Monday, February 7, 2011

POLRI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Oleh: Suleman Batubara, SH., MH

Seperti kita cermati bersama bahwa perubahan lingkungan yang terjadi selama ini dan di masa mendatang menunjukkan terjadinya suatu perubahan yang tidak lagi dapat dibatasi oleh ruang dan kurun waktu tertentu, semuanya terjadi begitu cepat, dan bahkan sifat perubahan yang terjadi hampir pasti tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.
Perubahan yang paling nyata sekali dapat terlihat pada lingkungan masyarakat kita di mana mereka berupaya untuk menuju terwujudnya masyarakat madani yang diyakini sebagai suatu paradigma bara bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang dengan bercirikan menjunjung tinggi akan supremasi hukum, moral dan etika, demokratisasi, hak asasi manusia, transparansi dan keadilan.
Guna mengakomodasikan harapan sebagian besar masyarakat dan bangsa Indonesia tersebut di atas, maka dikeluarkan ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka penyelamatan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara yang selanjutnya telah ditindaklanjuti pula dengan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 ) ) tentang

Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari ABRI, terutama dalam penegakan supremasi hukum dimana diperlukan Polisi yang mandiri dan independen.
Kehidupan dalam suatu negara tidak dapat berjalan normal tanpa keberadaan polisi. Negara dapat berjalan dengan baik tanpa tentara, tetapi tidak demikian jika polisi tidak terdapat dalam negara bersangkutan. Negara Jepang dan Kosta Rika (Amerika Latin) tidak mempunyai tentara tetapi kehidupan masyarakatnya dapat berjalan aman, tenteram dan damai, karena di kedua negara tersebut terdapat institusi kepolisian yang bertugas memelihara Kamtibmas3). Di Indonesia keberadaan fungsi Polisi selama ini, dalam menjalankan tugasnya sebagai pengemban pembina kamtibmas kurang begitu menunjukkan perubahan yang signifikan dalam perkembangannya.
Barangkali dalam sejarah kepolisian Indonesia atau Polri tidak ada dinamika yang lebih intens daripada yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini. Selama lebih dari lima puluh tahun sejarah Polri segalanya hampir berjalan datar-datar saja. Polisi menjalankan pekerjaannya sehari-hari secara teknis kepolisian dalam suasana relatif tenang tanpa harus memikirkan hal-hal di luar itu. Apalagi sejak ia dimasukkan ke dalam ABRI di mana yang dominan berlaku adalah doktrin militer Befehl ist Befehl (perintah adalah perintah). Selama beberapa puluh tahun itu, Polri berhenti menjadi kepolisian yang otentik. la kehilangan jati dirinya yang universal, yaitu to protect and serve the people, shaking hands with the people (melindungi dan melayani rakyat. menyalami dan merangkul rakyat)4).
Mengingat urgennya keberadaan polisi, maka sudah selayaknya jika polisi diberikan kemandirian dalam menjalankan tugas selaku pemelihara Kamtibmas dan sebagai aparat penegak hukum. Tanpa kemandirian, polisi tidak akan dapat menjalnkan tugas dengan baik. Di Indonesia, sejak bergulir angin reformasi, institusi kepolisian teras dibenahi seiring dengan kebutulian jaman dan perkembangan masyarakat.5)
Lahimya momentum reformasi, eksistensi POLRI baik sebagai organ6) maupun sebagai fungsi7) turut menjadi pembicaraan dan bahkan telah ditetapkan sebagai salah satu agenda reformasi. Hampir semua kalangan dari berbagai lapisan masyarakat-pun turut pula memberikan sumbangsih pemikiran berupa pendapat atau ide tentang mulai dari bagaimana posisi POLRI dalam sistem ketatanegaraan RI hingga bagaimana figur sosok POLRI yang diharapkan oleh masyarakat. Bersamaan dengan itu pula, banyak topik diskusi ilmiah dihasilkan sebagai buah kajian untuk menentukan warna POLRI saat sekarang dan di masa datang. Ini semua merupakan manifestasi dari kepedulian dan rasa memiliki terhadap POLRI
. Kepedulian dan rasa memiliki terhadap POLRI kiranya tidaklah berlebihan karena kepolisian merupakan suatu institusi yang kepadanya diberikan mandat untuk menjaga keamanan dan ketertiban bagi segenap masyarakatnya8). Keamanan dan ketertiban merupakan kebutuhan hakiki manusia yang tergolong dalam kebutuhan dasar (basic need). Maka, usaha untuk memikirkan POLRI bukanlah urusan Pemerintah semata melainkan tanggung jawab kita bersama — segenap komponen bangsa,
Makalah ini disajikan untuk memberikan gambaran bagaimana persepsi dan komitmen POLRI tentang dirinya sendiri dalam membangun budaya POLRI yang berorientasi pada kepentingan publik sebagai respon terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat dalam era demokratisasi. Dengan tujuan agar usaha-usaha POLRI untuk mereformasi dirinya mendapatkan dukungan dan penyempurnaan dari masyarakatnya9).
Pembicaraan tentang POLRI semakin dirasakan demikian perlu karena dalam sosok POLRI terakomodasi berbagai kepentingan, yang diharapkan dapat dilaksanakan secara seimbang dan terpadu. Kiranya penonjolan pada salah satu peran seperti selama ini yang dilakukan POLRI seharusnyalah diubah menuju pada peran yang proporsional dan profesional.
Semula, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan bagian dari militer10). Polisi menjadi bagian dari ABRI bersama matra yang lain, yaitu TNI AD, TNI AU dan TNI AL. Dimasukkannya Polri dalam ABRI menjadikan pengembangan kelembagaan maupun personil Polri tidak berjalan baik. Model demikian menjadikan institusi Polri tidak mandiri. Polri sering diintervensi dalam menjalankan tugas11), terutama dalam pelaksanaan tugas sebagai aparat penegak hukum.
Apabila suatu kasus melibatkan atau mempunyai keterkaitan kepentingan dengan matra ABRI yang lain, maka kinerja Polri tidak dapat berjalan dengan baik. Fakta sejarah membuktikan betapa Polri tidak berdaya menangani suatu kasus yang di dalammnya terdapat kepentingan matra ABRI yang lain. Kasus Marsinah, Kasus Penculikan Aktivis pro demokrasi oleh Kopasus, Kasus pembunuhan Udin (wartawan Harian Bernas), Kasus Trisakti dan Semanggi, dan lain-lain12).
Menempatkan Polri sebagai bagian dari ABRI merupakan satu-satunya model di dunia13). Di negara manapun di seluruh dunia institusi kepolisian bersifat mandiri dan tidak menjadi sub ordinal institusi militer. Kenyataan demikian menjadikan kerjasama antara Polri dengan kepolisian negara lain tidak berjalan normal. Negara lain tidak mau bekerjasama dengan Polri karena merupakan bagian dari militer dengan sifat destruktif dan ofensif. Sementara sifat hakiki dari polisi adalah sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Melihat kenyataan seringnya kinerja Polri diintervensi lembaga ekstra yudisiil, maka kemudian muncul keinginan agar Polri dipisahkan dari ABRI. Maka, sejak 1 April 1999 Polri dipisahkan dari ABRI14). Selanjutnya melalui Kepres No. 89/2000, sejak 1 Juli 2000 Polri ditempatkan langsung di bawah Presiden. Kepres tersebut kemudian dikukuhkan menjadi Tap MPR No. Vll/2000 yang menempatkan Polri berada di bawah Presiden. Terakhir dikukuhkan dengan UU Polri No. 2/200215)
Kemandirian Polri sangat diperlukan terutama dalam pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum. Peradilan pidana bertujuan memulihkan keseimbangan masyarakat yang terganggu akibat tindak kejahatan. Dalam rangka pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana16), polisi mutlak memiliki kemandirian agar bebas dari intervensi kekuasaan ekstra yudisiil17). Tanpa kemandirian mustahil polisi mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai aparat penegak hukum18)19).
Aparat penegak hukum yang lain, yaitu kejaksaan dan pengadilan telah mandiri20), sehingga mereka dapat dengan bebas menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Perangkat hukum yang ada telah menjamin kemandirian lembaga tersebut, yaitu UU No. 5/1991 tentang Kejaksaan dan UU No. 14/1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum memberikan jaminan kemerdekaan bagi jaksa dan hakim dalam menjalankan tugas peradilan.
Sementara UU Polri baru diubah pada bulan Januari 2002 melalui UU No. 2/2002. Itupun dilakukan setelah ditekan dari berbagai pihak, sejak Polri dijadikan bulan-bulanan oleh Presiden Abdurrahman Wahid21). Ketidaksinkronan regulasi bagi institusi Polri dimanfaatkan oleh Penguasa untuk melakukan intervensi ke tubuh Polri. Di samping itu juga melemahkan kinerja dan keberadaan Polri di samping aparat penegak hukum yang lain.
Tidak jarang aparat polisi mengalami kesulitan melaksanakan tugas manakala terbentur kekuasaan ekstrayudisiil di luar dirinya yang melakukan kooptasi dalam pelaksanaan tugas polisi. Kendati polisi mempunyai diskresi22)23)24) dalam menjalankan tugas, adanya belenggu struktural dan kelembagaan tersebut tidak memungkinkan polisi mengembangkan diskresinva dengan baik. Padahal, diskresi polisi tersebut dapat dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan tugas sebagai order maintenance maupun sebagai official law enforcement (Faal, 1991 : 65).
Secara bistorts sebenarnya keberadaan lembaga kepolisian pernah berdiri sendiri. Berdasarkan PP No. 11 D Tahun 1946 tanggal 1 Juli 194625)26), kepolisian ditempatkan di bawah Perdana Menteri. Namun kemudian Polri ditempatkan di dibawah kendali militer berdasarkan Penetapan Dewan Pertahanan Negara No. 112 tanggal 1 Agustus 194727). Kondisi tersebut terus dipertahankan dalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Hankam dan UU No. 28 Tahun1997 tentang Polri. Namun berdasarkan Kepres No. 89/2000 yang kemudian dikukuhkan melalui Tap MPR No. Vll/2000 kemandirian POM sudah dijamin, lalu dikukuhkan melalui UU No. 2/2002.
Kebijakan memandirikan Polri dengan menempatkan langsung di bawah Presiden berarti menyamakan kedudukan dengan penegak hukum yang lain. Kejaksaan sejak lama sudah merupakan lembaga tersendiri yang terlepas dari departemen (menteri) dan berada langsung di bawah presiden. Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Lembaga peradilan malah lebih mandiri dan bebas karena berada di luar kekuasaan eksekutif. Lembaga peradilan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang kebebasan dan kemandiriannya dijamin oleh Pasal 24 UUD 194528).
Dengan menempatkan Polri berada di bawah Presiden, maka polisi akan dapat menjalankan tugas secara bebas dan mandiri, lepas dari intervensi kekuasaan ekstra yudisil. Menurut Satjipto Rahardjo, memang sudah sepantasnya jika polisi diberi otonomi atau wewenang penuh dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai penyidik. Karena, masalah yang selama ini menjadi ganjalan dalam meningkatkan citra dan wibawa Polri adalah otonomi kepolisian29) yang belum bisa berjalan secara penuh (dalam Kunarto, 1995 : 299).
Momentum tersebut kemudian tidak disia-siakan oleh Polri untuk sesegera mungkin merumuskan kembali kedudukan30), tugas31) dan peran Polri yang lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat yang mengarah pada kehidupan negara yang lebih demokratis dalam tatanan masyarakat madani.
Jajaran Polri memandang bahwa untuk mewujudkan keinginan tersebut, ternyata ada tiga hal yang hams disoroti dimana ketiganya merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan yaitu pembenahan aspek struktural, instrumental dan kultural.

1. Aspek Struktural
Ditinjau dan aspek struktural bahwa pada masa transisi, Polri tidak langsung dipisahkasan dan militer namun beralih dahulu dibawah Dephankam32), baru kurang lebih satu tahun kemandirian Polri berada langsung dibawah Presiden sesuai dengan Kepres no 89 / 2000 dan dikukuhkan dengan UU no 2 / 200233). Sehingga dari sini terasa bahwa proses kemandirian Polri masih memerlukan waktu tertentu dalam menuju statusnya sebagai suatu lembaga pemerintah non departemen yang langsung berada di bawah presiden.
Padahal dengan status Polri yang mandiri diharapkan Polri akan memiliki peluang yang lebih besar untuk lebih meningkatkan kinerja dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan mengutamakan Pokes sebagai kesatuan operasional dasar dan Polsek sebagai ujung tombak operasionalnya.

2. Aspek Instrumental
Perubahan dalam aspek instrumental akan meliputi: visi, misi dan tujuan, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan ilmu pengetahuan yang keseluruhannya akan dijadikan sebagai pedoman dalam upaya membentuk suatu budaya pelayanan Polri yang menempatkan Polri sebagai abdi utama, sebagai warga negara teladan dan wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat34).

3. Aspek Kultural
Aspek kultural merupakan ujung dari perubahan pada kedua aspek sebelumnya dimana pada akhirnya perubahan atau pembangunan Polri hams terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual Polri terhadap masyarakat, sehingga secara langsung atau tidak langsung budaya kepolisian akan tercermin pada sikap dan perilaku setiap insan Polri dalam penyelenggaraan tugas penegakan hukum, perlindungan, bimbingan dan pengayoman masyarakat. Perubahan aspek kultural dilakukan melalui perubahan manajerial yang menitikberatkan pada kegiatan pembinaan personel, sistem rekruitmen, sistem pendidikan Polri35) dan pembinaan materiil, fasilitas dan jasa, serta sistem penganggaran yang keseluruhannya diarahkan pada terbentuknya sikap, perilaku dan etos kerja profesionalisme36). Kepolisian yang sudah barang tentu berbeda dengan budaya militeristik yang selama ini telah diberlakukan di organisasi Polri dan sekarang dinilai tidak sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.

Intervensi Penguasa
Kendati Polri telah mandiri sejak dipisahkan dari TN1, namun dia tetap tidak steril dari intervensi penguasa. Sebagai bawahan penguasa (Presiden) ternyata Polri masih mengalami kooptasi. Intervensi yang paling mutakhir adalah tindakan Gus Dur mengganti Kapolri tanpa mengindahkan aturan yang berlaku37).
Ketika Kapolri Rusdihardjo diberhentikan dan diganti Surojo Bimantoro38) dilakukan Presiden tanpa persetujuan DPR.
Berikutnya, tatkala kinerja Bimantoro dinilai tidak maksimal dan diminta mundur namun menolak, Presiden menonaktiikannya dari jabatan Kapolri. Kemudian Presiden mengangkat Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri39). Padahal, jabatan Wakapolri telah dilikuidasi berdasarkan Kepres No. 56/2001. Namun melalui Keppres No. 41/2001 Presiden mengangkat Wakapolri baru yang merangkap pelaksana tugas sehari-hari Kapolri non aktif40). Selanjutnya melalui Kepres No. 77/2001 Presiden mengukuhkan kembali jabatan Wakapolri.
Tindakan Presiden menonaktitkan Kapolri dan menghidupkan kembali jabatan Wakapolri menimbulkan dualisme pimpinan di tubuh Polri. Kapolri non aktif didukung para jenderal dan DPR, sementara Wakapolri didukung Presiden beserta beberapa gelintir jenderal dan para perwira menengah (komisaris besar)41). Prajurit Polri di tingkat bawah mengalami kebingunan hendak mengikuti perintah atasan yang mana, sehingga timbul ketegangan antara kubu Kapolri non aktif dan Wakapolri.
Kebijakan Presiden menonaktifkan Kapolri dan mengangkat Wakapolri merangkap Pit Kapolri, tanpa persetujuan DPR sebenarnya dipicu oleh perbedaan penafsiran atas Tap MPR No. Vll/2000. Pasal 11 Tap MPR tersebut dengan tegas menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut dilaksanakan dengan UU. Sementara UL yang mengatur Polri waktu itu masih produk lama, yakni UU No. 28/1997, UU tersebut masih menempatkan Polri sebagai bagian dari ABRI/TNI42).
UU Polri no 28/1997 juga mengatur kewenangan penuh Presiden untuk menerbitkan kebijakan di bidang kepolisian, termasuk melakukan penggantian Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR43). Semua tindakan Presiden tersebut agaknya didasarkan pada UU No. 28/1997, sehingga dia merasa tidak melanggar Tap MPR No. V11/2000, karena UU memberikan wewenang penuh kepada Presiden untuk menerbitkan kebijakan di bidang kepolisian44).
Demikian pula penerbitan Kepres No. 41/2001 dan No. 77/2001 dinilai tidak menyalahi Kepres No. 56/2001, karena wewenang menerbitkan dan mencabut Kepres sepenuhnya ada pada Presiden. Secara teoritis suatu peraturan perundang-undangan dapat dicabut dengan peraturan yang setingkat atau lebih tinggi. Kepres 56/2001 tercabut oleh Kepres No. 77/2001 karena mengatur hal yang sama. Peraturan sederajad yang terbit belakangan mencabut berlakunya peraturan terdahulu jika mengatur hal yang sama (lex posteriori derogat lex priori).
Meski secara hukum intervensi Presiden waktu itu masih debatable dan oleh sementara kalangan dianggap sah, namun tidak seharusnya dilakukan jika menimbulkan keresahan internal di tubuh Polri. Apalagi jika kebijakan itu didasari kepentingan politis sesaat untuk mempertahankan kekuasaan. Penonaktifan Kapolri dan pengangkatan Wakapohi konon dilakukan karena Bimantoro mbalelo dari keinginan Gus Dur45), salah satunya adalah penolakan terhadap penerbitan Dekrit keadaan darurat dan pembubaran parlemen.
Belajar dari pengalaman pahit tersebut, maka untuk ke depan penerbitan kebijakan di bidang kepolisian harus benar-benar dilakukan untuk kepentingan internal Polri, bukan mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan. Meski suatu kebijakan mempunyai dasar hukum, namun jika diterbitkan secara kontroversial akan menimbulkan reaksi dan kecurigaan sebagian kalangan bahwa hal itu adalah untuk kepentingan politis guna mempertahankan kekuasaan. Padahal, secara konstitusional telah dikatakan bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas memelihara Kamtibmas46), bukan alat kekuasaan atau pemerintah belaka.
Semangat kemandirian Polri yang telah dijamin oleh UU No. 2/2002 haras benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah. Presiden tidak boleh semau gue melakukan intervensi terhadap Polri47). Dalam UU Polri No. 2/2002 telah diatur batas kewenangan menerbitkan kebijakan di bidang Polri oleh Presiden dan mekanisme penggantian Kapolri sesuai Tap MPR No. VII/2000.

Ciri Universal Polisi
Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal. Ciri polisi yang bersifat universal ini dapat ditelusuri dari sejarah lahimya polisi, baik polisi berdasarkan pada selera dan pendapat presiden sendiri, tetapi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai fungsi maupun polisi sebagai organ. Bila ditilik dari asal muasalnya, fungsi kepolisian lahir bersamaan dengan lahimya masyarakat48). Fungsi kepolisian ditujukan untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri. Disebabkan kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari individu-individu warga masyarakat. Ketika masyarakat itu bersepakat untuk bidup di dalam suatu negara, pada saat itulah dibentuk pula lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi "Sicherheitspolitizei". Jadi kehadiran polisi itu adalah tergolong organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan (enforcing effect).
Dengan demikian, maka lembaga kepolisian adalah lembaga yang harus tetap tegak berdiri sekalipun negara itu runtuh. Negara bisa saja bubar, pemerintah atau rezim boleh saja jatuh atau berganti, namun polisi harus tetap tegak berdiri untuk mengamankan warga masyarakat dari ekses-ekses yang mengancam jiwa, raga, dan harta bendanya. Bahkan, tatkala negara sedang dalam pendudukan tentara asing sekalipun, polisi tetap menjalankan tugasnya yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakatnya49). Polisi melekat pada setiap warga masyarakat50). Jelaslah bahwa kepolisian adalah subordinasi dari masyarakatnya, sehingga masyarakat menjadi titik awal dan titik akhir pengabdian (point of departure) dari kepolisian.

Potret Kepolisian oleh Polri
Lalu, apakah Kepolisian RI dapat melepaskan diri dari sifat keuniversal-an tersebut di atas? Sudah barang tentu, tidak ! Karena manusia di seluruh dunia ini adalah sama, yaitu sama-sama membutuhkan rasa aman demi kelangsungan hidupnya51).
Akan tetapi, sejarah kehidupan bangsa Indonesia telah mencatat bahwa selama tahapan terakhir dari sejarah politik dan kenegaraan di Indonesia, disadari atau tidak, diakui atau tidak, telah terjadi tindakan pembusukan, pengkerdilan, pembodohan dan pelecehan terhadap kultur dan sistem peradilan dimana POLRI berada pada posisi ujung tombaknya52). Pada tahap milah terjadi pengingkaran terhadap jatidiri POLRI yang sebenarnya, yang bermuara pada terbentuknya budaya POLRI yang teiah sama-sama kita rasakan53).
Praktek perpolisian selama empat dasawarsa terakhir, POLRI telah menampilkan wajah sebagai sosok militer, yang menempatkan warga masyarakat sebagai lawannya. Potret bentuk perpolisian lebih berorientasi pada kekuasaan, sehingga acapkali outputnya adalah dalam bentuk-bentuk "penggunaan kekerasan telanjang" (brute force), yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk memperkokoh kekuasaan, sehingga tak pelak lagi POLRI dituding melakukan pelanggaran HAM.54)
Sebenarnya POLRI sendiri memiliki persepsi yang selaras dengan hakekat jatidiri polisi yang memiliki ciri universal. Sejarah pernah mencatat bahwa POLRI mengalami jaman keemasan di awal kelahirannya. Masa-masa dimana POLRI benar-benar berperan sebagai polisi justru pada permulaan keberadaannya sebagai polisi Republik berkat adanya keteguhan hati Pimpinan POLRI pada saat itu yaitu Jenderal Pol. R.S. Soekanto yang memiliki prinsip bahwa secara tehnis profesional POLRI tidak boleh berpolitik55). Namun, kemudian terjadi penyimpangan, POLRI jelas-jelas berpolitik, bahkan menjadi organisasi peserta pemilu pada Pemilih (1955)56). Kondisi ini semakin diperparah dengan dicanangkannya integrasi total pada tahun 196957), POLRI menjadi pendukung pokok Dwi Fungsi ABRI. Masih beruntung dalam dunia politik POLRI hanya berperan sebagai pelengkap penderita (hikmah dari perlakuan yang tidak adil).
Akan tetapi POLRI secara profesional sudah berubah menjadi polisinya Penguasa. Karena keikut-sertaan polisi dalam politik membawa konsekuensi keberpihakan. Keberpihakan POLRI berarti ketidak-adilan dan setiap ketidak-adilan adalah malapetaka. Bersamaan dengan perjalanan sejarah inilah, budaya polisi dengan identifikasi diri sebagai polisi Penguasa terinternalisasi dalam struktur kelembagaan maupun struktur kognisi individu anggota POLRI.
Kesadaran dan keinginan POLRI untuk segera kembali ke jatidiri sebagai polisi sejati sebenarnya telah jauh mendahului lahirnya momentum reformasi. Namun sayang kesadaran dan keinginan itu tidak terlampau berdaya melepaskan belenggu sistem yang meneriakkan integrasi. Apalagi POLRI berada pada kondisi serba inferior. Berbagai ide dan konsep pemikiran yang mengarah pada reorientasi dan rektualisasi jatidiri sebagai polisi yang dilakukan oleh pemikir-pemikir POLRI58) yang diharapkan mampu memberi nuansa baru pada praktek perpolisian, acapkali terhempas ditengah jalan. Contoh konkrit hal ini adalah bagaimana konsep BABINKAMTIBMAS59) dipertentangkan ditingkat elit ABRI kala itu (1990-an) karena operasionalisasinya dianggap dapat mengurangi bahkan dianggap sebagai usaha untuk mengambil alih peran Matra ABRI lainnya khususnya operasi teritorial60).
Upaya membangun budaya Polri mandiri yang berorientasi publik
Sejarah tidak hanya berjalan by decree, tetapi juga by social process. Perubahan dalam sejarah melalui proses sosial ini bersifat lebih alami dan tidak artifisial. Proses yang disebut belakangan ini muncul dalam “Kasus Bimantoro”61)
Kasus itu merupakan tahapan penting lain dalam perjuangan menuju kemandirian, yang perlu dicatat dengan baik-baik dalam sejarah Polri. Kasus Bimantoro adalah perjalanan menuju kemandirian Polri by process. Penggantian Kepala Polri Rusdiliardjo juga sama dengan penggantian Bimantoro yang menimbulkaii gejolak dalam masyarakat karena dianggap menyalahi ketentuan hukum62).
Tetapi, masalahnya tidak menimbulkan gejolak lebih lama oleh karena Kepala Polri Rusdihardjo memilih sikap diam. Sikap ini berbeda daripada sikap Bimantoro yang memilih melakukan perlawanan yang tidak dapat menerima cara-cara penggantian seperti itu. Perlawanan tersebut bukan merupakan perlawanan yang bersifat pribadi, melainkan sudah melibatkan Polri secara institusional. Hal ini terjadi karena segera sesudah penolakan Bimantoro terhadap penggantiannya, sejumlah mantan Kepala Polri berkumpul dan mengeluarkan deklarasi yang mendukung sikap Bimantoro serta lebih tegas menempatkan masalahnya dalam konteks kemandirian Polri63).
Kepolisian-kepolisian di dunia mempunyai sejarahnya masing-masing dan di dalam sejarah itu akan tampak pilihan masalah penting yang memberi warna khas kepada perpolisian di negeri itu. Kendati demikian, kita dapat mengatakan, bahwa pada umumnya masalahnya berkisar pada profesionalisme dan otentisitas perpolisian. Hampir setiap konferensi kepolisian internasional membicarakan profesionalisme tersebut dalam konteks perubahan-perubahan di dunia. Sejarah kepolisian Indonesia menakdirkan bahwa ia harus menghadapi masalah atau perjuangan ke arah kemandirian. la mengalami bagaimana ketidakmandirian menghambat penegakan profesionalismenya. Selama berpuluh tahun dalam ABRI Polri kurang dapat mengembangkan cara-cara perpolisian yang otentik dan profesional, karena didominasi oleh doktrin militer.64)
Profesionalisme adalah penting, tetapi ia bukan tujuan pokok. Profesionalisme Polri prating dalam rangka lebih dapat melakukan pelayanan dan perlindungan masyarakat. Profesionalisme dan kemandirian merupakan standar dalam kepolisian di dunia, tetapi ia selalu berupa "perpolisian-dalam-konteks", Perpolisian di rnasyarakat liberal berbeda daripada di masyarakat yang lebih bersifat komunal.
Masalah kemandirian, profesionalisme, serta standar perpolisian yang otentik memang menjadi modal dasar agar masyarakat mendapatkan pelayanan yang baik dari polisinya. Tetapi, kita tak boleh melupakan, bahwa agenda menaikkan kesejahteraan Polri65), terutama untuk pangkat-pangkat rendah, tetap merupakan hal yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan. The price of safety sudah menjadi semacam norma dalam pengadaan keamanan dan ketenteraman di dalam negeri. la tidak gratis, melainkan kita semua harus bersedia mengeluarkan ongkos untuk itu.
Atas dasar konstruksi perkembangan kesejarahan, tuntutan sosiologis-politis, dan pandangan ke depan dengan satu tujuan akhir mewujudkan masyarakat madani, kiranya kita sepakat untuk membangun komitmen mewujudkan Polri yang benar-benar dapat berfungsi sebagai polisi di negerinya sendiri - Indonesia tercinta ini. Oleh karena itu membangun budaya POLRI baru yang berorientasi publik adalah kewajiban kita bersama66).
Tepatnya pada 1 April 1999 Polri mulai menggeliat dengan dekrit Polri keluar dan ABRI67). Sejak saat itu sejarah Polri mulai menunjukkan dinamika dengan tingkat akselerasi yang makin lama makin kuat. Penyebutan 1 April 1999 hanya sekadar momentum yang konkret saja, ia hanya puncak dan gunung es yang menyembut di permukaan laut. Di bawahnya teriadi gejolak yang lebih intensif, yaitu keinginan untuk menjadi polisi yang mandiri, otentik, dan lebih profesional. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Yang menarik untuk dicatat dalam sejarali sehubungan dengan Dekrit 1 April 1999 adalah, bahwa satu langkah ke arah kemandirian Polri telah berlangsung by decree. Kini terdengar suara atau pendapat yang ingin lebih menegaskan kemandirian Polri melalui perundang-undangan, menyusul Dekrit 1 April 1999 di atas. Ide ini cukup baik, oleh karena dengan demikian kemandirian Polri memperoleh legitimasi yang lebih konkret. Di situ dapat ditegaskan hakikat kemandirian, ciri-cirinya, dan sebagainya.
Terhitung sejak Sabtu 1 Juli 2000, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara resmi berpisah dan Departemen Pertahanan (Dephan) yang selama satu tahun lebih mengelola Polri sejak lepas dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) per 1 April 1999 Selanjutnya Polri akan langsung berada di bawah Presiden. Pemisahan dari Dephan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89/2000 tertanggal 1 Juli 2000.
Polri dipisahkan dari TNI sejak 1 April 1999 dan kemudian berada di bawah naungan Dephan. Pemisahan dari Dephan sendiri, raenurut rencana semula akan dilakukan pada awal tahun 2001.
Momentum reformasi yang tak lain merupakan ledakan dari endapan kebencian rakyat yang dibentuk oleh pengalaman pahitnya selama berpuluh-puluh tahun telah mendorong dan merupakan faktor penekan untuk melakukan reformasi total68). Reformasi di bidang hukum telah memberi angin segar bagi POLRI. Peluang untuk kembali ke kitah POLRI telah terbuka. Namun situasi yang diwarnai keserba-tidak pastian, mengharuskan POLRI berhati-hati untuk merancang reformasi dirinya karena banyak hal yang sangat bergantung pada unsur-unsur ekstemal - yang di luar kemampuan POLRI untuk mengendalikannya.
Kendati demikian dengan didasari tuntutan suara nurani - yang diyakini merupakan sumber ajaran kebenaran hakiki, yang kemudian diramu dengan penalaran secara ilmiah dan pengalaman empiris, POLRI akan terus membangun budaya POLRI baru yang berorientasi pada kepentingan publik melalui reorientasi paradigmatik.
Tekad demikian ini didasari oleh pemahaman dan kesadaran bahwa semakin maju suatu masyarakat, makin tinggi harapan (expectations) masyarakat itu terhadap kemampuan polisinya69). Dengan demikian masyarakat madani yang Momentum reformasi sebagai luapan kebencian rakyat terhadap maraknya KKN ditubuh pemerintahan pada saat itu, dimana banyak koruptor tidak terjangkau oleh hokum, sedangkan kehidupan rakyat kelas menengah kebawah semakin terhimpit oleh naiknya barang-barang yang disebabkan oleh krisis ekonomi, yang mengakibatkan terpuruknya kehidupan ekonomi di Indonesia secara makro. hendak kita tuju akan selalu mendorong dan memberikan motivasi untuk pengembangan organisasi dan kemajuan Polri. Kata kunci yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat madani adalah Polri baru yaitu Polri yang mandiri dan profesional yang berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya. Kemandirian yang ditandai profesionalisme klias kepolisian, yang menjamin tidak akan ada lagi intervensi terhadap tugas-tugas kepolisian utamanya tugas penegakan hukum.
Realitas sosial menunjukkan bahwa kehadiran polisi itu diperlukan, baik dalam keadaan perang, keadaan genting-darurat, apalagi dalam keadaan damai. Dengan demikian dapatlah disebut suatu negara itu akan selalu membutuhkan kehadiran polisi yang terus menerus siaga (standing police).
Dalam mensikapi proses reformasi dan tuntutan masyarakat dan sebagai upaya mengembalikan POLRI ke khitahnya, yaitu Polisi yang mandiri dan profesional, Polri telah melakukan reorientasi paradigmatik melalui penetapan visi, misi dan tujuan Polri masa depan70), yang selanjutnya diikuti dengan langkah-langkah perubahan, baik pada tataran konsepsi maupun teknis operasional.
Output dan reorientasi paradigmatik ini adalah meletakkan rakyat sebagai pusat perhatian dan pengabdian POLRI, sehingga rakyat adalah titik awal dan titik akhir dari pengabdian POLRI71). Maka, Polri sebagai organ adalah menempatkan bagian dari kelengkapan negara dan bukan pemerintah. POLRI bukan alat penguasa tetapi sebuah badan kenegaraan yang bertugas mengayomi semua unsur yang ada dalam negara, maka sebagai demikian, Polisi menjadi lebih dekat kepada hukum, Dengan demikian, POLRI baru adalah Polisi yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada hukum72). Sedangkan kepada institusi negara yang membawahinya (institusi Presiden sesuai harapan POLRI) hanya berupa pertanggung-jawaban administrasi semata.
Melalui paradigma baru ini akan dikembangkan suatu tipe "Perpolisian Berkemanusiaan (human Policing)", yaitu ruang yang menggunakan "Humanistic Scenario73)," yang menggantikan "Repressive Scenario74)" yang digunakan selama ini. Dalam operasionalnya akan terimplementasi melalui jati diri yang mempersepsikan diri sebagai abdi masyarakat, mempunyai sikap, metode dan orientasi kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani, serta sikap kemandirian yang dapat diaktualisasikan melalui kemampuan profesionalisme yang mumpuni. Singkat kata, polisi haras manusiawi.
Sikap keberpihakan yang selama ini mewarnai pola perpolisian POLRI harus diluruskan. Keberpihakan POLRI ditujukan kepada hukum. Kendati demikian POLRI juga menyadari sepenuhnya bahwa rumusan normatif dari seperangkat aturan belum tentu mampu mengakomodasi seluruh fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Berkenaan dengan kenyataan ini maka setiap individu POLRI diwajibkan lebih memiliki kepekaan moral dan kepekaan intelektual ketimbang kepekaan fisik.
Kesadaran untuk membangun kepekaan moral dan intelektual ini memberikan ruang gerak seluas-luasnya kepada segenap inisiatif pimpinan kewilayahan untuk melakukan inovasi dalam rangka pengembangan pola dan metode operasional yang akan diterapkan di wilayah tugasnya. Cara pandang yang demikian juga akan memberikan ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya sistem kontrol dari masyarakat75).
Kendati demikian, apa yang telah diuraikan di atas, hanya akan menjadi omong kosong apabila tidak terlebih dahulu memanusiakan polisi76). Karena sebaik apapun konsep yang telah diformulasikan tidak serta merta menjamin bahwa hal tersebut akan dapat teraktualisasi dengan baik. Apalagi bila dikaitkan dengan perilaku yang telah membudaya. Merubah budaya yang merupakan bentukan dari hasil interaksi sosial bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tentulah memerlukan waktu yang cukup lama pula. Untuk membangun POLRI77) yang manusiawi - yang bebas dari kekerasan adalah mahal. Budaya kekerasan yang dianggap tidak manusiawi - yang menjadi potret POLRI selama ini sebenarnya terbentuk karena POLRI sendiri diperlakukan secara tidak manusiawi. Contoh ringan yang gamblang, cobalah bayangkan, satu orang polisi dengan alat dan perlengkapannya yang serba terbatas harus menghadapi (melayani) 1500 orang warga dengan segala karakternya. Manusiawikah hal ini ? Satu peleton polisi dengan perlengkapan seadanya harus berhadapan dengan massa demonstran yang jumlahnya lebih besar (yang secara psikologis memiliki disorganisasi kognitif dan biasanya emosiotial) dimana polisi diharuskan menahan emosi amarah mereka ketika mereka diteriaki kata-kata yang kasar bahkan lemparan batu. Manusiawikah hal demikian ini ? Alhasil, karena polisi dihadapkan pada situasi emergency seperti ini, akhimya mereka menggunakan segala cara yang dianggap dapat melindungi dirinya, termasuk cara-cara kekerasan. Kondisi demikian terjadi dan terjadi secara terus menerus, akhirnya jadilah budaya polisi itu sebagaimana juga potret budaya masyarakamya.
Dari contoh ringan di atas jelaslah bahwa kultur kepolisian akan sangat tergantung pada kadar demokrasi bangsanya. Demikian juga dengan POLRI. Jika bangsa Indonesia bangsa yang demokrasi, maka tegakanlah hak dan kewajiban secara proporsional. Sekarang, demokrasi seperti apakah yang ingin kita bangun ? Apakah demokrasi yang berorientasi pada kekuasaan (seperti masa lain) - ataukah berorientasi pada supremasi hukum dan menegak hormati HAM ? Jika kita ingin membangun demokrasi ke arah yang lebih baik, konsekuensinya, POLRI dengan penuh kearifan. Berikanlah otonomi kepada POLRI untuk mengurus dirinya sendiri sehingga ia mampu tampil sebagai polisi yang profesional, efektif, efisien dan modern (PEEM). Bukankah yang paling tahu tentang polisi adalah diri polisi itu sendiri ? Berapa jumlah polisi, bagaimana jenis dan kualitas peralatan yang diperlukan, tehnologi apa yang digunakan untuk menunjang kelancaran tugasnya, dan bagaimana metoda kerja yang tepat untuk mencapai efektivitas kerja yang diharapkan, hanya polisi sendirilah yang bisa menjawabnya dengan tepat.
Polisi yang PEEM adalah polisi yang mampu bekerja secara proporsional dan profesional. Dengan demikian fungsi POLRI81} sebagai penegak hukum, sebagai pembina ketertiban dan sebagai pembina keamanan harus diletakan secara seimbang dalam arti proporsional dan profesional. Hal demikian tidak dapat dilepaskan dari posisi struktur kelembagaan POLRI dalam sistem ketatanegaraan. Karena setiap posisi kelembagaan kepolisian akan membawa model kultur tersendiri.
Jika memang benar kita semua berharap agar POLRI dapat membangun citra diri sebagai polisi negara - yang juga berarti polisi rakyat, maka posisikanlah POLRI pada posisi yang tidak memungkinkan keberpihakan selain keberpihakan kepada hukum.
Paradigma baru POLRI pada tataran operasional teraktualisasi dalam bentuk kedekatan polisi dengan masyarakatnya, yang dipercaya merupakan syarat utama keberhasilan misi POLRI. Melalui kedekatan ini akan dimungkinkan dibangun suasana kemitraan yang didasari oleh adanya kesadaran bersama akan adanya kenyataan bahwa SDM POLRI yang terbatas tidak mungkin mampu mengamankan masyarakatnya yang demikian besar jumlahnya. POLRI membutuhkan partisipasi masyarakat.
Implementasi konkrit pola kemitraan yang telah dirasakan manfaatnya, sebagai contoh dikemukakan suatu model pengelolaan krisis oleh jajaran Polda Jawa Tengah melalui "Crisis Center." Model "Crisis Center" yang secara mandiri telah diuji cobakan di wilayah Polda Jateng dalam menghadapi masa kampanye dan PEMILU 1999 terbukti efektif meredam dampak negatif dari situasi krisis, dan bahkan justru mampu membangun komitmen kemitraan antara POLRI dan masyarakat di Jawa Tengah.
Selain itu kiat-kiat krisis teknis operasional yang senantiasa disesuaikan dengan keadaan dan budaya masyarakat setempat perlu terus dikembangkan sebagai upaya percepatan dalam membangun budaya POLRl yang berorientasi pada kepentingan masyarakat Masing-masing pimpinan kewilayahan POLRI dituntut mampu mengenali budaya lokal daerahnya dan merangkum aspirasi masyarakatnya guna melahirkan inovasi yang tepat guna berkenaan dengan metodologi dan sistem operasional POLRl selaras dengan tuntutan masyarakatnya.
Yang juga. tidak kalah berpengaruhnya adalah pola interaksi internal organisasi baik secara horisontal maupun vertikal, sedemikian rupa harus memberikan ruang gerak seluas-luasnya bagi berkembangnya pola interaksi dua arah dan pola komunikasi dialogis. Nuansa "militeristik - monologis - top down" harus segera beralih kepada pola yang bersifat "demokratis - dialogis - bottom up.
Maka, disini gagasan POLRI sebagai Polisi Nasional yang didesentralisasikan akan memiliki relevansi kuat untuk diwujudkan. Dengan demikian masing-masing pimpinan kewilayahan POLRI dituntut mampu tampil protagonis, artinya mampu mengenali budaya dan mampu menyerap aspirasi dan gagasan-gagasan perubahan dari masyarakamya, sehingga bentuk perpolisian yang diterapkannya pun harus dapat menyelarasi perkembangan masyarakat. Pekerjaan perpolisian yang harus dikembangkan adalah bentuk perpolisian yang bukan hanya berorientasi "normatif, tetapi juga "kultural" yang berdimensi kemanusiaan. Pola pendekatan dalam aplikasi perpolisian yang digunakan lebih bersifat unik - variatif sekalipun pedoman atau standart kerjanya ditetapkan secara nasional.

No comments:

Post a Comment