Friday, April 22, 2011

URGENSI, LEGALITAS DAN MANFAAT MUTASI BESAR-BESARAN DI MANDAILING NATAL

Oleh: Suleman Batubara SH., M.Hum

Akhir-akhir ini baik media cetak maupun elektronik banyak menyoroti tentang mutasi yang terjadi di Mandailing Natal (Madina). Para tokoh masyarakat, pemuda, mahasiswa, sejumlah LSM dan pemerintah masing-masing memberikan pendapat dan pandangannya. Para komentator, pemra-saran dan pemerintah diantaranya banyak yang “pro” dan “kontra” atas mutasi yang dilakukan oleh Aspan Sofyan Batubara tersebut sebagai Pejabat Sementara Bupati Madina. Tulisan ini berusaha untuk mengkaji masalah tersebut secara lebih obyektif khususnya dari aspek urgensi, legalitas dan manfaat mutasi bagi pemerintahan Kab. Madina.

Urgensitas Mutasi
Salah satu pertimbangan Bupati Madina melakukan mutasi adalah untuk efektivitas dan efesiensi biaya pemerintahan. Mengacu pada pertimbangan tersebut, mutasi bukanlah solusi yang paling tepat untuk dilakukan. Maksimalisasi kinerja, pengawasan, disiplin, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih merupakan langkah yang paling solutif dan efisien untuk mewujudkan tujuan tersebut. Jadi, mutasi bukanlah langkah yang paling tepat dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien. Dikatakan demikian karena mutasi tidak menjamin perbaikan melainkan pergantian, tidak akan menambah pemasukan kas daerah melainkan kantong-kantong tertentu. Bukan rahasia umum lagi bahwa di negara kita ini faktual semua bisa diatur dengan “uang”.
Mutasi bukanlah tugas yang berat karena siapapun dan kapanpun dapat dilakukan termasuk oleh Pejabat PLT dan pada saat-saat menjelang habisnya jabatan seperti yang terjadi di Kab. Madina ini. Namun menjadi pekerjaan yang susah bilamana mutasi diharuskan terlaksana diawal pemerintahan dan tepat sasaran, bukan ajang “bagi-bagi kue”. Mutasi semacam ini hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang mempunyai nasionalisme yang tinggi, bertanggung jawab, profesional dan berjiwa negarawan. Akankah karakter ini ada pada Bupati Madina? Entah, jawabannya tentu masing-masing punya penilaian yang berbeda satu sama lain. Harapan kita semoga beliau seperti pejabat yang kita idam-idamkan.
Uraian di atas, membuktikan kepada kita bahwa urgensi tidaknya mutasi terhadap pejabat pemerintahan Kab. Madina sangat tergantung kepada integritas, kualitas, akuntabilitas dan profesionalisme dari pejabat dan calon pejabat pengganti yang dimutasi. Dengan kata lain, kepribadian, kemampuan dan nasionalisme pejabat yang bersangkutan sangat menentukan mendesak tidaknya melakukan mutasi terhadapnya. Oleh karena itu, urgensitas mutasi hanya bersifat individual bukan kolegial. Tidaklah mungkin apabila dikatakan bahwa mayoritas pejabat pemerintah daerah Kab. Madina layak dimutasi, tapi kalau dikatakan sebagaian diantaranya, itu baru rasional. Dengan demikian, mutasi terhadap sebagian besar Camat di Kab. Madina oleh Bupati Madina bukan sesuatu yang urgen, tetapi kalau terhadap sebagian mungkin benar. Dikatakan demikian karena tidak mungkin sejumlah Camat yang dimutasi tersebut adalah pejabat yang memang nyata layak dimutasi.

Legalitas Mutasi
Bupati sebagai pejabat pemerintah daerah baik yang bersifat “sementara” atau lebih dikenal dengan “PLT” maupun yang sudah terpilih secara sah (tentatif), secara hukum berhak untuk melakukan mutasi terhadap pejabat yang berada dibawahnya. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Pertanyaannya adalah, mutasi yang bagaimanakah yang dimaksudkan oleh undang-undang tersebut? Dalam Pasal 21 undang-undang yang bersangkutan disebutkan bahwa kepala pemerintah daerah berhak mengelola aparaturnya. Mutasi dalam hal ini dapat diklasifikasikan sebagai tindakan pengelolaan. Oleh karena itu mutasi dibolehkan. Namun sekalipun dibolehkan, bukan berarti bahwa mutasi hanya memperhatikan aturan hukum semata, melainkan harus senantiasa sesuai dengan prinsip dan tujuan hukum atau undang-undang itu sendiri. Dengan demikian, mutasi yang dibolehkan atau sah secara hukum adalah mutasi yang dilakukan sesuai dengan prinsip dan tujuan hukum serta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Selain pertanyaan tersebut di atas, paling tidak ada tiga pertanyaan lain yang perlu dijawab dalam kaitannya dengan keabsahan mutasi yang sudah dilakukan. Adapun pertanyaan dimaksud adalah sebagai berikut; apakah mutasi tersebut murni dilakukan untuk kepentingan pemerintahan atau masyarakat? Ataukah kebijakan tersebut sengaja diambil demi kepentingan pribadi, pihak tertentu atau lainnya? Lalu, bagaimanakah “keabsahan” mutasi yang dilakukan apabila ternyata dapat dibuktikan bahwa prosedur atau cara yang dilakukan dalam mutasi tersebut adalah salah?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaji alasan-alasan, pertimbangan serta cara yang ditempuh terkait dengan mutasi tersebut. Dalam beberapa kesempatan Bupati Madina mengatakan bahwa mutasi tersebut dilakukan adalah untuk; perampingan sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), perbaikan kinerja jajaran pemkab, efisiensi anggaran mengingat anggaran pemkab yang minim, memperbaiki kinerja pemerintah, penyegaran, perbaikan kualitas dan pelayanan publik serta peningkatan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga. Melihat alasan mutasi tersebut, sementara dapat dikatakan bahwa mutasi tersebut adalah “sah” apabila dilihat dari sudut kepentingan yang diperjuangkan. Namun sebaliknya, mutasi tersebut adalah tidak sah apabila dikemudian hari ditemukan bukti bahwa mutasi tersebut bukan untuk kepentingan sebagaimana dinyatakan oleh Aspan Sofyan Batubara selaku Bupati Madina yang melakukan mutasi. Pertanyaan lanjutannya adalah kenapa “tidak sah”? Karena otoritas yang dimiliki Bupati dalam memutasi aparaturnya hanya “sah” bila dilakukan murni untuk kepentingan pemerintahan (negara) atau masyarakat, bukan kepentingan pribadi, golongan, pihak tertentu bahkan berbau KKN. Mutasi yang dilakukan berdasarkan “kepentingan” atau KKN sudah barang tentu menyalahi hukum. Oleh karena itu, mutasi yang demikian adalah “tidak sah” secara hukum. Dengan demikian, mutasi tersebut dianggap tidak pernah ada sekalipun untuk itu dibutuhkan rangkaian proses dan putusan yang bersifat final dan mengikat. Jadi, mutasi sebagai salah satu otoritas Bupati sebagai kepala pemerintahan daerah hanya “sah” apabila dilakukan untuk kepentingan pemerintahan (negara) atau masyarakat.
Hal lain yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan mutasi tersebut adalah bagaimana dampak mutasi yang dilakukan tersebut apabila mutasi yang dilakukan murni untuk kepentingan pemerintahan (negara) atau masyarakat akan tetapi cara yang ditempuh menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini tentunya harus mengikuti rangkaian proses mutasi tersebut khususnya dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh Bupati ataupun perwakilannya. Oleh karena penulis bukan “pengutil” Bupati Madina atau pengikutnya, maka pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan mengetengahkan dua asumsi. Asumsi pertama, proses mutasi dilakukan benar atau sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sementara asumsi kedua adalah sebaliknya yaitu proses mutasi dilakukan tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Apabila mutasi dilakukan dengan cara atau prosedur yang “benar”, maka mutasi tersebut adalah sah secara hukum. Demikian pula sebaliknya apabila mutasi tersebut dilakukan dengan cara yang “salah”, maka mutasi tersebut tidak sah secara hukum. Rasanya masih segar diingatan kita bahwa Herdarman Supandji (mantan Jaksa Agung) dianulir sebagai jaksa agung pada beberapa waktu yang lalu karena secara administratif atau cara pengangkatan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadapnya tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dengan demikian, keabsahan sebuah mutasi tidak hanya didasarkan pada syarat materil (substansi), akan tetapi juga tergantung kepada syarat formal atau prosedur (cara) yang dilakukan Bupati dalam mutasi tersebut.

Manfaat dan Kerugian Mutasi
Di awal sudah dijelaskan bahwa mutasi adalah bermanfaat apabila dilakukan dengan selektif, obyektif dan tepat. Sebaliknya, mutasi akan menjadi biang kehancuran bila hanya didasarkan pada kedekatan, kepentingan atau unsur lain di luar untuk kepentingan pemerintahan dan masyarakat. Dikatakan demikian, karena metode mutasi yang demikian akan menumbuhsuburkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan atau korupsi. Bukankah krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 di bawah rezim orde baru salah satunya disebabkan oleh kedekatan para keluarga, pengusaha, kroni dan pihak yang tidak bertanggung jawab lainnya kepada penguasa? Oleh karena itu, mutasi yang bersifat subyektif hanya akan menimbulkan kehancuran bukan kemajuan sebagaimana kita cita-citakan bersama. Dengan demikian, mutasi tersebut perlu kiranya dipertimbangkan kembali khususnya dari aspek manfaat yang diperoleh agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai. Terhadap mutasi yang sudah dilakukan, ke depan perlu kiranya menjadi perhatian oleh Bupati Madina terpilih. Hal ini ditujukan untuk memastikan apakah mutasi yang dilakukan sudah tepat dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku atau malah sebaliknya? Bila demikian halnya, maka terhadap mutasi yang dilakukan tidak sesuai dengan aturan atau bahkan melanggar hukum, harus diperiksa dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.

PEMEKARAN PROV. SUMUT DAN DAMPAKNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TABAGSEL

Oleh: Suleman Batubara SH., M.Hum

Pemekaran merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional dan daerah yang bersangkutan. Kebijakan tersebut sebenarnya telah lama disetujui oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR melalui pengundangan beberapa regulasi di bidangnya seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan dengan itu sudah banyak daerah yang sudah melakukan pemekaran dengan membentuk provinsi baru seperti, Gorontalo, Papua, Banten dan sejumlah daerah lainnya. Apabila dilihat dari keuntungan yang diperoleh dari suatu pemekaran, sebenarnya tidak mengherankan bilamana banyak daerah yang ingin dimekarkan atau meminta diberlakukannya otonomi khusus untuk daerahnya. Misalnya, Aceh dan Yogyakarta. Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari suatu pemekaran antara lain adalah sebagai berikut: efesiensi birokrasi, pertambahan dana pembangunan daerah, pembangunan ekonomi, maksimalisasi pelayanan pemerintah terhadap masyarakat, terbukanya kesempatan yang besar bagi putra daerah untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan daerah, terciptanya kemandirian daerah, terjaminnya pelestarian budaya dan adat derah dan terwujudnya pemerintahan yang cepat, murah dan efektif.
Tujuan pemekaran sebagaimana disebutkan di atas adalah sejalan dengan tujuan pokok negara Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia adalah unutuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan berkeadilan sosial.
Mewujudkan tujuan negara yang mulia sebagaimana saya disebutkan di atas, tentunya bukanlah hal yang mudah karena menyangkut banyak faktor dan mengharuskan kerja keras, kebersamaan, managemen dan kesungguhan dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah baik daerah maupun pusat untuk membangun daerahnya. Dalam konteks ini tentunya program, kebijakan maupun keputusan pemerintah daerah terkait dengan daerah yang dipimpinnya sangat menetukan tingkat kemajuan daerah yang bersangkutan. Dengan kata lain, semakin baik program, kebijakan dan keputusan yang diambil oleh Pemerintah Daerah terhadap daerahnya, maka daerah tersebut tentunya akan semakin baik, maju, sejatera serta adil dan makmur. Tentunya program, kebijakan, serta keputusan Pemerintah Daerah bukanlah satu-satunya penentu maju tidaknya suatu daerah. Dengan kata lain, untuk memajukan, mensejahterakan dan memakmurkan suatu daerah perlu dukungan maksimal dari berbagai lapisan masyarakat khususnya pemerintah, politisi dan masyarakat yang bersangkutan.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa belakangan ini banyak daerah yang sudah melakukan pemekaran. Salah satu tujuan dari pemekaran tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pembangunan dan pemerataan ekonomi serta pemerintahan yang mandiri. Dalam hubungannya, terkait dengan rencana pemekaran Provinsi Sumatera Utara, beberapa waktu yang lalu Universitas Sumatera Utara beserta tim peneliti lainnya telah melakukan kajian akademis terhadap daerah TABAGSEL. Dalam penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat TABAGSEL masih jauh dari harapan. Dengan kata lain, masih banyak masyarakat TABAGSEL yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan sebagai imbas dari pembangunan yang tertinggal, ekonomi yang belum sepenuhnya berjalan dengan baik, rentang birokrasi antara pusat dan daerah, pengangguran yang tinggi serta sumber daya manusia yang belum memenuhi harapan. Melihat realita tersebut, menurut hemat penulis, pemekaran sangat pantas untuk dipertimbangkan sebagai solusi dalam mewujudkan TABAGSEL yang maju, sejahtera, makmur dan berkeadilan sosial.
Pemerintahan yang mandiri tentunya lebih leluasa untuk menetukan sistem ekonomi dan keuangannya sendiri yang lebih berorientasi pada kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran. Hal ini dapat diraih oleh Pemerintah Daerah TABAGSEL melalui pemekaran. Oleh karena itu, mensukseskan pemekaran berarti sama dengan memberikan kebebasan kepada Pemerintah Daerah untuk mementukan kebijakannya baik di bidang ekonomi, keauangan dan bidang-bidang lainnya sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan terkait. Selain itu, melalui pemekaran ini Pemerintah Daerah dapat mengelola aset-aset daerah dengan maksimal karena kewenangan yang dimilikinya lebih besar untuk hal tersebut dibanding sebelum pemekaran dilakukan. Oleh karena itu, terlihat jelas dampak positif pemekaran terhadap kemajuan dan pembangunan suatu daerah.

Monday, February 7, 2011

KORUPSI DAN PERUBAHAN HUKUM DI INDONESIA (Telaah Dari Sudut Sosiologi Hukum)

Oleh: Suleman Batubara SH., MH
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki beribu pulau dan sumber daya alam yang berlimpah. Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara (the founding fathers) telah memiliki cita-cita luhur yang dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu; membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam perjalanannya bangsa Indonesia mengalami berbagai periode pemerintah, yaitu periode pemerintahan orde lama, pemerintahan orde baru, dan pemerintahan era reformasi. Perubahan pemerintahan yang disebabkan perubahan politik tersebut berpengaruh pada perubahan pada masyarakat, termasuk perubahan hukum. Dalam perubahan hukum, salah satu perubahan mendasar adalah di amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pergantian pemerintahan orde baru ke orde reformasi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh krisis ekonomi tahun 1997 yang dialami oleh bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang selanjutnya menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dan kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang puncaknya membawa kejatuhan pemerintahan orde baru.
Dalam era reformasi, dibawah pemerintahan baru krisis ekonomi tetap berlanjut. Kenyataan menunjukkan, mengembalikan kestabilan perekonomian ternyata tidaklah semudah membalik telapak tangan. pemerintahan baru harus bekerja keras untuk melakukan pembangunan kembali di atas reruntuhan pembangunan hukum dan ekonomi yang diwariskan oleh pemerintah orde baru.
Krisis ekonomi di Indonesia diawali dengan menurunnya nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah yang mengakibatnya beban hutang luar negeri semakin bertambah. Jumlah hutang dan bunga yang dibebankan kepada Indonesia, menambah beratnya beban perekonomian negara yang berdampak langsung kepada masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor internal yaitu; Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pengelolaan aset-aset ekonomi, dan penegakan hukum yang sangat lemah menjadikan faktor pemicu tergelincirnya kita dalam krisis. Sementara faktor eksternal yaitu; hutang luar negeri yang besar kepada pemerintah Indonesia yang diberikan oleh negara-negara kreditor menjadi senjata makan tuan. Peranan negara-negara kreditor sebenarnya tidak bisa diabaikan. Karena mereka sesungguhnya mengetahui bahwa korupsi terjadi di Indonesia, namun mereka menutup mata dan membiarkan Indonesia terjerumus dalam krisis.
Secara konseptual pemerataan dan keadilan yang pernah ditawarkan kepada masyarakat melalui trilogi pembangunan pada masa pemerintahan orde baru, dalam kenyataannya tidak tercapai sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terjadi karena tidak konsistennya penegakan hukum dari para pelaku makro ekonomi dan penguasa yang menyalahgunakan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan hukum. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah pada saat itu dinilai bernuansa korupsi, kolusi dan nepotisme yang berakibat fatal pada pembangunan ekonomi.
Warisan “Korupsi” tidak hanya terjadi pada tingkat pengambilan keputusan, pengusaha (swasta) yang menguasai aset ekonomi saja, namun korupsi juga menyebar pada tingkat pelaksana. Hal ini terjadi pada lembaga-lembaga atau aparat yang berhubungan langsung dengan publik. Begitu hebatnya korupsi sehingga sebagian pengamat sosiologi memberikan pendapat bahwa korupsi oleh sebagian besar masyarakat kita tidak lagi dianggap sebagai kejahatan tetapi sudah menjadi kultur (budaya).

B. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
1. Faktor Sosio-Budaya
Untuk menemukan faktor-faktor penyebab korupsi, perlu untuk melihat sejarah awal mula berkembangnya korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia sudah berkembang sejak tahun 1960-an dan kemudian memuncak sejak pemerintahan orde baru. Indonesia saat ini tercatat sebagai negara terkorup kedua se-Asia Pasifik setelah Vietnam dan negara terkorup ketiga se-dunia. Fenomena yang demikian, Romli Atmasasmita berpendapat bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan sudah merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).
Kejahatan korupsi dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda, dengan kata lain, korupsi di satu sisi ada yang beranggapan bahwa korupsi seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, di sisi lain, pemerintah masih beranggapan bahwa korupsi belum dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), tetapi perlu penangan yang luar biasa.
Parahnya korupsi di Indonesia, dapat dilihat juga dari karakteristik budaya masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia berasal dan terbentuk dari masyarakat adat yang bersifat multi etnik atau pluralis. Pada masing-masing budaya memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Pergaulan antar sesama masyarakat yang berbeda budaya ini akan menghasilkan percampuran budaya yang dalam satu wadah besar dikenal dengan bangsa Indonesia.
Apabila diperhatikan, masyarakat Indonesia cenderung pada hal-hal yang bersifat kebendaan. Sebagai contoh dalam masalah yang menyangkut perkawinan. Dalam perkawinan selalu ada tradisi untuk menghubungkan dengan soal mahar dan proses perkawinan, dengan kata lain semakin besar mahar dan semakin besar pesta perkawinan akan berpengaruh pada starat sosial keluarga yang bersangkutan. Sikap materialistik tersebut berkembang dan mengkristal sehingga menciptakan karakteristik materialistik di tengah-tengah masyarakat yang kemudian diperkuat oleh sikap rasionalisme yang terus merasuk ke dalam jiwa masyarakat, sehingga membentuk kepribadian yang materialistik-rasionalistik yang pada akhirnya menjadi budaya baru bagi masyarakat Indonesia.
Budaya baru tersebut semakin tertanam dengan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia tidak siap melihat perkembangan teknologi modern. Sejak awal kemerdekaan, setelah berada dalam masa penjajahan yang begitu lama, masyarakat Indonesia terbuka terhadap budaya asing yang membawa masuknya teknologi, rasionalisme dan idealisme yang bersifat kebendaan.
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia secara perlahan-lahan kehilangan jati diri yang sesungguhnya. Contoh lain yang dapat dikedepankan saat ini adalah bahwa dalam berbagai sektor kehidupan, kekayaan materi menjadi satu-satunya indikator keberhasilan seseorang. Pemujaan terhadap keberhasilan dari sisi materi tersebut sering kali menyebabkan diabaikannnya bagaimana cara memperoleh materi tersebut.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang paternalistik, yaitu masyarakat yang cenderung mengikuti prilaku pemimpin-pemimpinnya. Kenyataan korupsi yang terjadi di Indonesia banyak yang berawal dari kekuasaan. Puncak korupsi terjadi pada masa pemerintahan orde baru. Realita tersebut berlanjut pada korupsi yang terjadi saat ini yaitu tidak hanya di lingkungan pemerintah tetapi juga pada lingkungan swasta. Swasta yang dimaksud dalam konteks ini adalah pengusaha dan juga lembaga swadaya masyarakat.
Dengan demikian semakin jelas bahwa faktor perubahan budaya yang terjadi di masyarakat adalah salah satu penyebab terjadinya korupsi. Adanya budaya masyarakat yang berorientasi pada kebendaan secara tidak sadar membawa masyarakat yang bersangkutan pada budaya materialisme. Kemudian orientasi materialisme ini leluasa untuk tumbuh dengan subur karena dilakukan pula oleh para pemimpin atau tokoh-tokoh masyarakat. Akibat yang terjadi dari kondisi tersebut adalah tanpa disadari secara perlahan korupsi telah menkooptasi pemikiran masyarakat, sehingga korupsi sering kali diartikan sesuatu yang lumrah atau suatu perbuatan yang tidak lagi bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma dan hukum.

2. Faktor Lemahnya Penegakan Hukum
“Fiat Justicia Rullat Cullum” yang berarti tegakkanlah hukum dan keadilan sekalipun langit akan runtuh, merupakan sebuah adagium hukum yang terpatri pada mereka yang konsisten pada jalur yang benar. Namun menegakkan kebenaran dan keadilan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ini merupakan perumpamaan yang sering dilukiskan yang saat ini sedang menjadi motto bagi negara Indonesia.
Hukum seharusnya berpihak pada mereka yang benar, hukum semestinya memiliki peranan yang sangat penting dalam fungsinya mengatur kehidupan masyarakat. Hukum idealnya tempat dimana kebenaran ditegakkan dan kezaliman mendapatkan hukuman. Sehingga esensi cita-cita the founding fathers yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur dapat tercapai.
Thomas Aquinus menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang merefleksikan nilai-nilai ketuhanan. Jika korupsi sebagai bentuk pelanggaran hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia adalah pencurian dan pengambilan hak-hak rakyat, maka dalam agama dan keyakinan apapun hal ini dikategorikan sebagai kezaliman.
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa tuntutan penuntasan perkara korupsi di Indonesia yang sudah digolongkan ke dalam pelanggaran hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia sudah sedemikian memuncak, karena nilai kuantitatif kerugian negara (termasuk kesengsaraan seluruh rakyat Indonesia) sudah melampaui batas-batas toleransi, baik dari sisi moral, etika, kesusilaan dan hukum. Secara kualitatif korupsi sudah menimbulkan kerugian immaterial berupa bobroknya moral sebagian penyelenggara negara, termasuk aparatur penegak hukum, yang jika dibiarkan terus seperti sekarang ini akan dapat menghasilkan generasi pemimpin yang tidak akan peduli lagi dengan kepentingan rakyat banyak.
Sebagai sarana Social Engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah prilaku warga-warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Mydral sebagai soft development yaitu hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala ini akan timbul jika terdapat faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Adapun faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan maupun golongan masyarakat lain.
Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah karena sistem hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Friedman sitem hukum akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh tiga faktor yaitu; substansi hukum, organ-organ hukum dan budaya hukum (legal culture). Kaitannya dengan penegakan hukum (law enforcement) di bidang korupsi, maka dapat dikatakan masih jauh dari yang diharapkan. Masih banyak kasus korupsi yang tidak jelas penangannya.
Dari apa yang dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Roscou Pound menjadi sebuah kenyataan. Dimana dalam kenyataan, ada kesenjangan antara hukum yang tertulis dengan kenyataan yang terjadi, dengan kata lain law in the book berbeda dengan law in action.



C. Peranan Hukum Sebagai Alat Kontrol Sosial
Dari sudut hukum tertulis (normatif) yang diberlakukan sebagai dasar hukum, sebenarnya Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang cukup memadai, antara lain;
1. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN);
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Suap;
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di Samping undang-undang tersebut di atas, masih terdapat Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dengan merujuk pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, maka subyek hukum yang diatur adalah seluruh penyelenggara yang berasal dari lembaga tertinggi negara, lembaga tinggi negara sampai pada Gubernur, Walikota, Bupati, Pemimpin Proyek, Direksi Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Jaksa dan Hakim.
Dari perangkat peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa secara normatif perangkat peraturan hukum mengenai korupsi sudah cukup memadai, namun pada kenyataannya efektifitas hukum tersebut dalam pelaksanannya masih jauh dari yang diharapkan.



D. Peranan Negara dan Masyarakat Dalam Mengatasi Korupsi
Seiring dengan perubahan politik, dari pemerintahan orde baru ke pamarintahan reformasi, apabila kita perhatikan terjadi perubahan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Masyarakat yang semula berada dalam iklim yang sangat tertutup tiba-tiba berubah menjadi masyarakat yang terbuka. Keberanian mengeluarkan pendapat dan kritik bukan lagi merupakan kejahatan politik sebagaimana terjadi pada pemerintahan orde baru yang berhasil membuat masyarakat menjadi masyarakat tertutup dan sangat takut untuk mengeluarkan aspisari dan pendapat.
Perubahan politik tersebut berimplikasi pula pada perubahan prilaku masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Dapat dilihat adanya perbedaan antara masyarakat pada pemerintahan orde baru dengan masyarakat pada masa reformasi.
Pada reformasi issue-issue korupsi diangkat sebagai prioritas yang harus diatasi dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih (good governance) guna mendukung pembangunan ekonomi. Sesungguhnya salah satu dampak perubahan politik dari era pemerintahan orde baru ke pemerintahan reformasi adalah adanya perubahan sosial yang cukup signifikan yang berimbas pada positif pada perubahan hukum.
Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah peranan masyarakat untuk iktu melakukan pengawasan aktif terhadap pejabat-pejabat publik swasta maupun pemerintah. Perubahan ini merupakan gejala sosial yang positif yang berdampak positif juga pada efektifitas hukum. Peranan masyarakat tersebut tidak hanya tumbuh di pemerintahan pusat tetapi juga tumbuh di daerah-daerah. Sebagai contoh yang terjadi di Kalimantan Barat yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat Al-Ikhrat melaporkan lima kasuÿÿkorupsi yang bernilai miliaran rupiah kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

E. Beberapa Teori Hukum Yang Relevan Dalam Upaya Pencegahan dan Penyelesaian Kejahatan Korupsi
Sebagai wacana dan instrument analisa, penulis mengemukakan beberapa teori hukum sebagai berikut :
Hukum tidak bisa dilihat pada aspek normatif tetapi hukum harus dilihat dalam aspek lain yaitu dalam realita. Yang dimaksud dengan hukum dalam realita adalah bagaimana hukum diterapkan dalam kenyataan bukan hukum dalam bentuk pasal-pasal di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Teori Eugen Ehrlich (1826-1922), pelopor dari aliran Sociological Jurisprudence, dalam bukunya Fundamental Principles of the Sociology of Law, membedakan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law) atau dengan perkataan lain suatu pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau dengan apa yang disebut oleh para antropolog sebagai pola-pola kebudayaan (culture patterns).
Perbincangan-perbincangan mengenai hubungan timbal balik antara anasir hukum dengan anasir bukan hukum sebagian besar dikedepankan oleh penganut-penganut aliran sosiologi dalam ilmu hukum (aliran Sociological Jurisprudence). Termasuk di dalam aliran ini adalah juga pemuka-pemuka mahzab sejarah.
Teori Roscou Pound dari aliran Pragmatic Legal Realism, hukum sebagai suatu bentuk rekayasa sosial (sosial engineering). Roscou Pound dalam hal ini menekankan pada efektivitas bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Lebih lanjut Roscou Pound membedakan law in the books dan law in the action.
Eugen Ehrlich juga dari aliran Sociological Jurisprudence mengatakan bahwa : “.... At the present as well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self.
Dengan demikian baik menurut teori (ilmu) hukum barat maupun pemikiran tentang hakikat hukum yang terdapat dalam aliran pikiran masyarakat Indonesia, tidak perlu ada pertentangan antara maksud untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dan pengaturan nilai-nilai atau aspirasi yang hidup dalam masyarakat.

F. Fungsi dan Peranan Hukum
Keberadaan Hukum tidak terlepas dari fungsi dan peran hukum itu sendiri. Salah satu titik berat hukum adalah pada fungsinya sebagai integrasi. Fungsi tersebut meliputi sistem kaidah yang bertugas untuk mengoreksi perilaku yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang bersangkutan. Hukum juga dipandang sebagai suatu proses.
Adapun sistem hukum merupakan pencerminan dari suatu sistem sosial dimana sistem hukum tersebut merupakan sistem sosial.
Dengan demikian sistem hukum tadi merupakan pencerminan dari unsur-unsur kebudayaan, kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan sosial maupun perubahan sosial.

G. Efektifitas Hukum
Salah satu pokok pembahasan sosiologi hukum adalah efektivitas dari hukum (positif) tertulis maupun hukum positif (tidak tertulis) dikaitkan dengan tujuan dari hukum itu sendiri. Di satu sisi hukum sebagai faktor yang mempengaruhi (independdent variable) dan di lain pihak hukum yang dianggap sebagai faktor yang dipengaruhi (dependent variable). Pada hukum tertulis terdapat derajat atau taraf efektivitas tertentu yang senantiasa tergantung pada kenyataan.
Sosiologi hukum merupakan ilmu tentang kenyataan, yaitu; ilmu pengetahuan yang menyoroti hukum sebagai prilaku etis yang teratur dan yang unik. Oleh karena hukum pada hakekatnya merupakan bagian dari pergaulan hidup manusia, yang mungkin merwujud kaidah atau prilaku etis. Adapun prilaku etis, mencakup prilaku di bidang kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum. Prilaku hukum dibedakan antara prilaku yang teratur (ajeg) dengan prilaku yang unik.

Adapun kriteria untuk menetapkan identitas prilaku hukum adalah;
1. Prilaku hukum sebagai prilaku teratur;
a. Secara sosiologis merupakan kebiasaan (yang konstan)
b. Secara psikologis tertuju pada keinginan untuk mencapai kadamaian, yakni suatu keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
2. Prilaku hukum sebagai prilaku unik;
a. Secara sosiologis merupakan keputusan-keputusan yang diambil oleh fungsionaris hukum dan/atau masyarakat.
b. Secara psikologis tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian (a peaceful living together).

H. Konsepsi Mengenai Budaya Hukum
Menurut Otje Salman dan Anton F. Susanto, dalam bukunya Beberapa Aspek Sosiologi Hukum bahwa konsepsi mengenai kebudayaan hukum (legal culture) secara relatif baru dikembangkan. Adapun salah satu kegunaannya adalah untuk dapat mengetahui perihal nilai-nilai terhadap prosedur hukum maupun substansinya. Oleh karena itu hukum tersebut merupakan bagian dari kebudayaan, maka hukum tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir dari masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Bahkan lebih lanjut dapat dikatakan bahwa hukum merupakan penjelmaan dari jiwa dan cara berpikir masyarakat yang bersangkutan.

POLRI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Oleh: Suleman Batubara, SH., MH

Seperti kita cermati bersama bahwa perubahan lingkungan yang terjadi selama ini dan di masa mendatang menunjukkan terjadinya suatu perubahan yang tidak lagi dapat dibatasi oleh ruang dan kurun waktu tertentu, semuanya terjadi begitu cepat, dan bahkan sifat perubahan yang terjadi hampir pasti tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.
Perubahan yang paling nyata sekali dapat terlihat pada lingkungan masyarakat kita di mana mereka berupaya untuk menuju terwujudnya masyarakat madani yang diyakini sebagai suatu paradigma bara bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang dengan bercirikan menjunjung tinggi akan supremasi hukum, moral dan etika, demokratisasi, hak asasi manusia, transparansi dan keadilan.
Guna mengakomodasikan harapan sebagian besar masyarakat dan bangsa Indonesia tersebut di atas, maka dikeluarkan ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka penyelamatan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara yang selanjutnya telah ditindaklanjuti pula dengan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 ) ) tentang

Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari ABRI, terutama dalam penegakan supremasi hukum dimana diperlukan Polisi yang mandiri dan independen.
Kehidupan dalam suatu negara tidak dapat berjalan normal tanpa keberadaan polisi. Negara dapat berjalan dengan baik tanpa tentara, tetapi tidak demikian jika polisi tidak terdapat dalam negara bersangkutan. Negara Jepang dan Kosta Rika (Amerika Latin) tidak mempunyai tentara tetapi kehidupan masyarakatnya dapat berjalan aman, tenteram dan damai, karena di kedua negara tersebut terdapat institusi kepolisian yang bertugas memelihara Kamtibmas3). Di Indonesia keberadaan fungsi Polisi selama ini, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengemban pembina kamtibmas kurang begitu menunjukkan perubahan yang signifikan dalam perkembangannya.
Barangkali dalam sejarah kepolisian Indonesia atau Polri tidak ada dinamika yang lebih intens daripada yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini. Selama lebih dari lima puluh tahun sejarah Polri segalanya hampir berjalan datar-datar saja. Polisi menjalankan pekerjaannya sehari-hari secara teknis kepolisian dalam suasana relatif tenang tanpa harus memikirkan hal-hal di luar itu. Apalagi sejak ia dimasukkan ke dalam ABRI di mana yang dominan berlaku adalah doktrin militer Befehl ist Befehl (perintah adalah perintah). Selama beberapa puluh tahun itu, Polri berhenti menjadi kepolisian yang otentik. la kehilangan jati dirinya yang universal, yaitu to protect and serve the people, shaking hands with the people (melindungi dan melayani rakyat. menyalami dan merangkul rakyat)4).
Mengingat urgennya keberadaan polisi, maka sudah selayaknya jika polisi diberikan kemandirian dalam menjalankan tugas selaku pemelihara Kamtibmas dan sebagai aparat penegak hukum. Tanpa kemandirian, polisi tidak akan dapat menjalnkan tugas dengan baik. Di Indonesia, sejak bergulir angin reformasi, institusi kepolisian teras dibenahi seiring dengan kebutulian jaman dan perkembangan masyarakat.5)
Lahimya momentum reformasi, eksistensi POLRI baik sebagai organ6) maupun sebagai fungsi7) turut menjadi pembicaraan dan bahkan telah ditetapkan sebagai salah satu agenda reformasi. Hampir semua kalangan dari berbagai lapisan masyarakat-pun turut pula memberikan sumbangsih pemikiran berupa pendapat atau ide tentang mulai dari bagaimana posisi POLRI dalam sistem ketatanegaraan RI hingga bagaimana figur sosok POLRI yang diharapkan oleh masyarakat. Bersamaan dengan itu pula, banyak topik diskusi ilmiah dihasilkan sebagai buah kajian untuk menentukan warna POLRI saat sekarang dan di masa datang. Ini semua merupakan manifestasi dari kepedulian dan rasa memiliki terhadap POLRI
. Kepedulian dan rasa memiliki terhadap POLRI kiranya tidaklah berlebihan karena kepolisian merupakan suatu institusi yang kepadanya diberikan mandat untuk menjaga keamanan dan ketertiban bagi segenap masyarakatnya8). Keamanan dan ketertiban merupakan kebutuhan hakiki manusia yang tergolong dalam kebutuhan dasar (basic need). Maka, usaha untuk memikirkan POLRI bukanlah urusan Pemerintah semata melainkan tanggung jawab kita bersama — segenap komponen bangsa,
Makalah ini disajikan untuk memberikan gambaran bagaimana persepsi dan komitmen POLRI tentang dirinya sendiri dalam membangun budaya POLRI yang berorientasi pada kepentingan publik sebagai respon terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat dalam era demokratisasi. Dengan tujuan agar usaha-usaha POLRI untuk mereformasi dirinya mendapatkan dukungan dan penyempurnaan dari masyarakatnya9).
Pembicaraan tentang POLRI semakin dirasakan demikian perlu karena dalam sosok POLRI terakomodasi berbagai kepentingan, yang diharapkan dapat dilaksanakan secara seimbang dan terpadu. Kiranya penonjolan pada salah satu peran seperti selama ini yang dilakukan POLRI seharusnyalah diubah menuju pada peran yang proporsional dan profesional.
Semula, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan bagian dari militer10). Polisi menjadi bagian dari ABRI bersama matra yang lain, yaitu TNI AD, TNI AU dan TNI AL. Dimasukkannya Polri dalam ABRI menjadikan pengembangan kelembagaan maupun personil Polri tidak berjalan baik. Model demikian menjadikan institusi Polri tidak mandiri. Polri sering diintervensi dalam menjalankan tugas11), terutama dalam pelaksanaan tugas sebagai aparat penegak hukum.
Apabila suatu kasus melibatkan atau mempunyai keterkaitan kepentingan dengan matra ABRI yang lain, maka kinerja Polri tidak dapat berjalan dengan baik. Fakta sejarah membuktikan betapa Polri tidak berdaya menangani suatu kasus yang di dalammnya terdapat kepentingan matra ABRI yang lain. Kasus Marsinah, Kasus Penculikan Aktivis pro demokrasi oleh Kopasus, Kasus pembunuhan Udin (wartawan Harian Bernas), Kasus Trisakti dan Semanggi, dan lain-lain12).
Menempatkan Polri sebagai bagian dari ABRI merupakan satu-satunya model di dunia13). Di negara manapun di seluruh dunia institusi kepolisian bersifat mandiri dan tidak menjadi sub ordinal institusi militer. Kenyataan demikian menjadikan kerjasama antara Polri dengan kepolisian negara lain tidak berjalan normal. Negara lain tidak mau bekerjasama dengan Polri karena merupakan bagian dari militer dengan sifat destruktif dan ofensif. Sementara sifat hakiki dari polisi adalah sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Melihat kenyataan seringnya kinerja Polri diintervensi lembaga ekstra yudisiil, maka kemudian muncul keinginan agar Polri dipisahkan dari ABRI. Maka, sejak 1 April 1999 Polri dipisahkan dari ABRI14). Selanjutnya melalui Kepres No. 89/2000, sejak 1 Juli 2000 Polri ditempatkan langsung di bawah Presiden. Kepres tersebut kemudian dikukuhkan menjadi Tap MPR No. Vll/2000 yang menempatkan Polri berada di bawah Presiden. Terakhir dikukuhkan dengan UU Polri No. 2/200215)
Kemandirian Polri sangat diperlukan terutama dalam pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum. Peradilan pidana bertujuan memulihkan keseimbangan masyarakat yang terganggu akibat tindak kejahatan. Dalam rangka pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana16), polisi mutlak memiliki kemandirian agar bebas dari intervensi kekuasaan ekstra yudisiil17). Tanpa kemandirian mustahil polisi mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai aparat penegak hukum18)19).
Aparat penegak hukum yang lain, yaitu kejaksaan dan pengadilan telah mandiri20), sehingga mereka dapat dengan bebas menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Perangkat hukum yang ada telah menjamin kemandirian lembaga tersebut, yaitu UU No. 5/1991 tentang Kejaksaan dan UU No. 14/1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum memberikan jaminan kemerdekaan bagi jaksa dan hakim dalam menjalankan tugas peradilan.
Sementara UU Polri baru diubah pada bulan Januari 2002 melalui UU No. 2/2002. Itupun dilakukan setelah ditekan dari berbagai pihak, sejak Polri dijadikan bulan-bulanan oleh Presiden Abdurrahman Wahid21). Ketidaksinkronan regulasi bagi institusi Polri dimanfaatkan oleh Penguasa untuk melakukan intervensi ke tubuh Polri. Di samping itu juga melemahkan kinerja dan keberadaan Polri di samping aparat penegak hukum yang lain.
Tidak jarang aparat polisi mengalami kesulitan melaksanakan tugas manakala terbentur kekuasaan ekstrayudisiil di luar dirinya yang melakukan kooptasi dalam pelaksanaan tugas polisi. Kendati polisi mempunyai diskresi22)23)24) dalam menjalankan tugas, adanya belenggu struktural dan kelembagaan tersebut tidak memungkinkan polisi mengembangkan diskresinva dengan baik. Padahal, diskresi polisi tersebut dapat dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan tugas sebagai order maintenance maupun sebagai official law enforcement (Faal, 1991 : 65).
Secara bistorts sebenarnya keberadaan lembaga kepolisian pernah berdiri sendiri. Berdasarkan PP No. 11 D Tahun 1946 tanggal 1 Juli 194625)26), kepolisian ditempatkan di bawah Perdana Menteri. Namun kemudian Polri ditempatkan di dibawah kendali militer berdasarkan Penetapan Dewan Pertahanan Negara No. 112 tanggal 1 Agustus 194727). Kondisi tersebut terus dipertahankan dalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Hankam dan UU No. 28 Tahun1997 tentang Polri. Namun berdasarkan Kepres No. 89/2000 yang kemudian dikukuhkan melalui Tap MPR No. Vll/2000 kemandirian POM sudah dijamin, lalu dikukuhkan melalui UU No. 2/2002.
Kebijakan memandirikan Polri dengan menempatkan langsung di bawah Presiden berarti menyamakan kedudukan dengan penegak hukum yang lain. Kejaksaan sejak lama sudah merupakan lembaga tersendiri yang terlepas dari departemen (menteri) dan berada langsung di bawah presiden. Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Lembaga peradilan malah lebih mandiri dan bebas karena berada di luar kekuasaan eksekutif. Lembaga peradilan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang kebebasan dan kemandiriannya dijamin oleh Pasal 24 UUD 194528).
Dengan menempatkan Polri berada di bawah Presiden, maka polisi akan dapat menjalankan tugas secara bebas dan mandiri, lepas dari intervensi kekuasaan ekstra yudisil. Menurut Satjipto Rahardjo, memang sudah sepantasnya jika polisi diberi otonomi atau wewenang penuh dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai penyidik. Karena, masalah yang selama ini menjadi ganjalan dalam meningkatkan citra dan wibawa Polri adalah otonomi kepolisian29) yang belum bisa berjalan secara penuh (dalam Kunarto, 1995 : 299).
Momentum tersebut kemudian tidak disia-siakan oleh Polri untuk sesegera mungkin merumuskan kembali kedudukan30), tugas31) dan peran Polri yang lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat yang mengarah pada kehidupan negara yang lebih demokratis dalam tatanan masyarakat madani.
Jajaran Polri memandang bahwa untuk mewujudkan keinginan tersebut, ternyata ada tiga hal yang hams disoroti dimana ketiganya merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan yaitu pembenahan aspek struktural, instrumental dan kultural.

1. Aspek Struktural
Ditinjau dan aspek struktural bahwa pada masa transisi, Polri tidak langsung dipisahkasan dan militer namun beralih dahulu dibawah Dephankam32), baru kurang lebih satu tahun kemandirian Polri berada langsung dibawah Presiden sesuai dengan Kepres no 89 / 2000 dan dikukuhkan dengan UU no 2 / 200233). Sehingga dari sini terasa bahwa proses kemandirian Polri masih memerlukan waktu tertentu dalam menuju statusnya sebagai suatu lembaga pemerintah non departemen yang langsung berada di bawah presiden.
Padahal dengan status Polri yang mandiri diharapkan Polri akan memiliki peluang yang lebih besar untuk lebih meningkatkan kinerja dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan mengutamakan Pokes sebagai kesatuan operasional dasar dan Polsek sebagai ujung tombak operasionalnya.

2. Aspek Instrumental
Perubahan dalam aspek instrumental akan meliputi: visi, misi dan tujuan, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan ilmu pengetahuan yang keseluruhannya akan dijadikan sebagai pedoman dalam upaya membentuk suatu budaya pelayanan Polri yang menempatkan Polri sebagai abdi utama, sebagai warga negara teladan dan wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat34).

3. Aspek Kultural
Aspek kultural merupakan ujung dari perubahan pada kedua aspek sebelumnya dimana pada akhirnya perubahan atau pembangunan Polri hams terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual Polri terhadap masyarakat, sehingga secara langsung atau tidak langsung budaya kepolisian akan tercermin pada sikap dan perilaku setiap insan Polri dalam penyelenggaraan tugas penegakan hukum, perlindungan, bimbingan dan pengayoman masyarakat. Perubahan aspek kultural dilakukan melalui perubahan manajerial yang menitikberatkan pada kegiatan pembinaan personel, sistem rekruitmen, sistem pendidikan Polri35) dan pembinaan materiil, fasilitas dan jasa, serta sistem penganggaran yang keseluruhannya diarahkan pada terbentuknya sikap, perilaku dan etos kerja profesionalisme36). Kepolisian yang sudah barang tentu berbeda dengan budaya militeristik yang selama ini telah diberlakukan di organisasi Polri dan sekarang dinilai tidak sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.

Intervensi Penguasa
Kendati Polri telah mandiri sejak dipisahkan dari TN1, namun dia tetap tidak steril dari intervensi penguasa. Sebagai bawahan penguasa (Presiden) ternyata Polri masih mengalami kooptasi. Intervensi yang paling mutakhir adalah tindakan Gus Dur mengganti Kapolri tanpa mengindahkan aturan yang berlaku37).
Ketika Kapolri Rusdihardjo diberhentikan dan diganti Surojo Bimantoro38) dilakukan Presiden tanpa persetujuan DPR.
Berikutnya, tatkala kinerja Bimantoro dinilai tidak maksimal dan diminta mundur namun menolak, Presiden menonaktiikannya dari jabatan Kapolri. Kemudian Presiden mengangkat Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri39). Padahal, jabatan Wakapolri telah dilikuidasi berdasarkan Kepres No. 56/2001. Namun melalui Keppres No. 41/2001 Presiden mengangkat Wakapolri baru yang merangkap pelaksana tugas sehari-hari Kapolri non aktif40). Selanjutnya melalui Kepres No. 77/2001 Presiden mengukuhkan kembali jabatan Wakapolri.
Tindakan Presiden menonaktitkan Kapolri dan menghidupkan kembali jabatan Wakapolri menimbulkan dualisme pimpinan di tubuh Polri. Kapolri non aktif didukung para jenderal dan DPR, sementara Wakapolri didukung Presiden beserta beberapa gelintir jenderal dan para perwira menengah (komisaris besar)41). Prajurit Polri di tingkat bawah mengalami kebingunan hendak mengikuti perintah atasan yang mana, sehingga timbul ketegangan antara kubu Kapolri non aktif dan Wakapolri.
Kebijakan Presiden menonaktifkan Kapolri dan mengangkat Wakapolri merangkap Pit Kapolri, tanpa persetujuan DPR sebenarnya dipicu oleh perbedaan penafsiran atas Tap MPR No. Vll/2000. Pasal 11 Tap MPR tersebut dengan tegas menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut dilaksanakan dengan UU. Sementara UL yang mengatur Polri waktu itu masih produk lama, yakni UU No. 28/1997, UU tersebut masih menempatkan Polri sebagai bagian dari ABRI/TNI42).
UU Polri no 28/1997 juga mengatur kewenangan penuh Presiden untuk menerbitkan kebijakan di bidang kepolisian, termasuk melakukan penggantian Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR43). Semua tindakan Presiden tersebut agaknya didasarkan pada UU No. 28/1997, sehingga dia merasa tidak melanggar Tap MPR No. V11/2000, karena UU memberikan wewenang penuh kepada Presiden untuk menerbitkan kebijakan di bidang kepolisian44).
Demikian pula penerbitan Kepres No. 41/2001 dan No. 77/2001 dinilai tidak menyalahi Kepres No. 56/2001, karena wewenang menerbitkan dan mencabut Kepres sepenuhnya ada pada Presiden. Secara teoritis suatu peraturan perundang-undangan dapat dicabut dengan peraturan yang setingkat atau lebih tinggi. Kepres 56/2001 tercabut oleh Kepres No. 77/2001 karena mengatur hal yang sama. Peraturan sederajad yang terbit belakangan mencabut berlakunya peraturan terdahulu jika mengatur hal yang sama (lex posteriori derogat lex priori).
Meski secara hukum intervensi Presiden waktu itu masih debatable dan oleh sementara kalangan dianggap sah, namun tidak seharusnya dilakukan jika menimbulkan keresahan internal di tubuh Polri. Apalagi jika kebijakan itu didasari kepentingan politis sesaat untuk mempertahankan kekuasaan. Penonaktifan Kapolri dan pengangkatan Wakapohi konon dilakukan karena Bimantoro mbalelo dari keinginan Gus Dur45), salah satunya adalah penolakan terhadap penerbitan Dekrit keadaan darurat dan pembubaran parlemen.
Belajar dari pengalaman pahit tersebut, maka untuk ke depan penerbitan kebijakan di bidang kepolisian harus benar-benar dilakukan untuk kepentingan internal Polri, bukan mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan. Meski suatu kebijakan mempunyai dasar hukum, namun jika diterbitkan secara kontroversial akan menimbulkan reaksi dan kecurigaan sebagian kalangan bahwa hal itu adalah untuk kepentingan politis guna mempertahankan kekuasaan. Padahal, secara konstitusional telah dikatakan bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas memelihara Kamtibmas46), bukan alat kekuasaan atau pemerintah belaka.
Semangat kemandirian Polri yang telah dijamin oleh UU No. 2/2002 haras benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah. Presiden tidak boleh semau gue melakukan intervensi terhadap Polri47). Dalam UU Polri No. 2/2002 telah diatur batas kewenangan menerbitkan kebijakan di bidang Polri oleh Presiden dan mekanisme penggantian Kapolri sesuai Tap MPR No. VII/2000.

Ciri Universal Polisi
Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal. Ciri polisi yang bersifat universal ini dapat ditelusuri dari sejarah lahimya polisi, baik polisi berdasarkan pada selera dan pendapat presiden sendiri, tetapi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai fungsi maupun polisi sebagai organ. Bila ditilik dari asal muasalnya, fungsi kepolisian lahir bersamaan dengan lahimya masyarakat48). Fungsi kepolisian ditujukan untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri. Disebabkan kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari individu-individu warga masyarakat. Ketika masyarakat itu bersepakat untuk bidup di dalam suatu negara, pada saat itulah dibentuk pula lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi "Sicherheitspolitizei". Jadi kehadiran polisi itu adalah tergolong organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan (enforcing effect).
Dengan demikian, maka lembaga kepolisian adalah lembaga yang harus tetap tegak berdiri sekalipun negara itu runtuh. Negara bisa saja bubar, pemerintah atau rezim boleh saja jatuh atau berganti, namun polisi harus tetap tegak berdiri untuk mengamankan warga masyarakat dari ekses-ekses yang mengancam jiwa, raga, dan harta bendanya. Bahkan, tatkala negara sedang dalam pendudukan tentara asing sekalipun, polisi tetap menjalankan tugasnya yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakatnya49). Polisi melekat pada setiap warga masyarakat50). Jelaslah bahwa kepolisian adalah subordinasi dari masyarakatnya, sehingga masyarakat menjadi titik awal dan titik akhir pengabdian (point of departure) dari kepolisian.

Potret Kepolisian oleh Polri
Lalu, apakah Kepolisian RI dapat melepaskan diri dari sifat keuniversal-an tersebut di atas? Sudah barang tentu, tidak ! Karena manusia di seluruh dunia ini adalah sama, yaitu sama-sama membutuhkan rasa aman demi kelangsungan hidupnya51).
Akan tetapi, sejarah kehidupan bangsa Indonesia telah mencatat bahwa selama tahapan terakhir dari sejarah politik dan kenegaraan di Indonesia, disadari atau tidak, diakui atau tidak, telah terjadi tindakan pembusukan, pengkerdilan, pembodohan dan pelecehan terhadap kultur dan sistem peradilan dimana POLRI berada pada posisi ujung tombaknya52). Pada tahap milah terjadi pengingkaran terhadap jatidiri POLRI yang sebenarnya, yang bermuara pada terbentuknya budaya POLRI yang teiah sama-sama kita rasakan53).
Praktek perpolisian selama empat dasawarsa terakhir, POLRI telah menampilkan wajah sebagai sosok militer, yang menempatkan warga masyarakat sebagai lawannya. Potret bentuk perpolisian lebih berorientasi pada kekuasaan, sehingga acapkali outputnya adalah dalam bentuk-bentuk "penggunaan kekerasan telanjang" (brute force), yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk memperkokoh kekuasaan, sehingga tak pelak lagi POLRI dituding melakukan pelanggaran HAM.54)
Sebenarnya POLRI sendiri memiliki persepsi yang selaras dengan hakekat jatidiri polisi yang memiliki ciri universal. Sejarah pernah mencatat bahwa POLRI mengalami jaman keemasan di awal kelahirannya. Masa-masa dimana POLRI benar-benar berperan sebagai polisi justru pada permulaan keberadaannya sebagai polisi Republik berkat adanya keteguhan hati Pimpinan POLRI pada saat itu yaitu Jenderal Pol. R.S. Soekanto yang memiliki prinsip bahwa secara tehnis profesional POLRI tidak boleh berpolitik55). Namun, kemudian terjadi penyimpangan, POLRI jelas-jelas berpolitik, bahkan menjadi organisasi peserta pemilu pada Pemilih (1955)56). Kondisi ini semakin diperparah dengan dicanangkannya integrasi total pada tahun 196957), POLRI menjadi pendukung pokok Dwi Fungsi ABRI. Masih beruntung dalam dunia politik POLRI hanya berperan sebagai pelengkap penderita (hikmah dari perlakuan yang tidak adil).
Akan tetapi POLRI secara profesional sudah berubah menjadi polisinya Penguasa. Karena keikut-sertaan polisi dalam politik membawa konsekuensi keberpihakan. Keberpihakan POLRI berarti ketidak-adilan dan setiap ketidak-adilan adalah malapetaka. Bersamaan dengan perjalanan sejarah inilah, budaya polisi dengan identifikasi diri sebagai polisi Penguasa terinternalisasi dalam struktur kelembagaan maupun struktur kognisi individu anggota POLRI.
Kesadaran dan keinginan POLRI untuk segera kembali ke jatidiri sebagai polisi sejati sebenarnya telah jauh mendahului lahirnya momentum reformasi. Namun sayang kesadaran dan keinginan itu tidak terlampau berdaya melepaskan belenggu sistem yang meneriakkan integrasi. Apalagi POLRI berada pada kondisi serba inferior. Berbagai ide dan konsep pemikiran yang mengarah pada reorientasi dan rektualisasi jatidiri sebagai polisi yang dilakukan oleh pemikir-pemikir POLRI58) yang diharapkan mampu memberi nuansa baru pada praktek perpolisian, acapkali terhempas ditengah jalan. Contoh konkrit hal ini adalah bagaimana konsep BABINKAMTIBMAS59) dipertentangkan ditingkat elit ABRI kala itu (1990-an) karena operasionalisasinya dianggap dapat mengurangi bahkan dianggap sebagai usaha untuk mengambil alih peran Matra ABRI lainnya khususnya operasi teritorial60).
Upaya membangun budaya Polri mandiri yang berorientasi publik
Sejarah tidak hanya berjalan by decree, tetapi juga by social process. Perubahan dalam sejarah melalui proses sosial ini bersifat lebih alami dan tidak artifisial. Proses yang disebut belakangan ini muncul dalam “Kasus Bimantoro”61)
Kasus itu merupakan tahapan penting lain dalam perjuangan menuju kemandirian, yang perlu dicatat dengan baik-baik dalam sejarah Polri. Kasus Bimantoro adalah perjalanan menuju kemandirian Polri by process. Penggantian Kepala Polri Rusdiliardjo juga sama dengan penggantian Bimantoro yang menimbulkaii gejolak dalam masyarakat karena dianggap menyalahi ketentuan hukum62).
Tetapi, masalahnya tidak menimbulkan gejolak lebih lama oleh karena Kepala Polri Rusdihardjo memilih sikap diam. Sikap ini berbeda daripada sikap Bimantoro yang memilih melakukan perlawanan yang tidak dapat menerima cara-cara penggantian seperti itu. Perlawanan tersebut bukan merupakan perlawanan yang bersifat pribadi, melainkan sudah melibatkan Polri secara institusional. Hal ini terjadi karena segera sesudah penolakan Bimantoro terhadap penggantiannya, sejumlah mantan Kepala Polri berkumpul dan mengeluarkan deklarasi yang mendukung sikap Bimantoro serta lebih tegas menempatkan masalahnya dalam konteks kemandirian Polri63).
Kepolisian-kepolisian di dunia mempunyai sejarahnya masing-masing dan di dalam sejarah itu akan tampak pilihan masalah penting yang memberi warna khas kepada perpolisian di negeri itu. Kendati demikian, kita dapat mengatakan, bahwa pada umumnya masalahnya berkisar pada profesionalisme dan otentisitas perpolisian. Hampir setiap konferensi kepolisian internasional membicarakan profesionalisme tersebut dalam konteks perubahan-perubahan di dunia. Sejarah kepolisian Indonesia menakdirkan bahwa ia harus menghadapi masalah atau perjuangan ke arah kemandirian. la mengalami bagaimana ketidakmandirian menghambat penegakan profesionalismenya. Selama berpuluh tahun dalam ABRI Polri kurang dapat mengembangkan cara-cara perpolisian yang otentik dan profesional, karena didominasi oleh doktrin militer.64)
Profesionalisme adalah penting, tetapi ia bukan tujuan pokok. Profesionalisme Polri prating dalam rangka lebih dapat melakukan pelayanan dan perlindungan masyarakat. Profesionalisme dan kemandirian merupakan standar dalam kepolisian di dunia, tetapi ia selalu berupa "perpolisian-dalam-konteks", Perpolisian di rnasyarakat liberal berbeda daripada di masyarakat yang lebih bersifat komunal.
Masalah kemandirian, profesionalisme, serta standar perpolisian yang otentik memang menjadi modal dasar agar masyarakat mendapatkan pelayanan yang baik dari polisinya. Tetapi, kita tak boleh melupakan, bahwa agenda menaikkan kesejahteraan Polri65), terutama untuk pangkat-pangkat rendah, tetap merupakan hal yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan. The price of safety sudah menjadi semacam norma dalam pengadaan keamanan dan ketenteraman di dalam negeri. la tidak gratis, melainkan kita semua harus bersedia mengeluarkan ongkos untuk itu.
Atas dasar konstruksi perkembangan kesejarahan, tuntutan sosiologis-politis, dan pandangan ke depan dengan satu tujuan akhir mewujudkan masyarakat madani, kiranya kita sepakat untuk membangun komitmen mewujudkan Polri yang benar-benar dapat berfungsi sebagai polisi di negerinya sendiri - Indonesia tercinta ini. Oleh karena itu membangun budaya POLRI baru yang berorientasi publik adalah kewajiban kita bersama66).
Tepatnya pada 1 April 1999 Polri mulai menggeliat dengan dekrit Polri keluar dan ABRI67). Sejak saat itu sejarah Polri mulai menunjukkan dinamika dengan tingkat akselerasi yang makin lama makin kuat. Penyebutan 1 April 1999 hanya sekadar momentum yang konkret saja, ia hanya puncak dan gunung es yang menyembut di permukaan laut. Di bawahnya teriadi gejolak yang lebih intensif, yaitu keinginan untuk menjadi polisi yang mandiri, otentik, dan lebih profesional. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Yang menarik untuk dicatat dalam sejarali sehubungan dengan Dekrit 1 April 1999 adalah, bahwa satu langkah ke arah kemandirian Polri telah berlangsung by decree. Kini terdengar suara atau pendapat yang ingin lebih menegaskan kemandirian Polri melalui perundang-undangan, menyusul Dekrit 1 April 1999 di atas. Ide ini cukup baik, oleh karena dengan demikian kemandirian Polri memperoleh legitimasi yang lebih konkret. Di situ dapat ditegaskan hakikat kemandirian, ciri-cirinya, dan sebagainya.
Terhitung sejak Sabtu 1 Juli 2000, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara resmi berpisah dan Departemen Pertahanan (Dephan) yang selama satu tahun lebih mengelola Polri sejak lepas dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) per 1 April 1999 Selanjutnya Polri akan langsung berada di bawah Presiden. Pemisahan dari Dephan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89/2000 tertanggal 1 Juli 2000.
Polri dipisahkan dari TNI sejak 1 April 1999 dan kemudian berada di bawah naungan Dephan. Pemisahan dari Dephan sendiri, raenurut rencana semula akan dilakukan pada awal tahun 2001.
Momentum reformasi yang tak lain merupakan ledakan dari endapan kebencian rakyat yang dibentuk oleh pengalaman pahitnya selama berpuluh-puluh tahun telah mendorong dan merupakan faktor penekan untuk melakukan reformasi total68). Reformasi di bidang hukum telah memberi angin segar bagi POLRI. Peluang untuk kembali ke kitah POLRI telah terbuka. Namun situasi yang diwarnai keserba-tidak pastian, mengharuskan POLRI berhati-hati untuk merancang reformasi dirinya karena banyak hal yang sangat bergantung pada unsur-unsur ekstemal - yang di luar kemampuan POLRI untuk mengendalikannya.
Kendati demikian dengan didasari tuntutan suara nurani - yang diyakini merupakan sumber ajaran kebenaran hakiki, yang kemudian diramu dengan penalaran secara ilmiah dan pengalaman empiris, POLRI akan terus membangun budaya POLRI baru yang berorientasi pada kepentingan publik melalui reorientasi paradigmatik.
Tekad demikian ini didasari oleh pemahaman dan kesadaran bahwa semakin maju suatu masyarakat, makin tinggi harapan (expectations) masyarakat itu terhadap kemampuan polisinya69). Dengan demikian masyarakat madani yang Momentum reformasi sebagai luapan kebencian rakyat terhadap maraknya KKN ditubuh pemerintahan pada saat itu, dimana banyak koruptor tidak terjangkau oleh hokum, sedangkan kehidupan rakyat kelas menengah kebawah semakin terhimpit oleh naiknya barang-barang yang disebabkan oleh krisis ekonomi, yang mengakibatkan terpuruknya kehidupan ekonomi di Indonesia secara makro. hendak kita tuju akan selalu mendorong dan memberikan motivasi untuk pengembangan organisasi dan kemajuan Polri. Kata kunci yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat madani adalah Polri baru yaitu Polri yang mandiri dan profesional yang berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya. Kemandirian yang ditandai profesionalisme klias kepolisian, yang menjamin tidak akan ada lagi intervensi terhadap tugas-tugas kepolisian utamanya tugas penegakan hukum.
Realitas sosial menunjukkan bahwa kehadiran polisi itu diperlukan, baik dalam keadaan perang, keadaan genting-darurat, apalagi dalam keadaan damai. Dengan demikian dapatlah disebut suatu negara itu akan selalu membutuhkan kehadiran polisi yang terus menerus siaga (standing police).
Dalam mensikapi proses reformasi dan tuntutan masyarakat dan sebagai upaya mengembalikan POLRI ke khitahnya, yaitu Polisi yang mandiri dan profesional, Polri telah melakukan reorientasi paradigmatik melalui penetapan visi, misi dan tujuan Polri masa depan70), yang selanjutnya diikuti dengan langkah-langkah perubahan, baik pada tataran konsepsi maupun teknis operasional.
Output dan reorientasi paradigmatik ini adalah meletakkan rakyat sebagai pusat perhatian dan pengabdian POLRI, sehingga rakyat adalah titik awal dan titik akhir dari pengabdian POLRI71). Maka, Polri sebagai organ adalah menempatkan bagian dari kelengkapan negara dan bukan pemerintah. POLRI bukan alat penguasa tetapi sebuah badan kenegaraan yang bertugas mengayomi semua unsur yang ada dalam negara, maka sebagai demikian, Polisi menjadi lebih dekat kepada hukum, Dengan demikian, POLRI baru adalah Polisi yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada hukum72). Sedangkan kepada institusi negara yang membawahinya (institusi Presiden sesuai harapan POLRI) hanya berupa pertanggung-jawaban administrasi semata.
Melalui paradigma baru ini akan dikembangkan suatu tipe "Perpolisian Berkemanusiaan (human Policing)", yaitu ruang yang menggunakan "Humanistic Scenario73)," yang menggantikan "Repressive Scenario74)" yang digunakan selama ini. Dalam operasionalnya akan terimplementasi melalui jati diri yang mempersepsikan diri sebagai abdi masyarakat, mempunyai sikap, metode dan orientasi kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani, serta sikap kemandirian yang dapat diaktualisasikan melalui kemampuan profesionalisme yang mumpuni. Singkat kata, polisi haras manusiawi.
Sikap keberpihakan yang selama ini mewarnai pola perpolisian POLRI harus diluruskan. Keberpihakan POLRI ditujukan kepada hukum. Kendati demikian POLRI juga menyadari sepenuhnya bahwa rumusan normatif dari seperangkat aturan belum tentu mampu mengakomodasi seluruh fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Berkenaan dengan kenyataan ini maka setiap individu POLRI diwajibkan lebih memiliki kepekaan moral dan kepekaan intelektual ketimbang kepekaan fisik.
Kesadaran untuk membangun kepekaan moral dan intelektual ini memberikan ruang gerak seluas-luasnya kepada segenap inisiatif pimpinan kewilayahan untuk melakukan inovasi dalam rangka pengembangan pola dan metode operasional yang akan diterapkan di wilayah tugasnya. Cara pandang yang demikian juga akan memberikan ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya sistem kontrol dari masyarakat75).
Kendati demikian, apa yang telah diuraikan di atas, hanya akan menjadi omong kosong apabila tidak terlebih dahulu memanusiakan polisi76). Karena sebaik apapun konsep yang telah diformulasikan tidak serta merta menjamin bahwa hal tersebut akan dapat teraktualisasi dengan baik. Apalagi bila dikaitkan dengan perilaku yang telah membudaya. Merubah budaya yang merupakan bentukan dari hasil interaksi sosial bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tentulah memerlukan waktu yang cukup lama pula. Untuk membangun POLRI77) yang manusiawi - yang bebas dari kekerasan adalah mahal. Budaya kekerasan yang dianggap tidak manusiawi - yang menjadi potret POLRI selama ini sebenarnya terbentuk karena POLRI sendiri diperlakukan secara tidak manusiawi. Contoh ringan yang gamblang, cobalah bayangkan, satu orang polisi dengan alat dan perlengkapannya yang serba terbatas harus menghadapi (melayani) 1500 orang warga dengan segala karakternya. Manusiawikah hal ini ? Satu peleton polisi dengan perlengkapan seadanya harus berhadapan dengan massa demonstran yang jumlahnya lebih besar (yang secara psikologis memiliki disorganisasi kognitif dan biasanya emosiotial) dimana polisi diharuskan menahan emosi amarah mereka ketika mereka diteriaki kata-kata yang kasar bahkan lemparan batu. Manusiawikah hal demikian ini ? Alhasil, karena polisi dihadapkan pada situasi emergency seperti ini, akhimya mereka menggunakan segala cara yang dianggap dapat melindungi dirinya, termasuk cara-cara kekerasan. Kondisi demikian terjadi dan terjadi secara terus menerus, akhirnya jadilah budaya polisi itu sebagaimana juga potret budaya masyarakamya.
Dari contoh ringan di atas jelaslah bahwa kultur kepolisian akan sangat tergantung pada kadar demokrasi bangsanya. Demikian juga dengan POLRI. Jika bangsa Indonesia bangsa yang demokrasi, maka tegakanlah hak dan kewajiban secara proporsional. Sekarang, demokrasi seperti apakah yang ingin kita bangun ? Apakah demokrasi yang berorientasi pada kekuasaan (seperti masa lain) - ataukah berorientasi pada supremasi hukum dan menegak hormati HAM ? Jika kita ingin membangun demokrasi ke arah yang lebih baik, konsekuensinya, POLRI dengan penuh kearifan. Berikanlah otonomi kepada POLRI untuk mengurus dirinya sendiri sehingga ia mampu tampil sebagai polisi yang profesional, efektif, efisien dan modern (PEEM). Bukankah yang paling tahu tentang polisi adalah diri polisi itu sendiri ? Berapa jumlah polisi, bagaimana jenis dan kualitas peralatan yang diperlukan, tehnologi apa yang digunakan untuk menunjang kelancaran tugasnya, dan bagaimana metoda kerja yang tepat untuk mencapai efektivitas kerja yang diharapkan, hanya polisi sendirilah yang bisa menjawabnya dengan tepat.
Polisi yang PEEM adalah polisi yang mampu bekerja secara proporsional dan profesional. Dengan demikian fungsi POLRI81} sebagai penegak hukum, sebagai pembina ketertiban dan sebagai pembina keamanan harus diletakan secara seimbang dalam arti proporsional dan profesional. Hal demikian tidak dapat dilepaskan dari posisi struktur kelembagaan POLRI dalam sistem ketatanegaraan. Karena setiap posisi kelembagaan kepolisian akan membawa model kultur tersendiri.
Jika memang benar kita semua berharap agar POLRI dapat membangun citra diri sebagai polisi negara - yang juga berarti polisi rakyat, maka posisikanlah POLRI pada posisi yang tidak memungkinkan keberpihakan selain keberpihakan kepada hukum.
Paradigma baru POLRI pada tataran operasional teraktualisasi dalam bentuk kedekatan polisi dengan masyarakatnya, yang dipercaya merupakan syarat utama keberhasilan misi POLRI. Melalui kedekatan ini akan dimungkinkan dibangun suasana kemitraan yang didasari oleh adanya kesadaran bersama akan adanya kenyataan bahwa SDM POLRI yang terbatas tidak mungkin mampu mengamankan masyarakatnya yang demikian besar jumlahnya. POLRI membutuhkan partisipasi masyarakat.
Implementasi konkrit pola kemitraan yang telah dirasakan manfaatnya, sebagai contoh dikemukakan suatu model pengelolaan krisis oleh jajaran Polda Jawa Tengah melalui "Crisis Center." Model "Crisis Center" yang secara mandiri telah diuji cobakan di wilayah Polda Jateng dalam menghadapi masa kampanye dan PEMILU 1999 terbukti efektif meredam dampak negatif dari situasi krisis, dan bahkan justru mampu membangun komitmen kemitraan antara POLRI dan masyarakat di Jawa Tengah.
Selain itu kiat-kiat krisis teknis operasional yang senantiasa disesuaikan dengan keadaan dan budaya masyarakat setempat perlu terus dikembangkan sebagai upaya percepatan dalam membangun budaya POLRl yang berorientasi pada kepentingan masyarakat Masing-masing pimpinan kewilayahan POLRI dituntut mampu mengenali budaya lokal daerahnya dan merangkum aspirasi masyarakatnya guna melahirkan inovasi yang tepat guna berkenaan dengan metodologi dan sistem operasional POLRl selaras dengan tuntutan masyarakatnya.
Yang juga. tidak kalah berpengaruhnya adalah pola interaksi internal organisasi baik secara horisontal maupun vertikal, sedemikian rupa harus memberikan ruang gerak seluas-luasnya bagi berkembangnya pola interaksi dua arah dan pola komunikasi dialogis. Nuansa "militeristik - monologis - top down" harus segera beralih kepada pola yang bersifat "demokratis - dialogis - bottom up.
Maka, disini gagasan POLRI sebagai Polisi Nasional yang didesentralisasikan akan memiliki relevansi kuat untuk diwujudkan. Dengan demikian masing-masing pimpinan kewilayahan POLRI dituntut mampu tampil protagonis, artinya mampu mengenali budaya dan mampu menyerap aspirasi dan gagasan-gagasan perubahan dari masyarakamya, sehingga bentuk perpolisian yang diterapkannya pun harus dapat menyelarasi perkembangan masyarakat. Pekerjaan perpolisian yang harus dikembangkan adalah bentuk perpolisian yang bukan hanya berorientasi "normatif, tetapi juga "kultural" yang berdimensi kemanusiaan. Pola pendekatan dalam aplikasi perpolisian yang digunakan lebih bersifat unik - variatif sekalipun pedoman atau standart kerjanya ditetapkan secara nasional.

Saturday, February 5, 2011

HAK DAN TANGGUNG JAWAB ORGAN-ORGAN PERSEROAN SEBELUM LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Oleh: Suleman Batubara SH., MH

1. Hak-Hak Pemegang Saham Dalam Perseroan
Dalam struktur perseroan, pemegang saham menempati posisi paling tinggi, tetapi kedudukan itu tidak serta merta diikuti dengan kemampuan untuk melakukan pengendalian, seperti yang disebutkan oleh Lynn A. Stout bahwa:

Shareholders are often described as the “owners” of corporations.Since at least the days of Adolph Berle and Gardiner Means, however, corporate scholars have understood that in public corporations, shareholder “ownership” does not mean shareholder control. To the contrary, in the typical large public firm with dispersed stock ownership, control over the corporation's assets and outputs rests in theory and in practice rest not with stockholders, but with the company's board of directors.

Oleh karena itu, pemegang saham “menggantungkan” kepentingannya pada Direksi dalam hubungan kepercayaan (fiduciary relationship). Untuk menjamin kepentingan pemegang saham tidak terabaikan, hukum memberikan perlindungan kepada pemegang saham berupa sejumlah hak.
Pemegang saham saham mempunyai hak yang tidak dapat dimiliki oleh organ lain dalam perseroan seperti, Direksi dan Komisaris. Hak-hak pemegang saham dalam suatu perseroan antara lain;
Pertama, hak untuk melakukan tindakan derivatif. Hak ini dapat dipergunakan apabila para pemegang saham atau sebagian pemegang saham menganggap Direksi dan atau Komisaris telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya terhadap perseroan. Hak derivatif ini pun tidak bersifat langsung karena harus mengajukan gugatan ke pengadilan negeri di mana perseroan berdomisili hukum.
Kedua, pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan. Tindakan perseroan (corporate actions) menurut pasal 62 ayat dapat berupa:
1. Perubahan anggaran dasar;
2. Pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh perseratus) kekayaan bersih Perseroan; atau
3. Penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
Menurut prinsip-prinsip GCG hak-hak pemegang saham antara lain:
1. Hak untuk menghadiri dan memberikan suara pada RUPS berdasarkan prinsip satu saham satu suara,
2. Hak untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan secara tepat waktu dan teratur yang memungkinkan seorang pemegang saham membuat keputusan yang baik mengenai investasi yang berkaitan dengan sahamnya dalam perusahaan, dan
3. hak untuk ikut serta dalam pembagian keuntungan dengan menerima pembagian keuntungan.
Pemegang saham dibagi ke dalam dua kategori berdasarkan besaran kuantitas kepemilikan saham, yaitu pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Isu mengenai hak pemegang saham minoritas sangat kuat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Hak-hak pemegang saham minoritas manifestasi dari peningkatan kekuasaan pemegang saham dalam terminologi Lucian A. Bebchuck. Increasing shareholder power to intervene, I argue, would improve corporate governance and enhance shareholder value by addressing important agency problems that have long afflicted publicly traded companies. Pemerkuatan pemegang saham dalam hak-hak tertentu berdampak positif bagi perseroan terbuka.
Hak-hak para pemegang saham minoritas antara lain, pertama, termasuk hak untuk mengawasi dan untuk menerima informasi dari perseroan. Kedua, meminta diadakannya RUPS. Ketiga, memeriksa perseroan. Keempat, hak meminta ganti rugi pembelian kembali saham yang telah ditempatkan oleh perseroan dengan dana yang bukan berasal dari laba. Kelima, hak menuntut karena tindakan yang tidak adil atau tidak perlu. Keenam, hak menuntut karena kelalaian atau kesalahan manajemen. Pasal 85 (3) dan 98 (2) UUPT. Ketujuh, hak meminta pembelian kembali saham yang telah ditetapkan. Kedelapan, hak untuk mendapat persetujuan dalam perubahan angaran dasar. Kesembilan, hak dalam hal konsolidasi, penggabungan, pengambilalihan, pailit atau pembubaran perseroan. Kesepuluh, hak atas penjualan atau pemberian jaminan atas kekayaan perseroan (likuidasi). Kesebelas, hak atas pembelian kembali saham yang telah ditempatkan.
Kategorisasi pemegang saham berdasarkan kepemilikan menunjukkan adanya superioritas di antara pemegang saham dalam proses pengambilan keputusan. Tidak mungkin pemegang saham minoritas dapat menandingi kekuatan pemegang saham mayoritas dalam proses pembuatan keputusan yang didasarkan pada mekanisme pemungutan suara (voting). Secara formal, diperlukan mekanisme di luar itu untuk menghindari kesewenangan pemegang saham mayoritas dalam proses pengambilan keputusan. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) memfokuskan perlindungan terhadap para pemegang saham minoritas dalam hubungannya dengan transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest) dan pengambilalihan tertentu.

2. Tanggung Jawab Pemegang Saham Dalam Perseroan
Perseroan Terbatas sebagai subyek hukum, mempunyai kedudukan hukum sebagaimana layaknya manusia. Selain itu, perseroan juga mempunyai harta kekayaan (asset) sendiri yang terpisah dari kekayaan para pendirinya. Kondisi tersebut, menjadikan perseroan bertanggung jawab secara hukum atas semua perbuatan hukum yang dilakukannya. Di sisi lain, organ-organ perseroan yaitu; pemegang saham, Direksi dan Komisaris mempunyai hak dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lain.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, diijelaskan bahwa tanggung jawab pendiri terbagi dalam tiga fase. Pertama, pada saat persiapan pendirian perseroan. Kedua, pada saat perseroan didirikan dengan akta notaris tetapi belum disahkan sebagai badan hukum. Fase ketiga ialah pada saat setelah perseroan mendapat pengesahan sebagai badan hukum.
Pada ketiga fase tersebut di atas, segala perbuatan hukum dari para pendiri yang menimbulkan hak dan tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab perseroan bilamana seluruh organ-organ perseroan menerima dan mengakui serta menyahkan bahwa segala hak dan tanggung jawab yang timbul atas perbuatan hukum tersebut merupakan perbuatan hukum perseroan, dan menjadi tanggung jawab perseroan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan setelah perseroan telah memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM sebagai badan hukum.
Kemudian pada fase pendirian, kedudukan para pendiri adalah sama satu sama lain. Hal ini dikarenakan perseroan yang belum berbadan hukum masih dianggap seperti persekutuan perdata biasa. Oleh karena itu, hak dan tanggung jawab masing-masing pendiri sama satu sama lain. Kemudian, di antara para pendiri masing-masing bertanggung jawab secara pribadi atas segala perbuatan hukum yang telah dilakukan dalam rangka pendirian perseroan tersebut. Tanggung jawab atas akibat perbuatan hukum yang telah dilakukan ini, yaitu perbuatan yang berkaitan dengan susunan dan penyertaan modal serta susunan saham perseroan akan menjadi tanggung jawab pribadi dari para pendiri, kecuali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas perbuatan hukum tersebut dicantumkan dalam akta pendiriannya dan naskah asli atau salinan resmi akta otentik mengenai perbuatan hukum dimaksud dilekatkan menjadi satu dalam akta pendiriannya, maka perseroan akan terikat pada hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri tersebut. Bila hal itu tidak dilakukan, demikian menurut Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, maka perbuatan hukum dari para pendiri tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagI perseroan. Selama fase ini hubungan hukum antara para pemegang saham dan anggota Direksi (hubungan internal), dan hubungan hukum mereka dengan pihak ketiga (hubungan eksternal) bersifat kontraktual, dan masing-masing pihak bertanggung jawab tidak terbatas.
Pada fase setelah perseroan berdiri, dalam arti bahwa telah dibuatkan akta notaris. Namun, belum disahkan sebagai badan hukum, kedudukan para pendiri adalah sebagai pemegang saham sebagaimana dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Jadi, pada saat pendirian, para pendiri adalah pemegang saham pada perseroan yang didirikannya itu, namun belum dapat diberlakukan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat oleh perseroan dan tidak bertanggung jawab melebihi nilai saham yang telah diambilnya atas kerugian yang diderita perseroan, karena persuroan belum menjadi badan hukum.
Dengan demikian, para pendiri dalam fase ini masih harus bertanggung jawab secara prihadi terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukannya walaupun perbuatan hukum itu dilakukan untuk kepentingan perseroan. Tanggung jawab para pendiri ini menurut ketentuan pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan, dapat dialihkan pada perseroan dengan syarat perseroan harus lebih dulu mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman. Kemudian, perseroan menyatakan secara tegas bahwa perseroan menerima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri, serta mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh pendiri atau mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan atas nama perseroan. Apabila perseroan tidak melakukan hal-hal tersebut, maka menurut Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul.
Pada fase berikutnya, yaitu pada saat perseroan telah disahkan sebagai badan hukum, para pendiri berkedudukan sebagai pemegang saham dengan menyetor penuh saham yang menjadi bagiannya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa pengesahan perseroan didapatkan, maka seluruh saham yang telah dikeluarkan harus sudah disetor penuh dengan bukti penyetoran yang sah. Pada fase ini kedudukan pendiri adalah pemegang saham dan tanggung jawabnya mengikuti ketentuan Pasal. 3 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:

Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai eaham yang telah diambilnya.

Dengan demikian, mengacu pada ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya setelah perseroan memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM, maka tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas saham yang dia setorkan pada perseroan. Adapun prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan tanggung jawab pemegang saham dalam suatu Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut;
Pemegang saham perseroan terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat untuk dan atas nama perseroan semenjak Perseroan Terbatas mendapatkan pengesahan dari Menteri, atau dengan kata lain dengan disahkannya perseroan terbatas sebagai badan hukum, maka tanggung jawab atas segala perikatan dan perbuatan hukum untuk dan atas nama perseroan sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan hukum Perseroan Terbatas tersebut, kecuali terhadap hal-hal tertentu. Misalnya, jika terbukti terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dengan harta kekayaan perseroan, sehingga perusahaan didirikan hanya semata-mata sebagai alat yang dipergunakan oleh pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.
Dengan mengingat prinsip sebagaimana diterangkan di atas, pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah dimilikinya. Pembatasan pertanggungjawaban ini sebagai konsekuensi bentuk Perseroan Terbatas. Dimana harta kekayaan perseroan terbatas yang terdiri dari sero (saham) dipisahkan dari harta kekayaan pribadi. Suatu Perseroan Terbatas mengelola harta kekayaannya secara terpisah dari harta pribadi pemegang saham dan pengurusnya, maka pertanggung jawabannya pun terbatas pada harta kekayaan yang dimiliki oleh perseroan terbatas tersebut.
Dengan demikian, semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan yang sudah berbadan hukum menjadi tanggung jawab perseroan yang itu sendiri. Dengan kata lain, sekalipun para pemegang saham bertanggung jawab, akan tetapi tanggungjawabnya hanya sebatas saham yang bersangkutan pada perseroan tersebut. Hal ini berarti harta kekayaaan pribadi para pemegang saham tidak ikut dipertanggungjawabkan sebagai tanggungan perikatan yang dilakukan oleh perseroan yang bersangkutan. Oleh karena itu, pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan juga tidak bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan melebihi saham pemegang saham pada perseroan yang bersangkutan.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dikatakan bahwa;

Pemegang saham perseroan tidak bertanqqunq jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas name perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.

Apabila Pasal 3 ayat (1) tersebut kita kaitkan dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Dari bunyi pasal ini, dapat dikatakan bahwa bahwa pendiri adalah pemegang. saham pada perseroan baik pada saat perseroan belum disahkan sebagai badan hukum maupun sesudah perseroan berstatus badan hukum dengan tanggung jawab yang berbeda. Perbedaannya ialah Apabila keadaan perseroan belum disahkan menjadi badan hukum, maka tanggung jawab pendiri mengikuti ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No.1 tentang Perseroan Terbatas yang bunyinya sebagai berikut;

Perbuatan hukum yang dilakukan para pendiri untuk kepentingan perseroan sebelum perseroan disahkan, mengikat perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum apabila;
a) perseroan secara tegas menerima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri atau oranq lain yang ditugasken pendiri dengan pihak ketiga;
b) perseroan secara tegas menyatakan mengambil elite semua teak den kewajiban yang timbal dari perjanjian yang dibuat pendiri atau oranq lain yang ditugaskan pendiri, walaupun perjanjian tidak dilakukan atas nama perseroan atau
c) perseroan mengukuhkan secara tertulis samua perjanjian yang dilakukan atas nama perseroan.

Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut;

Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima, tidak diambil alih atau tidak dikukuhkan oleh perseroan, maka masing–masing pendiri bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul.

Berdasarkan Pasal 11 tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa dalam keadaan perseroan belum disahkan sebagai badan hukum, tiap-tiap pendiri bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan hukum yang dilakukan. Dengan kata lain, tanggung jawab ini akan beralih pada perseroan setelah perseroan disahkan sebagai badan hukum, dan perseroan menyatakan menerima atau mengambilalih serta mengukuhkan secara tertulis bahwa semua perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh pendiri tersebut. Oleh karena itu, apabila perseroan tidak melakukan tindakan menerima atau mengambilalih serta mengukuhkan secara tertulis perbuatan hukum yang dilakukan pendiri, maka perseroan tidak terikat serta tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum pendiri perseroan tersebut. Oleh sebab itu, masing-masing pendiri bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul dari perbuatan hukum yang telah dilakukannya itu. Begitu juga sebaliknya apabila perbuatan hukum tersebut telah disahkan oleh perseroan setelah perseroan berbadan hukum, maka tanggung jawab pendiri mengikuti ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.l Tahun 1995 tentang perseroan Terbatas yang menyatakan sebagai berikut:

Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa pendiri/pemegang saham tidak bertanggung jawab melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Dengan kata lain, berapapun jumlah kerugian yang diderita perseroan, pendiri/pemegang saham hanya akan bertanggung jawab sebatas nilai saham yang telah diambilnya.
Akan tetapi, terhadap ketentuan tersebut terdapat pembatasan, yakni jika pemegang saham ternyata telah menyalahgunakan bentuk perseroan untuk kepentingan pribadi, maka asas penyingkapan tabir perseroan (piercing the corporate veil) berlaku. Dengan kata lain, absolute liability dalam Pasal 3 ayat (1) Undang¬-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tidak berlaku. Bahkan jika terbukti pemegang saham secara langsung maupun tidak langsung menggunakan kekayaan perseroan hingga mengakibatkan perseroan pailit, maka pemegang saham yang bersangkutan secara pribadi harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Artinya jika harta kekayaan perseroan tidak mencukupi, maka dapat diminta agar harta kekayaan pribadi pemegang saham diambil untuk membayar kekurangan tersebut. Oleh sebab itu, Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sering juga, disebut dengan relative liability bagi pemegang saham.
Bahwa Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menganut prinsip piercing the corporate veil terlihat dari pasal-pasal Undang-Undang No.1 Tahun tentang Perseroan Terbatas di bawah ini, yang berlaku baik bagi Pemegang Saham, Direksi maupun Komisaris. Bagi pemegang saham yang memiliki tanggung jawab terbatas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menjadi tidak berlaku, dalam beberapa hal yang dinyatakan pada pasal 3 ayat (2) Undang¬-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila;
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Dengan demikian, terlihat bahwa dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham. Hal-hal tertentu tersebut antara lain; apabila terbukti bahwa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan Ketentuan tersebut tidak berlaku antara lain, apabila;
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi,
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Selain itu ketentuan Pasal 7 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas juga sebagai pengecualian dari Pasal 3 ayat (1). Pasal 7 ayat (3) dan ayat(4) menyatakan;

Dalam hal setelah perseroan disahkan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain.

Selanjuntya ayat (4) dari pasal yang bersangkutan menyatakan sebagai berikut;

Dalam hal setelah lampau jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, Penqadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut.

Dengan demikian, dapat diartikan dari ketentuan yang telah disebutkan di atas bahwa undang-undang tidak membolehkan adanya pemegang saham tunggal dan apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pemegang saham masih tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang saham akan bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian. Kemudian, dalam hal setelah perseroan disahkan pemegang saham menjadi kurang dari dua orang, maka dalam waktu paling lama enam bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain. Apabila setelah lewat enam bulan pemegang saham masih tetap kurang dari dua orang, maka pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan perseroan tersebut. Di sini tampak bahwa undang-undang tidak membolehkan saham perseroan berada dalam satu tangan, apabila hal ini dilanggar konsekuensinya pemegang saham tungal akan bertanggung jawab secara pribadi kepada pihak ketiga kendati perseroan telah berstatus badan hukum.
Penetapan pasal ini mengandung asas larangan pemegang saham tunggal dan secara konseptual larangan pemegang saham tunggal mengandung beberapa makna sebagai berikut;
1. Menjamin unsur perjanjian dalam pendirian perseroan tetap tercermin.
2. Menghindari penyelundupan tanggung jawab pribadi dari pemegang saham dengan menggunakan bentuk usaha perseroan Terbatas. Di samping itu pemegang saham tunggal kurang mencerminkan perseroan terbatas sebagai badan usaha yang modalnya terdiri dari saham-saham yang dimaksudkan untuk mengikut sertakan pihak lain dengan sistem pertanggung jawaban terbatas; dan
3. Mewujudkan dasar kekeluargaan yaitu terhadap pelanggaran atas larangan ini menyebabkan pemegang saham tunggal bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan atau tindakan perseroan kepad pihak ketiga.

A. Hak dan Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan
1. Hak-Hak Direksi Dalam Perseroan
Direksi dalam kedudukannya sebagai organ perseroan yang berwenang jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan angaran dasar. Dalam kedudukannya ini, pada prinsipnya Direksi bertugas menjalankan dan mengelola perseroan. Untuk membantu Direksi dalam melakukan tugasnya, berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh Direksi, Direksi dapat meminta nasihat dari pihak ketiga atau membentuk komite khusus. Setiap anggota Direksi haruslah merupakan seseorang yang mempunyai karakter yang baik dan pengalaman yang diperlukan. Direksi mengurus saham, direksi akan menjalankan tanggung jawab sosial perseroan (misalnya bertindak sebagai warga yang baik di negara-negara dimana perseroan mejalankan usahanya) dan memperhatikan kepentingan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perseroan.
Untuk memfungsikan Direksi dalam suatu perusahaan komposisi Direksi haruslah sedemikian rupa sehingga memungkinkan pembuatan keputusan yang efektif dan cepat. Sekurangnya 20% anggota Komisaris haruslah merupakan orang luar untuk meningkatkan (a) efektifitas perannya sebagai pengelola, dan (b) transparansi musyawarah yang dilakukan oleh Direksi. Jumlah Direksi yang merupakan orang luar pada akhirnya haruslah sedemikian rupa sehingga suara yang mereka berikan mempunyai pengaruh terhadap segala keputusan penting yang diambil pada setiap Rapat Direksi. Direksi yang merupakan orang luar tidak boleh mempuyai ikatan dengan Komisaris dan pemegang saham yang mempunyai kontrol atas perseroan dan tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menjalankan tugas mereka dengan tanpa berpihak untuk kepentingan perseroan.
Oleh sebab itu, semestinya dalam pelaksanaan Direksi perseroan terbuka sekurangnya terdiri dari 2 (dua) anggota. Direksi selaku organ perusahaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus mematuhi segala undang-undang dan peraturan yang berkekuatan huum serta Anggaran Dasar Perseroan dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dalam kaitanya dengan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan ini, seorang Direksi harus menjalankan tugas-tugasnya dengan maksud baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas segala kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugsnya. Direksi harus menyimpan buku-buku perseroan, menyiapkan dan menyerahkan Laporan Tahunan dan laporan keuangan tahunan kepada RUPS Tahunan serta membuat dan menyimpan Daftar Pemegang Saham dan notulen RUPS. Berdasarkan Pasal 87 UUPT, seorang anggota direksi harus mengungkapkan kepada perseroan segala kepemilikan sahamnya atau anggota keluarganya dalam perseroan atau dalam perseroan lainnya. Seorang anggota Direksi yang memiliki saham dalam perusahaan-perusahaan dimaksud harus melaporkan kepemilikan sahamnya kepada Bapepam.

2. Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan
a. Tanggung Jawab Hukum Pribadi Direksi Secara Tidak Terbatas
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan dua prinsip dasar, yaitu pertama kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty), dan kedua prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care). Kedua prinsip ini menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa konsekuensi yang berat bagi Direksi, seperti terlihat antara lain dalam Pasal 85 dan Pasal 90 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, karena ia dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.
Pasal 85 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:

Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan, tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
a) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah dan lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1).
b) Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap¬ anggota Direksi yang karena kesalahan atau, kelalainnya menimbulkan kerugian pada perseroan.


Kemudian Pasal 90 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:

1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kelalain tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu.
2) Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.


Di sini terlihat bahwa Pasal 85 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas bertolak dari asas fiduciary duty, sedangkan Pasal 90 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas bertolak dari asas duty of skill and care. Direksi mewakili kepentingan perseroan secara keseluruhan dan ia tidak mewakili kepentingan pemegang saham tertentu atau masing-masing pemegang saham. Oleh karena itu, pembagian tugas dan wewenang Direksi diatur oleh RUPS atau sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran dasar perseroan, ataupun Komisaris bila diatur demikian di dalam Anggaran Dasar.
Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) dimana anggota Direksi wajib menjalankan tugasnya dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (and with full sense of responsibility). Selama hal tersebut dijalankan, para anggota Direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari suatu perseroan atau PT. Namun apabila hal tersebut telah dilanggar artinya anggota Direksi yang bersangkutan lalai atau bersalah dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan bisa dikenakan tanggung jawab penuh secara pribadi.
Dalam hal kepailitan yang disebutkan dalam Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu.
Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya perlu disinggung suatu hal yang cukup penting yang terdapat dalam peradilan Amerika judicial review yaitu yang disebut the business judgement rule yaitu suatu aturan yang melindungi para direksi dari tanggung jawab pribadi bilamana mereka bertindak berdasarkan itikad baik (in good faith), telah selayaknya memperoleh informasi yang cukup (well informed), dan secara masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan (the best interest of the corporation).
Bila demikian halnya, pengadilan tidak akan ragu-ragu untuk melindungi direksi yang melaksanakan business judgement tersebut. Adapun yang merupakan kekecualian sehingga direksi tidak dapat berlindung dibawah prinsip business judgement, antara lain jika keputusan direksi tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut;
1. Suatu kecurangan (fraud);
2. Menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest);
3. Merupakan perbuatan yang melawan hukum (illegality); dan
4. Akibat kelalaian berat (gross negligence).
Dalam praktek bisa saja masalahnya tidak sesederhana itu, maka untuk itu diperlukan suatu profesionalisme dan wawasan dari para hakim yang mempunyai kewenangan dalam memberikan keputusan pada kasus yang diajukan kepadanya, sehingga benar-benar orang yang tidak bersalah dapat terlindungi. Sebab apabila seorang direksi dapat membuktikan hal tersebut bukan merupakan kesalahannya, ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Hal ini dikarenakan seorang direksi dalam pelaksanaan tugasnya tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi dia juga dapat mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan (sekunder) yang menunjang dan memperlancar tugas-tugasnya. Bila masih berada dalam batas-batas yang diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya (masih dalam kewenangan perseroan atau (intra vires), dia dapat bertindak asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran dan kepatutan (dan tidak bersifat ultra vires).

b. Gugatan Perdata dan Tanggung Jawab Hukum Direksi
Pada dasarnya pertanggung jawaban Direksi adalah terbatas setelah dilakukannya pendaftaran menurut Undang¬ Undang No.3 tahun 1983 dan pengumuman Akta Pendirian yang telah disahkan Menteri Kehakiman dalam tambahan Berita negara Republik Indonesia akan, dalam keadaan tertentu tanggung jawab terbatas ini dapat menjadi tidak terbatas atau menjadi tanggung jawab pribadi atau pun tanggung renteng sesama anggota, Direksi. Hal ini terutama berhubungan dengan konsep piercing the corporate veil dan ultra vires.
Selain ajaran piercing the corporate veil yang dapat membebankan tanggung jawab Direksi menjadi tanggung jawab pribadi seperti yang telah dikemukakan penulis di bab sebelumnya maka dalam hal ini selain prinsip tersebut di atas terdapat juga ajaran mengenai tanggung jawab Direksi dilihat dari prinsip ultra vires.
Fred BG.Tumbuan yang dikutip oleh Chatamarrasjid membedakan antara perbuatan intra vires dan ultra vires, perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam maksud dan tujuan PT) adalah perbuatan intra vires. Perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak PT. (tidak tercakup dalam maksud dan tujuan PT). Pengertian ultra vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu, yang apabila dilakukan manusia adalah sah, ternyata berada diluar kecakapan bertindak PT sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, dan atau berada di luar lingkup maksud dan tujuannnya.
Sedangkan dalam Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan terbatas menyatakan bahwa "anggaran dasar dapat menentukan pembatasan wewenang anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".
Dengan demikian, jelaslah bahwa setiap tindakan dari para Direksi di dalam mengelola perseroan tidak lepas juga dari peranan Komisaris karena kedua organ perseroan tersebut saling terkait satu sama lainnya, karena apabila Direksi bertindak melampaui batas kewenangan dari yang telah ditentukan di dalam ketentuan Anggaran Dasar perseroan, maka Direksi dapat dituntut secara pribadi. Setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh Direksi walaupun dengan mengatasnamakan perseroan dan di kemudian hari perseroan tersebut merugi atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh Direksi tersebut karena telah memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadinya maka jelas adalah merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dan Anggaran Dasar Perseroan. Terhadap perbuatan hukum yang dilakukannya itu tidak dapat dilimpahkan kepada perseroan (badan hukum) yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ajaran tentang ultra wires yang menentukan bahwa Direksi dilarang bertindak melampaui batas wewenang yang telah ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan tersebut.

B. Hak dan Tanggung Jawab Komisaris Dalam Perseroan
1. Wewenang Komisaris Dalam Perseroan
Bila direksi merupakan organ yang diberikan kewenangan untuk menjalankan perusahaan oleh pemegang saham, maka Komisaris merupakan organ “perwakilan pemegang saham.” Komisaris diangkat oleh RUPS. Sebagai wakil pemegang saham, Komisaris memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab (akuntabel) untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan. Komisaris juga “mitra” direksi dalam menjalankan kebijakan. Komisaris memberikan nasihat kepada Direksi. Tetapi Komisaris juga memiliki kewenangan untuk memberhentikan sementara anggota direksi dengan menyebutkan alasannya.



2. Tanggung Jawab Komisaris Dalam Perseroan
Undang-undang perseroan terbatas menugaskan Komisaris untuk mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi perseroan. Pada umumnya, dalam praktek kegiatan perseroan. Komisaris diberikan kewenangan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang akan dilakukan oleh Direksi perseroan, termasuk untuk menyetujui laporan tahunan yang akan disampaikan kepada pemegang saham untuk dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan perseroan.
Selain itu undang-undang perseroan terbatas membuka kemungkinan bagi Komisaris untuk dalam hal-hal tertentu. Seperti, dalam halnya terdapat pertentangan kepentingan antara Direksi perseroan dan perseroan. Begitu pula dalam hal terjadi kelowongan jabatan Direksi, dalam perseroan untuk bertindak mewakili perseroan dan bertindak untuk dan atas nama perseroan. Dalam hal yang demikian, maka ketentuan yang berlaku bagi Direksi perseroan berlaku pula bagi Komisaris perseroan.
Lebih jauh I. .G. Rai Widjaja, menjelaskan bahwa Komisaris itu bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjaiankan perseroan. Fungsi kontrol dan pemberian advis ini bisa dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi;.
b. Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan (fiduciary duty);
c. Komisaris wajib melaporkan kepada perseroan mengenai pemilikan sahamnya dan atau keluarganya (suami, istri dan anak-anaknya) pada perseroan tersebut dan perseroan lainnya. Demikian juga setiap perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib pula dilaporkan. laporan mengenai hal ini dicatat dalam daftar khusus yang merupakan salah satu sumber informasi mengenai besarnya kepemilikan dan kepentingan Pengurus perseroan yang bersangkutan atau perseroan lain, sehingga pertentangan yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil¬-kecilnya.
Oleh karena itu, wajarlah jika dalam undang-undang perseroan terbatas dikatakan bahwa Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan. Segala kesalahan dan kelalaian oleh Komisaris dalam melaksanakan tugasnya melahirkan pertanggungjawaban pribadi dari komisaris bersangkutan kepada perseroan dan pemegang saham perseroan. Ketentuan mengenai hak untuk melakukan "derivative suit", yang dimiliki oleh pemegang saham perseroan yang mewakili sekurang-kurangnya 1/10 (satu persepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang sah untuk dan atas nama perseroan melakukan gugatan kepada Komisaris perseroan yang karena kesalahan dan kelalaiannya merugikan perseroan berlaku juga dalam hal ini. Demikian juga hak dari masing-masing pemegang saham untuk secara langsung menggugat Komisaris yang merugikan kepentingannya sebagai pemegang saham dalam perseroan tetap berlaku dan diakui.
Pasal 97 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan Perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi. Apabila ditentukan dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Misalnya, apabila terjadinya kekosongan jabatan Direksi. Selanjutnya di dalam melakukan kepengurusan perseroan dalam keadaan tertentu dan jangka waktu tertentu berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga.
Lebih lanjut mengenai peranan dan tanggung jawab terbatas dari Komisaris ataupun Dewan Komisaris dari sebuah perseroan terbatas akan bergantung pada isi dari Anggaran Dasar Perseroan Terbatas tersebut. Oleh karena itu, Komisaris di dalam melaksanakan togas pengawasannya akan berpatokan kepada ketentuan yang ada dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan.
Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa “Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan". Sesuai dengan bunyi pasal tersebut di atas, apabila Komisaris lalai dan tidak mempunyai itikad baik dan tanggung jawab di dalam menjalankan tugasnya, maka semua anggota Komisaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi.
Agus Budiarto mengatakan bahwa tanggung jawab Komisaris dapat dibagi dua yaitu, tanggung jawab keluar terhadap pihak ketiga dan tanggung jawab ke dalam terhadap perseroan. Tanggung jawab keluar tidak sebesar tanggung jawab Direksi, karena Komisaris bertindak keluar berhubungan dengan pihak ketiga hanya dalam keadaan yang sangat istimewa, yaitu dalam hal Komisaris dibutuhkan Direksi sebagai saksi atau pemberi izin. Begitu pula dalam hal direksi menurut anggaran dasar harus terlebih dahulu mendapat izin dari Komisaris dalam perbuatan penguasaan (beschiking). Seperti, menjual dan atau menggadaikan harta kekayaan perseroan.
Sementara itu, tanggung jawab ke dalam sama dengan Direksi, pertanggungjawaban secara pribadi untuk seluruhnya. Bila ada 2 (dua) Komisaris atau lebih maka pertanggungjawaban itu bisa bersifat kolektif atau majelis. Jika komisaris ikut serta dalam pengurusan biasanya ia lalu ikut memberikan pertanggungjawaban kepada RUPS bersama-same. dengan Direksi.
Seperti telah disebutkan di atas menurut penjelasan Agus Budiarto mengenai tanggung jawab keluar dan ke dalam, maka apabila dikaitkan dengan Komisaris biar bertanggung jawab pribadi (tak terbatas) pada saat Komisaris ikut serta dalam pengurusan perseroan seperti halnya Direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi.
Dalam hal ini juga berlaku teori piercing the corporate veil yang sering kali dibebankan kepada pihak pemegang saham, Direksi atau Komisaris, misalnya dalam hal- hal sebagai berikut;
1. Permodalan perseroan tidak layak;
2. Penggunaan dana perseroan secara pribadi;
3. Ketidaklengkapan formalitas perseroan;
4. Terdapat penipuan, penggelapan atau transfer modal secara tidak layak; dan
5. Sangat dominannya pemegang saham atau komisaris dalam kegiatan bisnis perseroan.
Jadi, dalam beberapa hal, pemberlakuan teori piercing the corporate veil juga berlaku bagi Komisaris. Artinya, dalam hal-hal tertentu pihak Komisaris secara pribadi pun dapat dimintakan tanggung jawabnya atas kegiatan yang sebenar-benarnya dilakukan oleh perseroan. Hanya saja, dibandingkan dengan pihak pemegang saham dan pihak Direksi, maka pihak Komisaris merupakan pihak yang paling sedikit dikejar oleh teori piercing the corporate veil ini. Pihak Komisaris merupakan the last target dari penerapan teori piercing the corporate veil. Hal ini disebabkan kedudukan dan wewenang pihak Komisaris dalam perseroan hanyalah sebagai pihak pengawas saja. Lain halnya pihak Direksi misalnya, yang mempunyai tugas mewakili dan menjalankan kegiatan perseroan, atau pihak pemegang saham sebagai pemilik perusahaan/investor, sehingga tanggung jawabnya menjadi lebih besar. Pemberlakuan teori piercing the corporate veil kepada komisaris dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut;
a. Jika Komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan;
b. Jika ada kesalahan hukum (dengan unsur kesengajaan atau kelalaian) dari piha Komisaris;
c. Jika dokumen perhitungan tahunan tidak benar; dan
d. Jika dalam keadaan tertentu, Komisaris menggantikan Direksi dalam menjalankan pekerjaan perseroan dan dia akan bertanggung jawab dalam posisinya selaku Direksi.
Komisaris berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku harus menjalankan tugasnya masing-masing dengan itikad baik, maka segala perbuatan yang dilakukan oleh para anggota Komisaris harus dilandasi dengan itikad baik dan dedikasi yang tinggi terhadap perseroan dan demi kepentingan perseroan. Apabila Komisaris tidak melaksanakan tugasnya masing-masing sebagai pengurus dan pengawas di dalam suatu PT dengan baik atau kesalahan yang dibuat dengan sengaja yang dapat merugikan perseroan dan telah keluar dari apa yang telah diamanatkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar Perseroan Terbatas, maka terhadap mereka dapat dimintakan pertanggung jawaban secara pribadi.
Sebagai contoh mengenai perbuatan yang tidak dilandasi dengan itikad baik yaitu apabila seorang Direksi suatu bank memberikan kredit kepada nasabah melebihi.plafon kredit yang telah ditetapkan dan kemudian memberikan bung& yeng lebih rendah kepada nasabah tersebut. Selanjutnya dalam hal ini Komisaris bank tersebut sebagai pengawas dari kebijakan Direksi tidak mengambil suatu sikap yang tegas atau tidak mengambil tindakan apapun atas kejadian itu maka Komisaris tersebut dapat dikategorikan telah melenceng dari kewajiban yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang¬undangan yang berlaku. Dapat dianggap Komisaris tersebut tidak mempunyai itikad baik dan karena tanggung jawab yang tinggi terhadap perseroan maka Komisaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi.