Saturday, February 5, 2011

HAK DAN TANGGUNG JAWAB ORGAN-ORGAN PERSEROAN SEBELUM LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Oleh: Suleman Batubara SH., MH

1. Hak-Hak Pemegang Saham Dalam Perseroan
Dalam struktur perseroan, pemegang saham menempati posisi paling tinggi, tetapi kedudukan itu tidak serta merta diikuti dengan kemampuan untuk melakukan pengendalian, seperti yang disebutkan oleh Lynn A. Stout bahwa:

Shareholders are often described as the “owners” of corporations.Since at least the days of Adolph Berle and Gardiner Means, however, corporate scholars have understood that in public corporations, shareholder “ownership” does not mean shareholder control. To the contrary, in the typical large public firm with dispersed stock ownership, control over the corporation's assets and outputs rests in theory and in practice rest not with stockholders, but with the company's board of directors.

Oleh karena itu, pemegang saham “menggantungkan” kepentingannya pada Direksi dalam hubungan kepercayaan (fiduciary relationship). Untuk menjamin kepentingan pemegang saham tidak terabaikan, hukum memberikan perlindungan kepada pemegang saham berupa sejumlah hak.
Pemegang saham saham mempunyai hak yang tidak dapat dimiliki oleh organ lain dalam perseroan seperti, Direksi dan Komisaris. Hak-hak pemegang saham dalam suatu perseroan antara lain;
Pertama, hak untuk melakukan tindakan derivatif. Hak ini dapat dipergunakan apabila para pemegang saham atau sebagian pemegang saham menganggap Direksi dan atau Komisaris telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya terhadap perseroan. Hak derivatif ini pun tidak bersifat langsung karena harus mengajukan gugatan ke pengadilan negeri di mana perseroan berdomisili hukum.
Kedua, pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan. Tindakan perseroan (corporate actions) menurut pasal 62 ayat dapat berupa:
1. Perubahan anggaran dasar;
2. Pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh perseratus) kekayaan bersih Perseroan; atau
3. Penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
Menurut prinsip-prinsip GCG hak-hak pemegang saham antara lain:
1. Hak untuk menghadiri dan memberikan suara pada RUPS berdasarkan prinsip satu saham satu suara,
2. Hak untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan secara tepat waktu dan teratur yang memungkinkan seorang pemegang saham membuat keputusan yang baik mengenai investasi yang berkaitan dengan sahamnya dalam perusahaan, dan
3. hak untuk ikut serta dalam pembagian keuntungan dengan menerima pembagian keuntungan.
Pemegang saham dibagi ke dalam dua kategori berdasarkan besaran kuantitas kepemilikan saham, yaitu pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Isu mengenai hak pemegang saham minoritas sangat kuat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Hak-hak pemegang saham minoritas manifestasi dari peningkatan kekuasaan pemegang saham dalam terminologi Lucian A. Bebchuck. Increasing shareholder power to intervene, I argue, would improve corporate governance and enhance shareholder value by addressing important agency problems that have long afflicted publicly traded companies. Pemerkuatan pemegang saham dalam hak-hak tertentu berdampak positif bagi perseroan terbuka.
Hak-hak para pemegang saham minoritas antara lain, pertama, termasuk hak untuk mengawasi dan untuk menerima informasi dari perseroan. Kedua, meminta diadakannya RUPS. Ketiga, memeriksa perseroan. Keempat, hak meminta ganti rugi pembelian kembali saham yang telah ditempatkan oleh perseroan dengan dana yang bukan berasal dari laba. Kelima, hak menuntut karena tindakan yang tidak adil atau tidak perlu. Keenam, hak menuntut karena kelalaian atau kesalahan manajemen. Pasal 85 (3) dan 98 (2) UUPT. Ketujuh, hak meminta pembelian kembali saham yang telah ditetapkan. Kedelapan, hak untuk mendapat persetujuan dalam perubahan angaran dasar. Kesembilan, hak dalam hal konsolidasi, penggabungan, pengambilalihan, pailit atau pembubaran perseroan. Kesepuluh, hak atas penjualan atau pemberian jaminan atas kekayaan perseroan (likuidasi). Kesebelas, hak atas pembelian kembali saham yang telah ditempatkan.
Kategorisasi pemegang saham berdasarkan kepemilikan menunjukkan adanya superioritas di antara pemegang saham dalam proses pengambilan keputusan. Tidak mungkin pemegang saham minoritas dapat menandingi kekuatan pemegang saham mayoritas dalam proses pembuatan keputusan yang didasarkan pada mekanisme pemungutan suara (voting). Secara formal, diperlukan mekanisme di luar itu untuk menghindari kesewenangan pemegang saham mayoritas dalam proses pengambilan keputusan. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) memfokuskan perlindungan terhadap para pemegang saham minoritas dalam hubungannya dengan transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest) dan pengambilalihan tertentu.

2. Tanggung Jawab Pemegang Saham Dalam Perseroan
Perseroan Terbatas sebagai subyek hukum, mempunyai kedudukan hukum sebagaimana layaknya manusia. Selain itu, perseroan juga mempunyai harta kekayaan (asset) sendiri yang terpisah dari kekayaan para pendirinya. Kondisi tersebut, menjadikan perseroan bertanggung jawab secara hukum atas semua perbuatan hukum yang dilakukannya. Di sisi lain, organ-organ perseroan yaitu; pemegang saham, Direksi dan Komisaris mempunyai hak dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lain.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, diijelaskan bahwa tanggung jawab pendiri terbagi dalam tiga fase. Pertama, pada saat persiapan pendirian perseroan. Kedua, pada saat perseroan didirikan dengan akta notaris tetapi belum disahkan sebagai badan hukum. Fase ketiga ialah pada saat setelah perseroan mendapat pengesahan sebagai badan hukum.
Pada ketiga fase tersebut di atas, segala perbuatan hukum dari para pendiri yang menimbulkan hak dan tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab perseroan bilamana seluruh organ-organ perseroan menerima dan mengakui serta menyahkan bahwa segala hak dan tanggung jawab yang timbul atas perbuatan hukum tersebut merupakan perbuatan hukum perseroan, dan menjadi tanggung jawab perseroan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan setelah perseroan telah memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM sebagai badan hukum.
Kemudian pada fase pendirian, kedudukan para pendiri adalah sama satu sama lain. Hal ini dikarenakan perseroan yang belum berbadan hukum masih dianggap seperti persekutuan perdata biasa. Oleh karena itu, hak dan tanggung jawab masing-masing pendiri sama satu sama lain. Kemudian, di antara para pendiri masing-masing bertanggung jawab secara pribadi atas segala perbuatan hukum yang telah dilakukan dalam rangka pendirian perseroan tersebut. Tanggung jawab atas akibat perbuatan hukum yang telah dilakukan ini, yaitu perbuatan yang berkaitan dengan susunan dan penyertaan modal serta susunan saham perseroan akan menjadi tanggung jawab pribadi dari para pendiri, kecuali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas perbuatan hukum tersebut dicantumkan dalam akta pendiriannya dan naskah asli atau salinan resmi akta otentik mengenai perbuatan hukum dimaksud dilekatkan menjadi satu dalam akta pendiriannya, maka perseroan akan terikat pada hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri tersebut. Bila hal itu tidak dilakukan, demikian menurut Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, maka perbuatan hukum dari para pendiri tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagI perseroan. Selama fase ini hubungan hukum antara para pemegang saham dan anggota Direksi (hubungan internal), dan hubungan hukum mereka dengan pihak ketiga (hubungan eksternal) bersifat kontraktual, dan masing-masing pihak bertanggung jawab tidak terbatas.
Pada fase setelah perseroan berdiri, dalam arti bahwa telah dibuatkan akta notaris. Namun, belum disahkan sebagai badan hukum, kedudukan para pendiri adalah sebagai pemegang saham sebagaimana dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Jadi, pada saat pendirian, para pendiri adalah pemegang saham pada perseroan yang didirikannya itu, namun belum dapat diberlakukan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat oleh perseroan dan tidak bertanggung jawab melebihi nilai saham yang telah diambilnya atas kerugian yang diderita perseroan, karena persuroan belum menjadi badan hukum.
Dengan demikian, para pendiri dalam fase ini masih harus bertanggung jawab secara prihadi terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukannya walaupun perbuatan hukum itu dilakukan untuk kepentingan perseroan. Tanggung jawab para pendiri ini menurut ketentuan pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan, dapat dialihkan pada perseroan dengan syarat perseroan harus lebih dulu mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman. Kemudian, perseroan menyatakan secara tegas bahwa perseroan menerima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri, serta mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh pendiri atau mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan atas nama perseroan. Apabila perseroan tidak melakukan hal-hal tersebut, maka menurut Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul.
Pada fase berikutnya, yaitu pada saat perseroan telah disahkan sebagai badan hukum, para pendiri berkedudukan sebagai pemegang saham dengan menyetor penuh saham yang menjadi bagiannya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa pengesahan perseroan didapatkan, maka seluruh saham yang telah dikeluarkan harus sudah disetor penuh dengan bukti penyetoran yang sah. Pada fase ini kedudukan pendiri adalah pemegang saham dan tanggung jawabnya mengikuti ketentuan Pasal. 3 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:

Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai eaham yang telah diambilnya.

Dengan demikian, mengacu pada ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya setelah perseroan memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM, maka tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas saham yang dia setorkan pada perseroan. Adapun prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan tanggung jawab pemegang saham dalam suatu Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut;
Pemegang saham perseroan terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat untuk dan atas nama perseroan semenjak Perseroan Terbatas mendapatkan pengesahan dari Menteri, atau dengan kata lain dengan disahkannya perseroan terbatas sebagai badan hukum, maka tanggung jawab atas segala perikatan dan perbuatan hukum untuk dan atas nama perseroan sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan hukum Perseroan Terbatas tersebut, kecuali terhadap hal-hal tertentu. Misalnya, jika terbukti terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dengan harta kekayaan perseroan, sehingga perusahaan didirikan hanya semata-mata sebagai alat yang dipergunakan oleh pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.
Dengan mengingat prinsip sebagaimana diterangkan di atas, pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah dimilikinya. Pembatasan pertanggungjawaban ini sebagai konsekuensi bentuk Perseroan Terbatas. Dimana harta kekayaan perseroan terbatas yang terdiri dari sero (saham) dipisahkan dari harta kekayaan pribadi. Suatu Perseroan Terbatas mengelola harta kekayaannya secara terpisah dari harta pribadi pemegang saham dan pengurusnya, maka pertanggung jawabannya pun terbatas pada harta kekayaan yang dimiliki oleh perseroan terbatas tersebut.
Dengan demikian, semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan yang sudah berbadan hukum menjadi tanggung jawab perseroan yang itu sendiri. Dengan kata lain, sekalipun para pemegang saham bertanggung jawab, akan tetapi tanggungjawabnya hanya sebatas saham yang bersangkutan pada perseroan tersebut. Hal ini berarti harta kekayaaan pribadi para pemegang saham tidak ikut dipertanggungjawabkan sebagai tanggungan perikatan yang dilakukan oleh perseroan yang bersangkutan. Oleh karena itu, pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan juga tidak bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan melebihi saham pemegang saham pada perseroan yang bersangkutan.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dikatakan bahwa;

Pemegang saham perseroan tidak bertanqqunq jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas name perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.

Apabila Pasal 3 ayat (1) tersebut kita kaitkan dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Dari bunyi pasal ini, dapat dikatakan bahwa bahwa pendiri adalah pemegang. saham pada perseroan baik pada saat perseroan belum disahkan sebagai badan hukum maupun sesudah perseroan berstatus badan hukum dengan tanggung jawab yang berbeda. Perbedaannya ialah Apabila keadaan perseroan belum disahkan menjadi badan hukum, maka tanggung jawab pendiri mengikuti ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No.1 tentang Perseroan Terbatas yang bunyinya sebagai berikut;

Perbuatan hukum yang dilakukan para pendiri untuk kepentingan perseroan sebelum perseroan disahkan, mengikat perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum apabila;
a) perseroan secara tegas menerima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri atau oranq lain yang ditugasken pendiri dengan pihak ketiga;
b) perseroan secara tegas menyatakan mengambil elite semua teak den kewajiban yang timbal dari perjanjian yang dibuat pendiri atau oranq lain yang ditugaskan pendiri, walaupun perjanjian tidak dilakukan atas nama perseroan atau
c) perseroan mengukuhkan secara tertulis samua perjanjian yang dilakukan atas nama perseroan.

Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut;

Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima, tidak diambil alih atau tidak dikukuhkan oleh perseroan, maka masing–masing pendiri bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul.

Berdasarkan Pasal 11 tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa dalam keadaan perseroan belum disahkan sebagai badan hukum, tiap-tiap pendiri bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan hukum yang dilakukan. Dengan kata lain, tanggung jawab ini akan beralih pada perseroan setelah perseroan disahkan sebagai badan hukum, dan perseroan menyatakan menerima atau mengambilalih serta mengukuhkan secara tertulis bahwa semua perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh pendiri tersebut. Oleh karena itu, apabila perseroan tidak melakukan tindakan menerima atau mengambilalih serta mengukuhkan secara tertulis perbuatan hukum yang dilakukan pendiri, maka perseroan tidak terikat serta tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum pendiri perseroan tersebut. Oleh sebab itu, masing-masing pendiri bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul dari perbuatan hukum yang telah dilakukannya itu. Begitu juga sebaliknya apabila perbuatan hukum tersebut telah disahkan oleh perseroan setelah perseroan berbadan hukum, maka tanggung jawab pendiri mengikuti ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.l Tahun 1995 tentang perseroan Terbatas yang menyatakan sebagai berikut:

Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa pendiri/pemegang saham tidak bertanggung jawab melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Dengan kata lain, berapapun jumlah kerugian yang diderita perseroan, pendiri/pemegang saham hanya akan bertanggung jawab sebatas nilai saham yang telah diambilnya.
Akan tetapi, terhadap ketentuan tersebut terdapat pembatasan, yakni jika pemegang saham ternyata telah menyalahgunakan bentuk perseroan untuk kepentingan pribadi, maka asas penyingkapan tabir perseroan (piercing the corporate veil) berlaku. Dengan kata lain, absolute liability dalam Pasal 3 ayat (1) Undang¬-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tidak berlaku. Bahkan jika terbukti pemegang saham secara langsung maupun tidak langsung menggunakan kekayaan perseroan hingga mengakibatkan perseroan pailit, maka pemegang saham yang bersangkutan secara pribadi harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Artinya jika harta kekayaan perseroan tidak mencukupi, maka dapat diminta agar harta kekayaan pribadi pemegang saham diambil untuk membayar kekurangan tersebut. Oleh sebab itu, Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sering juga, disebut dengan relative liability bagi pemegang saham.
Bahwa Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menganut prinsip piercing the corporate veil terlihat dari pasal-pasal Undang-Undang No.1 Tahun tentang Perseroan Terbatas di bawah ini, yang berlaku baik bagi Pemegang Saham, Direksi maupun Komisaris. Bagi pemegang saham yang memiliki tanggung jawab terbatas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menjadi tidak berlaku, dalam beberapa hal yang dinyatakan pada pasal 3 ayat (2) Undang¬-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila;
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Dengan demikian, terlihat bahwa dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham. Hal-hal tertentu tersebut antara lain; apabila terbukti bahwa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan Ketentuan tersebut tidak berlaku antara lain, apabila;
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi,
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Selain itu ketentuan Pasal 7 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas juga sebagai pengecualian dari Pasal 3 ayat (1). Pasal 7 ayat (3) dan ayat(4) menyatakan;

Dalam hal setelah perseroan disahkan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain.

Selanjuntya ayat (4) dari pasal yang bersangkutan menyatakan sebagai berikut;

Dalam hal setelah lampau jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, Penqadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut.

Dengan demikian, dapat diartikan dari ketentuan yang telah disebutkan di atas bahwa undang-undang tidak membolehkan adanya pemegang saham tunggal dan apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pemegang saham masih tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang saham akan bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian. Kemudian, dalam hal setelah perseroan disahkan pemegang saham menjadi kurang dari dua orang, maka dalam waktu paling lama enam bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain. Apabila setelah lewat enam bulan pemegang saham masih tetap kurang dari dua orang, maka pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan perseroan tersebut. Di sini tampak bahwa undang-undang tidak membolehkan saham perseroan berada dalam satu tangan, apabila hal ini dilanggar konsekuensinya pemegang saham tungal akan bertanggung jawab secara pribadi kepada pihak ketiga kendati perseroan telah berstatus badan hukum.
Penetapan pasal ini mengandung asas larangan pemegang saham tunggal dan secara konseptual larangan pemegang saham tunggal mengandung beberapa makna sebagai berikut;
1. Menjamin unsur perjanjian dalam pendirian perseroan tetap tercermin.
2. Menghindari penyelundupan tanggung jawab pribadi dari pemegang saham dengan menggunakan bentuk usaha perseroan Terbatas. Di samping itu pemegang saham tunggal kurang mencerminkan perseroan terbatas sebagai badan usaha yang modalnya terdiri dari saham-saham yang dimaksudkan untuk mengikut sertakan pihak lain dengan sistem pertanggung jawaban terbatas; dan
3. Mewujudkan dasar kekeluargaan yaitu terhadap pelanggaran atas larangan ini menyebabkan pemegang saham tunggal bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan atau tindakan perseroan kepad pihak ketiga.

A. Hak dan Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan
1. Hak-Hak Direksi Dalam Perseroan
Direksi dalam kedudukannya sebagai organ perseroan yang berwenang jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan angaran dasar. Dalam kedudukannya ini, pada prinsipnya Direksi bertugas menjalankan dan mengelola perseroan. Untuk membantu Direksi dalam melakukan tugasnya, berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh Direksi, Direksi dapat meminta nasihat dari pihak ketiga atau membentuk komite khusus. Setiap anggota Direksi haruslah merupakan seseorang yang mempunyai karakter yang baik dan pengalaman yang diperlukan. Direksi mengurus saham, direksi akan menjalankan tanggung jawab sosial perseroan (misalnya bertindak sebagai warga yang baik di negara-negara dimana perseroan mejalankan usahanya) dan memperhatikan kepentingan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perseroan.
Untuk memfungsikan Direksi dalam suatu perusahaan komposisi Direksi haruslah sedemikian rupa sehingga memungkinkan pembuatan keputusan yang efektif dan cepat. Sekurangnya 20% anggota Komisaris haruslah merupakan orang luar untuk meningkatkan (a) efektifitas perannya sebagai pengelola, dan (b) transparansi musyawarah yang dilakukan oleh Direksi. Jumlah Direksi yang merupakan orang luar pada akhirnya haruslah sedemikian rupa sehingga suara yang mereka berikan mempunyai pengaruh terhadap segala keputusan penting yang diambil pada setiap Rapat Direksi. Direksi yang merupakan orang luar tidak boleh mempuyai ikatan dengan Komisaris dan pemegang saham yang mempunyai kontrol atas perseroan dan tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menjalankan tugas mereka dengan tanpa berpihak untuk kepentingan perseroan.
Oleh sebab itu, semestinya dalam pelaksanaan Direksi perseroan terbuka sekurangnya terdiri dari 2 (dua) anggota. Direksi selaku organ perusahaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus mematuhi segala undang-undang dan peraturan yang berkekuatan huum serta Anggaran Dasar Perseroan dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dalam kaitanya dengan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan ini, seorang Direksi harus menjalankan tugas-tugasnya dengan maksud baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas segala kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugsnya. Direksi harus menyimpan buku-buku perseroan, menyiapkan dan menyerahkan Laporan Tahunan dan laporan keuangan tahunan kepada RUPS Tahunan serta membuat dan menyimpan Daftar Pemegang Saham dan notulen RUPS. Berdasarkan Pasal 87 UUPT, seorang anggota direksi harus mengungkapkan kepada perseroan segala kepemilikan sahamnya atau anggota keluarganya dalam perseroan atau dalam perseroan lainnya. Seorang anggota Direksi yang memiliki saham dalam perusahaan-perusahaan dimaksud harus melaporkan kepemilikan sahamnya kepada Bapepam.

2. Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan
a. Tanggung Jawab Hukum Pribadi Direksi Secara Tidak Terbatas
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan dua prinsip dasar, yaitu pertama kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty), dan kedua prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care). Kedua prinsip ini menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa konsekuensi yang berat bagi Direksi, seperti terlihat antara lain dalam Pasal 85 dan Pasal 90 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, karena ia dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.
Pasal 85 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:

Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan, tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
a) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah dan lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1).
b) Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap¬ anggota Direksi yang karena kesalahan atau, kelalainnya menimbulkan kerugian pada perseroan.


Kemudian Pasal 90 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:

1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kelalain tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu.
2) Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.


Di sini terlihat bahwa Pasal 85 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas bertolak dari asas fiduciary duty, sedangkan Pasal 90 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas bertolak dari asas duty of skill and care. Direksi mewakili kepentingan perseroan secara keseluruhan dan ia tidak mewakili kepentingan pemegang saham tertentu atau masing-masing pemegang saham. Oleh karena itu, pembagian tugas dan wewenang Direksi diatur oleh RUPS atau sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran dasar perseroan, ataupun Komisaris bila diatur demikian di dalam Anggaran Dasar.
Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) dimana anggota Direksi wajib menjalankan tugasnya dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (and with full sense of responsibility). Selama hal tersebut dijalankan, para anggota Direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari suatu perseroan atau PT. Namun apabila hal tersebut telah dilanggar artinya anggota Direksi yang bersangkutan lalai atau bersalah dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan bisa dikenakan tanggung jawab penuh secara pribadi.
Dalam hal kepailitan yang disebutkan dalam Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu.
Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya perlu disinggung suatu hal yang cukup penting yang terdapat dalam peradilan Amerika judicial review yaitu yang disebut the business judgement rule yaitu suatu aturan yang melindungi para direksi dari tanggung jawab pribadi bilamana mereka bertindak berdasarkan itikad baik (in good faith), telah selayaknya memperoleh informasi yang cukup (well informed), dan secara masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan (the best interest of the corporation).
Bila demikian halnya, pengadilan tidak akan ragu-ragu untuk melindungi direksi yang melaksanakan business judgement tersebut. Adapun yang merupakan kekecualian sehingga direksi tidak dapat berlindung dibawah prinsip business judgement, antara lain jika keputusan direksi tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut;
1. Suatu kecurangan (fraud);
2. Menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest);
3. Merupakan perbuatan yang melawan hukum (illegality); dan
4. Akibat kelalaian berat (gross negligence).
Dalam praktek bisa saja masalahnya tidak sesederhana itu, maka untuk itu diperlukan suatu profesionalisme dan wawasan dari para hakim yang mempunyai kewenangan dalam memberikan keputusan pada kasus yang diajukan kepadanya, sehingga benar-benar orang yang tidak bersalah dapat terlindungi. Sebab apabila seorang direksi dapat membuktikan hal tersebut bukan merupakan kesalahannya, ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Hal ini dikarenakan seorang direksi dalam pelaksanaan tugasnya tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi dia juga dapat mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan (sekunder) yang menunjang dan memperlancar tugas-tugasnya. Bila masih berada dalam batas-batas yang diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya (masih dalam kewenangan perseroan atau (intra vires), dia dapat bertindak asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran dan kepatutan (dan tidak bersifat ultra vires).

b. Gugatan Perdata dan Tanggung Jawab Hukum Direksi
Pada dasarnya pertanggung jawaban Direksi adalah terbatas setelah dilakukannya pendaftaran menurut Undang¬ Undang No.3 tahun 1983 dan pengumuman Akta Pendirian yang telah disahkan Menteri Kehakiman dalam tambahan Berita negara Republik Indonesia akan, dalam keadaan tertentu tanggung jawab terbatas ini dapat menjadi tidak terbatas atau menjadi tanggung jawab pribadi atau pun tanggung renteng sesama anggota, Direksi. Hal ini terutama berhubungan dengan konsep piercing the corporate veil dan ultra vires.
Selain ajaran piercing the corporate veil yang dapat membebankan tanggung jawab Direksi menjadi tanggung jawab pribadi seperti yang telah dikemukakan penulis di bab sebelumnya maka dalam hal ini selain prinsip tersebut di atas terdapat juga ajaran mengenai tanggung jawab Direksi dilihat dari prinsip ultra vires.
Fred BG.Tumbuan yang dikutip oleh Chatamarrasjid membedakan antara perbuatan intra vires dan ultra vires, perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam maksud dan tujuan PT) adalah perbuatan intra vires. Perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak PT. (tidak tercakup dalam maksud dan tujuan PT). Pengertian ultra vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu, yang apabila dilakukan manusia adalah sah, ternyata berada diluar kecakapan bertindak PT sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, dan atau berada di luar lingkup maksud dan tujuannnya.
Sedangkan dalam Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan terbatas menyatakan bahwa "anggaran dasar dapat menentukan pembatasan wewenang anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".
Dengan demikian, jelaslah bahwa setiap tindakan dari para Direksi di dalam mengelola perseroan tidak lepas juga dari peranan Komisaris karena kedua organ perseroan tersebut saling terkait satu sama lainnya, karena apabila Direksi bertindak melampaui batas kewenangan dari yang telah ditentukan di dalam ketentuan Anggaran Dasar perseroan, maka Direksi dapat dituntut secara pribadi. Setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh Direksi walaupun dengan mengatasnamakan perseroan dan di kemudian hari perseroan tersebut merugi atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh Direksi tersebut karena telah memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadinya maka jelas adalah merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dan Anggaran Dasar Perseroan. Terhadap perbuatan hukum yang dilakukannya itu tidak dapat dilimpahkan kepada perseroan (badan hukum) yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ajaran tentang ultra wires yang menentukan bahwa Direksi dilarang bertindak melampaui batas wewenang yang telah ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan tersebut.

B. Hak dan Tanggung Jawab Komisaris Dalam Perseroan
1. Wewenang Komisaris Dalam Perseroan
Bila direksi merupakan organ yang diberikan kewenangan untuk menjalankan perusahaan oleh pemegang saham, maka Komisaris merupakan organ “perwakilan pemegang saham.” Komisaris diangkat oleh RUPS. Sebagai wakil pemegang saham, Komisaris memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab (akuntabel) untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan. Komisaris juga “mitra” direksi dalam menjalankan kebijakan. Komisaris memberikan nasihat kepada Direksi. Tetapi Komisaris juga memiliki kewenangan untuk memberhentikan sementara anggota direksi dengan menyebutkan alasannya.



2. Tanggung Jawab Komisaris Dalam Perseroan
Undang-undang perseroan terbatas menugaskan Komisaris untuk mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi perseroan. Pada umumnya, dalam praktek kegiatan perseroan. Komisaris diberikan kewenangan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan-tindakan tertentu yang akan dilakukan oleh Direksi perseroan, termasuk untuk menyetujui laporan tahunan yang akan disampaikan kepada pemegang saham untuk dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan perseroan.
Selain itu undang-undang perseroan terbatas membuka kemungkinan bagi Komisaris untuk dalam hal-hal tertentu. Seperti, dalam halnya terdapat pertentangan kepentingan antara Direksi perseroan dan perseroan. Begitu pula dalam hal terjadi kelowongan jabatan Direksi, dalam perseroan untuk bertindak mewakili perseroan dan bertindak untuk dan atas nama perseroan. Dalam hal yang demikian, maka ketentuan yang berlaku bagi Direksi perseroan berlaku pula bagi Komisaris perseroan.
Lebih jauh I. .G. Rai Widjaja, menjelaskan bahwa Komisaris itu bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjaiankan perseroan. Fungsi kontrol dan pemberian advis ini bisa dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi;.
b. Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan (fiduciary duty);
c. Komisaris wajib melaporkan kepada perseroan mengenai pemilikan sahamnya dan atau keluarganya (suami, istri dan anak-anaknya) pada perseroan tersebut dan perseroan lainnya. Demikian juga setiap perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib pula dilaporkan. laporan mengenai hal ini dicatat dalam daftar khusus yang merupakan salah satu sumber informasi mengenai besarnya kepemilikan dan kepentingan Pengurus perseroan yang bersangkutan atau perseroan lain, sehingga pertentangan yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil¬-kecilnya.
Oleh karena itu, wajarlah jika dalam undang-undang perseroan terbatas dikatakan bahwa Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan. Segala kesalahan dan kelalaian oleh Komisaris dalam melaksanakan tugasnya melahirkan pertanggungjawaban pribadi dari komisaris bersangkutan kepada perseroan dan pemegang saham perseroan. Ketentuan mengenai hak untuk melakukan "derivative suit", yang dimiliki oleh pemegang saham perseroan yang mewakili sekurang-kurangnya 1/10 (satu persepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang sah untuk dan atas nama perseroan melakukan gugatan kepada Komisaris perseroan yang karena kesalahan dan kelalaiannya merugikan perseroan berlaku juga dalam hal ini. Demikian juga hak dari masing-masing pemegang saham untuk secara langsung menggugat Komisaris yang merugikan kepentingannya sebagai pemegang saham dalam perseroan tetap berlaku dan diakui.
Pasal 97 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan Perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi. Apabila ditentukan dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Misalnya, apabila terjadinya kekosongan jabatan Direksi. Selanjutnya di dalam melakukan kepengurusan perseroan dalam keadaan tertentu dan jangka waktu tertentu berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga.
Lebih lanjut mengenai peranan dan tanggung jawab terbatas dari Komisaris ataupun Dewan Komisaris dari sebuah perseroan terbatas akan bergantung pada isi dari Anggaran Dasar Perseroan Terbatas tersebut. Oleh karena itu, Komisaris di dalam melaksanakan togas pengawasannya akan berpatokan kepada ketentuan yang ada dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan.
Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa “Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan". Sesuai dengan bunyi pasal tersebut di atas, apabila Komisaris lalai dan tidak mempunyai itikad baik dan tanggung jawab di dalam menjalankan tugasnya, maka semua anggota Komisaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi.
Agus Budiarto mengatakan bahwa tanggung jawab Komisaris dapat dibagi dua yaitu, tanggung jawab keluar terhadap pihak ketiga dan tanggung jawab ke dalam terhadap perseroan. Tanggung jawab keluar tidak sebesar tanggung jawab Direksi, karena Komisaris bertindak keluar berhubungan dengan pihak ketiga hanya dalam keadaan yang sangat istimewa, yaitu dalam hal Komisaris dibutuhkan Direksi sebagai saksi atau pemberi izin. Begitu pula dalam hal direksi menurut anggaran dasar harus terlebih dahulu mendapat izin dari Komisaris dalam perbuatan penguasaan (beschiking). Seperti, menjual dan atau menggadaikan harta kekayaan perseroan.
Sementara itu, tanggung jawab ke dalam sama dengan Direksi, pertanggungjawaban secara pribadi untuk seluruhnya. Bila ada 2 (dua) Komisaris atau lebih maka pertanggungjawaban itu bisa bersifat kolektif atau majelis. Jika komisaris ikut serta dalam pengurusan biasanya ia lalu ikut memberikan pertanggungjawaban kepada RUPS bersama-same. dengan Direksi.
Seperti telah disebutkan di atas menurut penjelasan Agus Budiarto mengenai tanggung jawab keluar dan ke dalam, maka apabila dikaitkan dengan Komisaris biar bertanggung jawab pribadi (tak terbatas) pada saat Komisaris ikut serta dalam pengurusan perseroan seperti halnya Direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi.
Dalam hal ini juga berlaku teori piercing the corporate veil yang sering kali dibebankan kepada pihak pemegang saham, Direksi atau Komisaris, misalnya dalam hal- hal sebagai berikut;
1. Permodalan perseroan tidak layak;
2. Penggunaan dana perseroan secara pribadi;
3. Ketidaklengkapan formalitas perseroan;
4. Terdapat penipuan, penggelapan atau transfer modal secara tidak layak; dan
5. Sangat dominannya pemegang saham atau komisaris dalam kegiatan bisnis perseroan.
Jadi, dalam beberapa hal, pemberlakuan teori piercing the corporate veil juga berlaku bagi Komisaris. Artinya, dalam hal-hal tertentu pihak Komisaris secara pribadi pun dapat dimintakan tanggung jawabnya atas kegiatan yang sebenar-benarnya dilakukan oleh perseroan. Hanya saja, dibandingkan dengan pihak pemegang saham dan pihak Direksi, maka pihak Komisaris merupakan pihak yang paling sedikit dikejar oleh teori piercing the corporate veil ini. Pihak Komisaris merupakan the last target dari penerapan teori piercing the corporate veil. Hal ini disebabkan kedudukan dan wewenang pihak Komisaris dalam perseroan hanyalah sebagai pihak pengawas saja. Lain halnya pihak Direksi misalnya, yang mempunyai tugas mewakili dan menjalankan kegiatan perseroan, atau pihak pemegang saham sebagai pemilik perusahaan/investor, sehingga tanggung jawabnya menjadi lebih besar. Pemberlakuan teori piercing the corporate veil kepada komisaris dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut;
a. Jika Komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan;
b. Jika ada kesalahan hukum (dengan unsur kesengajaan atau kelalaian) dari piha Komisaris;
c. Jika dokumen perhitungan tahunan tidak benar; dan
d. Jika dalam keadaan tertentu, Komisaris menggantikan Direksi dalam menjalankan pekerjaan perseroan dan dia akan bertanggung jawab dalam posisinya selaku Direksi.
Komisaris berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku harus menjalankan tugasnya masing-masing dengan itikad baik, maka segala perbuatan yang dilakukan oleh para anggota Komisaris harus dilandasi dengan itikad baik dan dedikasi yang tinggi terhadap perseroan dan demi kepentingan perseroan. Apabila Komisaris tidak melaksanakan tugasnya masing-masing sebagai pengurus dan pengawas di dalam suatu PT dengan baik atau kesalahan yang dibuat dengan sengaja yang dapat merugikan perseroan dan telah keluar dari apa yang telah diamanatkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar Perseroan Terbatas, maka terhadap mereka dapat dimintakan pertanggung jawaban secara pribadi.
Sebagai contoh mengenai perbuatan yang tidak dilandasi dengan itikad baik yaitu apabila seorang Direksi suatu bank memberikan kredit kepada nasabah melebihi.plafon kredit yang telah ditetapkan dan kemudian memberikan bung& yeng lebih rendah kepada nasabah tersebut. Selanjutnya dalam hal ini Komisaris bank tersebut sebagai pengawas dari kebijakan Direksi tidak mengambil suatu sikap yang tegas atau tidak mengambil tindakan apapun atas kejadian itu maka Komisaris tersebut dapat dikategorikan telah melenceng dari kewajiban yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang¬undangan yang berlaku. Dapat dianggap Komisaris tersebut tidak mempunyai itikad baik dan karena tanggung jawab yang tinggi terhadap perseroan maka Komisaris dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi.

No comments:

Post a Comment