Monday, February 7, 2011

KORUPSI DAN PERUBAHAN HUKUM DI INDONESIA (Telaah Dari Sudut Sosiologi Hukum)

Oleh: Suleman Batubara SH., MH
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki beribu pulau dan sumber daya alam yang berlimpah. Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara (the founding fathers) telah memiliki cita-cita luhur yang dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu; membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam perjalanannya bangsa Indonesia mengalami berbagai periode pemerintah, yaitu periode pemerintahan orde lama, pemerintahan orde baru, dan pemerintahan era reformasi. Perubahan pemerintahan yang disebabkan perubahan politik tersebut berpengaruh pada perubahan pada masyarakat, termasuk perubahan hukum. Dalam perubahan hukum, salah satu perubahan mendasar adalah di amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pergantian pemerintahan orde baru ke orde reformasi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh krisis ekonomi tahun 1997 yang dialami oleh bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang selanjutnya menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dan kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang puncaknya membawa kejatuhan pemerintahan orde baru.
Dalam era reformasi, dibawah pemerintahan baru krisis ekonomi tetap berlanjut. Kenyataan menunjukkan, mengembalikan kestabilan perekonomian ternyata tidaklah semudah membalik telapak tangan. pemerintahan baru harus bekerja keras untuk melakukan pembangunan kembali di atas reruntuhan pembangunan hukum dan ekonomi yang diwariskan oleh pemerintah orde baru.
Krisis ekonomi di Indonesia diawali dengan menurunnya nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah yang mengakibatnya beban hutang luar negeri semakin bertambah. Jumlah hutang dan bunga yang dibebankan kepada Indonesia, menambah beratnya beban perekonomian negara yang berdampak langsung kepada masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor internal yaitu; Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pengelolaan aset-aset ekonomi, dan penegakan hukum yang sangat lemah menjadikan faktor pemicu tergelincirnya kita dalam krisis. Sementara faktor eksternal yaitu; hutang luar negeri yang besar kepada pemerintah Indonesia yang diberikan oleh negara-negara kreditor menjadi senjata makan tuan. Peranan negara-negara kreditor sebenarnya tidak bisa diabaikan. Karena mereka sesungguhnya mengetahui bahwa korupsi terjadi di Indonesia, namun mereka menutup mata dan membiarkan Indonesia terjerumus dalam krisis.
Secara konseptual pemerataan dan keadilan yang pernah ditawarkan kepada masyarakat melalui trilogi pembangunan pada masa pemerintahan orde baru, dalam kenyataannya tidak tercapai sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terjadi karena tidak konsistennya penegakan hukum dari para pelaku makro ekonomi dan penguasa yang menyalahgunakan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan hukum. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah pada saat itu dinilai bernuansa korupsi, kolusi dan nepotisme yang berakibat fatal pada pembangunan ekonomi.
Warisan “Korupsi” tidak hanya terjadi pada tingkat pengambilan keputusan, pengusaha (swasta) yang menguasai aset ekonomi saja, namun korupsi juga menyebar pada tingkat pelaksana. Hal ini terjadi pada lembaga-lembaga atau aparat yang berhubungan langsung dengan publik. Begitu hebatnya korupsi sehingga sebagian pengamat sosiologi memberikan pendapat bahwa korupsi oleh sebagian besar masyarakat kita tidak lagi dianggap sebagai kejahatan tetapi sudah menjadi kultur (budaya).

B. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
1. Faktor Sosio-Budaya
Untuk menemukan faktor-faktor penyebab korupsi, perlu untuk melihat sejarah awal mula berkembangnya korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia sudah berkembang sejak tahun 1960-an dan kemudian memuncak sejak pemerintahan orde baru. Indonesia saat ini tercatat sebagai negara terkorup kedua se-Asia Pasifik setelah Vietnam dan negara terkorup ketiga se-dunia. Fenomena yang demikian, Romli Atmasasmita berpendapat bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan sudah merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).
Kejahatan korupsi dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda, dengan kata lain, korupsi di satu sisi ada yang beranggapan bahwa korupsi seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, di sisi lain, pemerintah masih beranggapan bahwa korupsi belum dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), tetapi perlu penangan yang luar biasa.
Parahnya korupsi di Indonesia, dapat dilihat juga dari karakteristik budaya masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia berasal dan terbentuk dari masyarakat adat yang bersifat multi etnik atau pluralis. Pada masing-masing budaya memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Pergaulan antar sesama masyarakat yang berbeda budaya ini akan menghasilkan percampuran budaya yang dalam satu wadah besar dikenal dengan bangsa Indonesia.
Apabila diperhatikan, masyarakat Indonesia cenderung pada hal-hal yang bersifat kebendaan. Sebagai contoh dalam masalah yang menyangkut perkawinan. Dalam perkawinan selalu ada tradisi untuk menghubungkan dengan soal mahar dan proses perkawinan, dengan kata lain semakin besar mahar dan semakin besar pesta perkawinan akan berpengaruh pada starat sosial keluarga yang bersangkutan. Sikap materialistik tersebut berkembang dan mengkristal sehingga menciptakan karakteristik materialistik di tengah-tengah masyarakat yang kemudian diperkuat oleh sikap rasionalisme yang terus merasuk ke dalam jiwa masyarakat, sehingga membentuk kepribadian yang materialistik-rasionalistik yang pada akhirnya menjadi budaya baru bagi masyarakat Indonesia.
Budaya baru tersebut semakin tertanam dengan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia tidak siap melihat perkembangan teknologi modern. Sejak awal kemerdekaan, setelah berada dalam masa penjajahan yang begitu lama, masyarakat Indonesia terbuka terhadap budaya asing yang membawa masuknya teknologi, rasionalisme dan idealisme yang bersifat kebendaan.
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia secara perlahan-lahan kehilangan jati diri yang sesungguhnya. Contoh lain yang dapat dikedepankan saat ini adalah bahwa dalam berbagai sektor kehidupan, kekayaan materi menjadi satu-satunya indikator keberhasilan seseorang. Pemujaan terhadap keberhasilan dari sisi materi tersebut sering kali menyebabkan diabaikannnya bagaimana cara memperoleh materi tersebut.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang paternalistik, yaitu masyarakat yang cenderung mengikuti prilaku pemimpin-pemimpinnya. Kenyataan korupsi yang terjadi di Indonesia banyak yang berawal dari kekuasaan. Puncak korupsi terjadi pada masa pemerintahan orde baru. Realita tersebut berlanjut pada korupsi yang terjadi saat ini yaitu tidak hanya di lingkungan pemerintah tetapi juga pada lingkungan swasta. Swasta yang dimaksud dalam konteks ini adalah pengusaha dan juga lembaga swadaya masyarakat.
Dengan demikian semakin jelas bahwa faktor perubahan budaya yang terjadi di masyarakat adalah salah satu penyebab terjadinya korupsi. Adanya budaya masyarakat yang berorientasi pada kebendaan secara tidak sadar membawa masyarakat yang bersangkutan pada budaya materialisme. Kemudian orientasi materialisme ini leluasa untuk tumbuh dengan subur karena dilakukan pula oleh para pemimpin atau tokoh-tokoh masyarakat. Akibat yang terjadi dari kondisi tersebut adalah tanpa disadari secara perlahan korupsi telah menkooptasi pemikiran masyarakat, sehingga korupsi sering kali diartikan sesuatu yang lumrah atau suatu perbuatan yang tidak lagi bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma dan hukum.

2. Faktor Lemahnya Penegakan Hukum
“Fiat Justicia Rullat Cullum” yang berarti tegakkanlah hukum dan keadilan sekalipun langit akan runtuh, merupakan sebuah adagium hukum yang terpatri pada mereka yang konsisten pada jalur yang benar. Namun menegakkan kebenaran dan keadilan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ini merupakan perumpamaan yang sering dilukiskan yang saat ini sedang menjadi motto bagi negara Indonesia.
Hukum seharusnya berpihak pada mereka yang benar, hukum semestinya memiliki peranan yang sangat penting dalam fungsinya mengatur kehidupan masyarakat. Hukum idealnya tempat dimana kebenaran ditegakkan dan kezaliman mendapatkan hukuman. Sehingga esensi cita-cita the founding fathers yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur dapat tercapai.
Thomas Aquinus menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang merefleksikan nilai-nilai ketuhanan. Jika korupsi sebagai bentuk pelanggaran hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia adalah pencurian dan pengambilan hak-hak rakyat, maka dalam agama dan keyakinan apapun hal ini dikategorikan sebagai kezaliman.
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa tuntutan penuntasan perkara korupsi di Indonesia yang sudah digolongkan ke dalam pelanggaran hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia sudah sedemikian memuncak, karena nilai kuantitatif kerugian negara (termasuk kesengsaraan seluruh rakyat Indonesia) sudah melampaui batas-batas toleransi, baik dari sisi moral, etika, kesusilaan dan hukum. Secara kualitatif korupsi sudah menimbulkan kerugian immaterial berupa bobroknya moral sebagian penyelenggara negara, termasuk aparatur penegak hukum, yang jika dibiarkan terus seperti sekarang ini akan dapat menghasilkan generasi pemimpin yang tidak akan peduli lagi dengan kepentingan rakyat banyak.
Sebagai sarana Social Engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah prilaku warga-warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Mydral sebagai soft development yaitu hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala ini akan timbul jika terdapat faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Adapun faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan maupun golongan masyarakat lain.
Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah karena sistem hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Friedman sitem hukum akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh tiga faktor yaitu; substansi hukum, organ-organ hukum dan budaya hukum (legal culture). Kaitannya dengan penegakan hukum (law enforcement) di bidang korupsi, maka dapat dikatakan masih jauh dari yang diharapkan. Masih banyak kasus korupsi yang tidak jelas penangannya.
Dari apa yang dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Roscou Pound menjadi sebuah kenyataan. Dimana dalam kenyataan, ada kesenjangan antara hukum yang tertulis dengan kenyataan yang terjadi, dengan kata lain law in the book berbeda dengan law in action.



C. Peranan Hukum Sebagai Alat Kontrol Sosial
Dari sudut hukum tertulis (normatif) yang diberlakukan sebagai dasar hukum, sebenarnya Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang cukup memadai, antara lain;
1. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN);
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Suap;
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di Samping undang-undang tersebut di atas, masih terdapat Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dengan merujuk pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, maka subyek hukum yang diatur adalah seluruh penyelenggara yang berasal dari lembaga tertinggi negara, lembaga tinggi negara sampai pada Gubernur, Walikota, Bupati, Pemimpin Proyek, Direksi Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Jaksa dan Hakim.
Dari perangkat peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa secara normatif perangkat peraturan hukum mengenai korupsi sudah cukup memadai, namun pada kenyataannya efektifitas hukum tersebut dalam pelaksanannya masih jauh dari yang diharapkan.



D. Peranan Negara dan Masyarakat Dalam Mengatasi Korupsi
Seiring dengan perubahan politik, dari pemerintahan orde baru ke pamarintahan reformasi, apabila kita perhatikan terjadi perubahan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Masyarakat yang semula berada dalam iklim yang sangat tertutup tiba-tiba berubah menjadi masyarakat yang terbuka. Keberanian mengeluarkan pendapat dan kritik bukan lagi merupakan kejahatan politik sebagaimana terjadi pada pemerintahan orde baru yang berhasil membuat masyarakat menjadi masyarakat tertutup dan sangat takut untuk mengeluarkan aspisari dan pendapat.
Perubahan politik tersebut berimplikasi pula pada perubahan prilaku masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Dapat dilihat adanya perbedaan antara masyarakat pada pemerintahan orde baru dengan masyarakat pada masa reformasi.
Pada reformasi issue-issue korupsi diangkat sebagai prioritas yang harus diatasi dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih (good governance) guna mendukung pembangunan ekonomi. Sesungguhnya salah satu dampak perubahan politik dari era pemerintahan orde baru ke pemerintahan reformasi adalah adanya perubahan sosial yang cukup signifikan yang berimbas pada positif pada perubahan hukum.
Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah peranan masyarakat untuk iktu melakukan pengawasan aktif terhadap pejabat-pejabat publik swasta maupun pemerintah. Perubahan ini merupakan gejala sosial yang positif yang berdampak positif juga pada efektifitas hukum. Peranan masyarakat tersebut tidak hanya tumbuh di pemerintahan pusat tetapi juga tumbuh di daerah-daerah. Sebagai contoh yang terjadi di Kalimantan Barat yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat Al-Ikhrat melaporkan lima kasuÿÿkorupsi yang bernilai miliaran rupiah kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

E. Beberapa Teori Hukum Yang Relevan Dalam Upaya Pencegahan dan Penyelesaian Kejahatan Korupsi
Sebagai wacana dan instrument analisa, penulis mengemukakan beberapa teori hukum sebagai berikut :
Hukum tidak bisa dilihat pada aspek normatif tetapi hukum harus dilihat dalam aspek lain yaitu dalam realita. Yang dimaksud dengan hukum dalam realita adalah bagaimana hukum diterapkan dalam kenyataan bukan hukum dalam bentuk pasal-pasal di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Teori Eugen Ehrlich (1826-1922), pelopor dari aliran Sociological Jurisprudence, dalam bukunya Fundamental Principles of the Sociology of Law, membedakan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law) atau dengan perkataan lain suatu pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau dengan apa yang disebut oleh para antropolog sebagai pola-pola kebudayaan (culture patterns).
Perbincangan-perbincangan mengenai hubungan timbal balik antara anasir hukum dengan anasir bukan hukum sebagian besar dikedepankan oleh penganut-penganut aliran sosiologi dalam ilmu hukum (aliran Sociological Jurisprudence). Termasuk di dalam aliran ini adalah juga pemuka-pemuka mahzab sejarah.
Teori Roscou Pound dari aliran Pragmatic Legal Realism, hukum sebagai suatu bentuk rekayasa sosial (sosial engineering). Roscou Pound dalam hal ini menekankan pada efektivitas bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Lebih lanjut Roscou Pound membedakan law in the books dan law in the action.
Eugen Ehrlich juga dari aliran Sociological Jurisprudence mengatakan bahwa : “.... At the present as well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self.
Dengan demikian baik menurut teori (ilmu) hukum barat maupun pemikiran tentang hakikat hukum yang terdapat dalam aliran pikiran masyarakat Indonesia, tidak perlu ada pertentangan antara maksud untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dan pengaturan nilai-nilai atau aspirasi yang hidup dalam masyarakat.

F. Fungsi dan Peranan Hukum
Keberadaan Hukum tidak terlepas dari fungsi dan peran hukum itu sendiri. Salah satu titik berat hukum adalah pada fungsinya sebagai integrasi. Fungsi tersebut meliputi sistem kaidah yang bertugas untuk mengoreksi perilaku yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang bersangkutan. Hukum juga dipandang sebagai suatu proses.
Adapun sistem hukum merupakan pencerminan dari suatu sistem sosial dimana sistem hukum tersebut merupakan sistem sosial.
Dengan demikian sistem hukum tadi merupakan pencerminan dari unsur-unsur kebudayaan, kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan sosial maupun perubahan sosial.

G. Efektifitas Hukum
Salah satu pokok pembahasan sosiologi hukum adalah efektivitas dari hukum (positif) tertulis maupun hukum positif (tidak tertulis) dikaitkan dengan tujuan dari hukum itu sendiri. Di satu sisi hukum sebagai faktor yang mempengaruhi (independdent variable) dan di lain pihak hukum yang dianggap sebagai faktor yang dipengaruhi (dependent variable). Pada hukum tertulis terdapat derajat atau taraf efektivitas tertentu yang senantiasa tergantung pada kenyataan.
Sosiologi hukum merupakan ilmu tentang kenyataan, yaitu; ilmu pengetahuan yang menyoroti hukum sebagai prilaku etis yang teratur dan yang unik. Oleh karena hukum pada hakekatnya merupakan bagian dari pergaulan hidup manusia, yang mungkin merwujud kaidah atau prilaku etis. Adapun prilaku etis, mencakup prilaku di bidang kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum. Prilaku hukum dibedakan antara prilaku yang teratur (ajeg) dengan prilaku yang unik.

Adapun kriteria untuk menetapkan identitas prilaku hukum adalah;
1. Prilaku hukum sebagai prilaku teratur;
a. Secara sosiologis merupakan kebiasaan (yang konstan)
b. Secara psikologis tertuju pada keinginan untuk mencapai kadamaian, yakni suatu keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
2. Prilaku hukum sebagai prilaku unik;
a. Secara sosiologis merupakan keputusan-keputusan yang diambil oleh fungsionaris hukum dan/atau masyarakat.
b. Secara psikologis tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian (a peaceful living together).

H. Konsepsi Mengenai Budaya Hukum
Menurut Otje Salman dan Anton F. Susanto, dalam bukunya Beberapa Aspek Sosiologi Hukum bahwa konsepsi mengenai kebudayaan hukum (legal culture) secara relatif baru dikembangkan. Adapun salah satu kegunaannya adalah untuk dapat mengetahui perihal nilai-nilai terhadap prosedur hukum maupun substansinya. Oleh karena itu hukum tersebut merupakan bagian dari kebudayaan, maka hukum tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir dari masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Bahkan lebih lanjut dapat dikatakan bahwa hukum merupakan penjelmaan dari jiwa dan cara berpikir masyarakat yang bersangkutan.

1 comment: