraturan pelaksanaan tentang pelaksanaan putusan arbitrase asing bukan karena tidak terpenuhinya asas resiprositas.

2.      Hubungan antara negara Republik Indonesia dengan negara Inggris (London) sebagai negara pemohon terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut
Dibahasnya hubungan (domisili) para pihak dalam bab ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perjanjian antara negara pemohon pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut yaitu negara London dengan negara termohon yaitu negara Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Hal ini dibahas dalam kaitannya dengan asas resiprositas (timbal balik) sebagai suatu prinsip umum agar dapat diakui dan dilaksanakannya suatu putusan arbitrase asing yang dimintakan pengakuan dan pelaksanaannya.
Seperti disebutkan dalam Konvensi New 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing bahwa kepada negara peserta konvensi diberikan kebebasan untuk menerapkan asas resiprositas ini dalam arti kepada para negara anggota konvensi dibolehkan untuk membatasi keberlakuan konvensi ini yaitu hanya kepada negara sesama anggota konvensi.[10] Sudah merupakan prinsip hukum internasional bahwa suatu negara hanya mengakui dan mau melaksanakan suatu putusan arbitrase atau putusan hakim dari negara bersangkutan bilamana negara tersebut juga akan mengakui dan mau melaksanakan suatu putusan arbitrase atau putusan pengadilan dari negara yang bersangkutan bilamana hal tersebut juga dimintakan di negaranya.
Prinsip timbal balik ini juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 66 butir (a) yang menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pencantuman kata terikat pada perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral dalam pasal tersebut memberikan kepastian hukum bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia bilamana antara negara pemohon dengan negara Indonesia terikat suatu perjanjian perihal pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing baik secara bilateral maupun multilateral.
Apa yang disebutkan di atas, yaitu tentang keharusan dari suatu asas resiprositas dari suatu putusan arbitrase asing yang dimohonkan untuk diakui dan dilaksanakan di Indonesia agar dapat dikabulkan diatur juga dalam PERMA No. 1 Tahun 1990 sebagaimana terdapat dalam pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa suatu putusan badan arbitrase ataupun arbiter perorangan di suatu negara yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia bilamana antara negara pemohon dengan negara Indonesia terikat suatu perjanjian internasional perihal pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing.[11] Dengan kata lain pemerintah Indonesia dalam hal ini Pengadilan Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung akan menolak suatu permohonan arbitrase asing bilamana antara negara pemohon dengan negara Indonesia tidak terdapat atau terikat suatu perjanjian internasional perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Dari uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa asas resiprositas ini merupakan sesuatu yang wajib (imperatif) sifatnya agar putusan arbitrase yang dimintakan pengakuan dan pelaksanaannya dapat dikabulkan di negara Indonesia. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa suatu permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing akan ditolak bilamana tidak memenuhi asas resiprositas.
Ketentuan-ketentuan serta uraian diatas, apabila ditinjau dari sudut asas ini (resiprositas) dan dihubungkan dengan domisili para pihak dalam kasus yaitu antara negara London sebagai negara pemohon dengan negara Indonesia sebagai negara termohon yang sama-sama anggota Konvensi New York 1958 maka semestinya permohonan tersebut harus dikabulkan dengan cara mengakui serta melaksanakan putusan arbitrase negara London tersebut.
Namun seperti juga telah dijelaskan di atas, bahwa tidak diterimanya permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut bukan dikarenakan ketiadaan perjanjian (asas resiprositas) antara negara Indonesia dengan negara London tapi dikarenakan belum adanya peraturan pelaksanaan tentang pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing yang diterima pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah Indonesia melalui Mahkamah Agung terpaksa harus menolak permohonan tersebut sebelum adanya peraturan pelaksanaan tentang suatu putusan arbitrase asing yang  diterima pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia.

3.      Ketiadaan peraturan pelaksanaan tentang pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagai salah satu alasan Mahkamah Agung Republik Indonesia menolak pelaksanaan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut.
Dalam uraian kasus telah dikatakan bahwa salah satu alasan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak dapat menerima permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut adalah karena ketiadaan peraturan pelaksanaan di negara Indonesia tentang pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase asing yang telah diterima pengakuan dan pelaksanaannya. Alasan ini apabila dilihat dari peraturan perundang-undangan yang ada tentang arbitrase yaitu dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan juga Konvensi New York 1958, alasan ini tidak disebutkan sebagai salah satu alasan yang dapat dijadikan untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing.
Dalam Konvensi New York 1958 disebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing antara lain; klausula arbitrase yang menjadi dasar dan falsafah arbitrase tidak sah secara hukum,[12] para pihak tidak diberikan kesempatan yang dan patut dalam melakukan pembelaannya,[13] proses berarbitrase dan pemilihan arbiter atau majelis arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, putusan arbitrase belum mengikat para pihak, obyek sengketa arbitrase bukan tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang di Negara dimana putusan arbitrase dimintakan pengakuan dan pelaksanaannya,[14] putusan arbitrase melanggar ketertiban umum,[15] antara Negara pemohon dengan termohon tidak terdapat perjanjian perihal pengakuan dan pelaknaan putusan arbitrase asing.[16] Sedangkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa alasan-alasan dari penolakan putusan arbitrase asing adalah antara lain; asas resiprositas,[17] obyek sengketa dalam ruang lingkup hukum perdagangan,[18] asas ketertiban umum.[19]
Dari beberapa alasan tersebut di atas, terlihat jelas bahwa baik menurut Konvensi New York 1958 maupun Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak satupun menyebutkan bahwa ketiadaan peraturan pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase asing yang telah diterima baik pengakuan dan pelaksanaannya merupakan salah satu alasan untuk dapat menolak suatu permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Bahkan dalam Konvensi New York 1958 menyebutkan bahwa hukum acara pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing diserahkan kepada masing-masing negara bersangkutan. Ketentuan ini dapat dilihat dari pasal III Konvensi itu sendiri yang berbunyi;[20]

“Each Contracting State shall recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where the awards is relied upon, under the condition laid down in the following articles. There shall not be imposed substantially more onerous conditions or higher fees or charges on the recognation or enforcement of arbitral awards to which this Convention applies than are imposed on the recognation or enforcement of domestic arbitral awards.

Ketentuan sebagaimana terdapat dalam pasal III Konvensi New York 1958 tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan peninggalan Hindia Belanda dinyatakan masih berlaku sepanjang belum ada penggantinya dan tidak bertentangan dengan undang-undang atau ditentukan lain.[21] Dari bunyi pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata sebagaimana terdapat dalam HIR/Rbg masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu semestinya hukum acara perdata sebagaimana terdapat dalam HIR/Rbg dapat diterapkan dalam melaksanakan putusan arbitrase asing tersebut.
Dari uraian  dan ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa semestinya Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak dapat menolak permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut dengan alasan tidak adanya peraturan pelaksanaan dari putusan arbitrase asing di Indonesia. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat  Sudikno Mertokusumo yang menyebutkan bahwa bilamana dalam suatu undang-undang terdapat hal-hal yang kurang jelas maka hakim wajib menemukan hukumnya (rechtsvinding).[22] Seorang hakim juga dapat atau dibolehkan untuk melakukan pembentukan hukum (rechtsforming) bilamana dalam suatu perkara belum ada hukum yang mengaturnya.[23]
Penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut juga bertentangan dengan fungsi Mahkamah Agung itu sendiri yaitu; pertama, menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dengan menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diserahkan kepadanya. Kedua, sebagai lembaga yang memimpin peradilan. Ketiga, mengatur jalannya peradilan di Indonesia. Keempat, sebagai lembaga pemberi saran dan pertimbangan hukum bagi pemerintah dan lembaga negara lain apabila diminta, termasuk pertimbangan hukum penerimaan/penolakan grasi dan upaya hukum lain bagi presiden. Kelima, sebagai pengawas dan administrator di bidang peradilan.[24]
Apa yang disebutkan di atas selain bertentangan dengan keputusan yang telah diambil oleh Mahkamah Agung yaitu telah menolak dengan menyatakan tidak dapat menerima perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut, hal ini juga menjadikan putusan Mahkamah Agung tidak berdasar dari segi hukum. Oleh karena itu semestinya putusan tersebut tidak mempunyai daya laku atau tidak berkekuatan hukum.
Memang hakim bebas untuk memutus perkara yang diberikan kepadanya, namun bebas di sini bukan berarti hakim semaunya untuk memutus suatu perkara tanpa memperhatikan perundang-undangan, norma-norma, nilai-nilai, adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan yang hidup di dalam suatu masyarakat.[25] Dengan perkataan lain indepensi yang dimiliki oleh seorang hakim dalam memutus perkara bukan tanpa batas dan haru memiliki argumentasi yang jelas serta transparansi pemikiran hakim harus dapat diuji secara terbuka.[26] Namun dalam tataran praktek penerapan independensi hakim ini sering kebablasan dan disalahgunakan sehingga tidak jarang putusan yang dihasilkan tidak obyektif dan bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan yang merupakan tujuan akhir dari pada hukum itu sendiri.
Apa yang disebutkan di atas, sejalan dengan pernyataan Erman Rajagukuguk yang menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan belum ada undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena itu menurut beliau seorang hakim wajib mencari dan menemukan serta menggali hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat ini juga didasarkan pada salah satu tugas hakim yaitu untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.[27] Hal ini juga ditegaskan oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 16 yang menyebutkan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.[28] Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Edmon Makarim bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalih belum ada peraturan yang mengaturnya, bahkan beliau memberi penekanan dengan menyebut dengan istilah tak ada rotan akarpun jadi. Artinya pencarian, pembentukan (rechtsforming) dan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam menyelesaikan suatu perkara merupakan suatu keharusan bagi seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkaranya yang dihadapinya.[29]
Dari uraian tersebut di atas serta berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada maka secara yuridis semestinya permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut dalam kasus dapat diterima serta dilaksanakan di Indonesia. Dengan kata lain penolakan Mahkamah Agung terhadap kasus tersebut dengan alasan belum adanya peraturan pelaksanaan tentang pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing adalah tidak berdasar oleh karenanya tidak dapat dibenarkan dan semestinya putusan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap kasus.

4.      Belum adanya peraturan pelaksanaan dapat ditafsirkan permohonan pelaksanaan tersebut akan bertentangan dengan ketertiban umum
Seperti telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa salah satu hal yang menjadi pertimbangan bagi Mahkamah Agung dalam memberikan putusannya dengan menyatakan tidak dapat menerima (menolak) permohonan tersebut adalah dikarenakan belum adanya peraturan pelaksanaan tentang pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing yang telah diterima pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia. Oleh karena hal itu Mahkamah Agung berpendapat perlu menunggu peraturan pelaksanaan tersebut untuk memastikan instansi mana yang berwenang untuk menerima putusan tersebut. Hal ini penting kaitannya dengan pengujian terhadap putusan arbitrase yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya tersebut. Dengan kata lain Mahkamah Agung sebelum mengabulkan permohonan tersebut merasa perlu menunggu peraturan pelaksanaan tentang hal itu terlebih dahulu.
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan apakah ketiadaan peraturan pelaksanaan ini dapat dijadikan alasan atau pertimbangan hukum untuk mengetahui atau menguji apakah putusan arbitrase asing yang dimohonkan bertentangan atau tidak dengan ketertiban umum. Dalam bab-bab terdahulu telah disebutkan bahwa tidak ada pengertian yang baku dari apa yang disebutkan dengan ketertiban umum. Dengan perkataan lain pengertian ketertiban umum adalah berbeda pada masing-masing negara. Hal ini dikarenakan banyak faktor seperti; latar belakang yang berbeda, budaya yaang berbeda, perundang-undangan yang bebeda, sudut pandang yang berbeda, standarisasi yang berbeda dan aspek lainnya, yang ketertiban umum mempunyai penafsiran yang berbeda pada masing-masing negara. Oleh karena itu ambiguitas dari pengertian umum ini dalam praktek sering diploitisasi untuk menolak baik pengakuan maupun pleaksanaan suatu putusan arbitrase asing yang dimohonkan oleh negara termohon.[30]
            Dalam beberapa putusan Mahkamah Agung, seperti kasusnya E.D. & F. Man (Sugar) Ltd. V. Haryanto Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum sehingga harus ditolak permohonan pengakuan dan pelaksanaannya. Mahkamah Agung mendalilkan putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban dikarenakan ketiadaan wewenang yang dimiliki secara hukum oleh Haryanto untuk melakukan imfortir gula tersebut. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 yang menyebutkan bahwa yang berhak melakukan imfortir gula adalah hanya pemerintah dalam hal ini BULOG.[31] Berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan tersebut telah bertentangan dengan ketertiban umum sehingga harus ditolak permohonan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia.
Ketiadaan pengertian dan batasan yang jelas tentang ketertiban umum ini, dalam realitanya menimbulkan banyak masalah. Hal yang lebih buruk lagi adalah seringnya disalahtafsirkan dan disalahgunakan mengingat fenomena ini sering terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia. Ketiadaan pengertian dan batasan yang jelas tentang ketertiban umum ini merupakan salah satu bukti ketidakpastian hukum diIndonesia. Hal ini merupakan salah satu problematikan dalam rangka penegakan (law enforcement) hukum di Indonesia.[32]


[1]Erman Rajagukguk. Op. Cit. Hal. 38
[2]Putuasan Kasus PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare No. 2944 K/Pdt/1983
[3]Lampiran Keputusan Presiden RI. No. 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New 1958.
[4]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (a)
[5]PERMA No. 1 Tahun 1990. ps. 3 ayat (1)
[6]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 65 yo. ps. 66 butir (e)
[7]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (c)  
[8]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (b) 
[9]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 70 

[10]Konvensi New York 1958, ps. I ayat (3)
[11]PERMA No. 1 Tahun 1990, ps. 3 ayat (1)
[12]Tony Budidjaja. Ibid
[13]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 31 ayat (1)
[14]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 66 butir (b) dan penjelasannya
[15]Konvensi New York 1958, ps. V ayat (2) butir (b)
[16]Konvensi New York 1958, ps. I ayat (3)
[17]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (a)
[18]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (b)
[19]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (c)
[20]Konvensi New York 1958, ps. III
[21]Undang-Undang Dasar 1945, ps. II Aturan Peralihan
[22]Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam melakukan penemuan hukum dapat memakai beberapa metode penemuan hukum yaitu; interpretasi menurut bahasa, interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristis, interpretasi restriktif dan ekstensif. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cet. Ke-4, (Yogyakarta : Liberti Yogyakarta, 1995), hal. 147.
[23]J. B. Daliyo dan kawan-kawan, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 111.
[24]I Gede AB Wiranta, “Kasasi Akbar Tanjung dan MA (Proses Peradilan dan Pembelajaran Hukum”. http://www.suaramerdeka.com/harian. Kamis, 5 Februari 2004
[25]Ibid
[26]Republika, “Hakim Agung Artidjo Alkotsar, Hakim Tak Bisa Seenaknya Memutus Perkara”. Kamis, 12 Nopember 2000
[27]Erman Rajagukuguk. Op. Cit. Hal. 45
[28]Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Ps. 16
[29]Republika, “Tak Ada Alasan Hakim Tolak Sengketa Saiber.” Jum’at, 20 Nopember 2000
[30]Republika, “Negosiasi, Kompromi politik dan Supremasi Hukum. Selasa, 18 Juni 2000.
[31]Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Reg. No. 1205 K/Pdt/1990.
[32]Menurut Huala Adolf, bahwa permasalahan dalam penegakan hukum antara lain; kurangnya penghormatan masyarakat terhadap hokum, ketidakpastian hukum, kurangnya kewenangan dan lemahnya putusan badan arbitrase, kultur masyarakat yang berperkara. Huala Adolf. “Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan Keuangan”. http://www.bali-seminar/penyelesaiansengketa.

No comments:

Post a Comment