Friday, April 22, 2011

URGENSI, LEGALITAS DAN MANFAAT MUTASI BESAR-BESARAN DI MANDAILING NATAL

Oleh: Suleman Batubara SH., M.Hum

Akhir-akhir ini baik media cetak maupun elektronik banyak menyoroti tentang mutasi yang terjadi di Mandailing Natal (Madina). Para tokoh masyarakat, pemuda, mahasiswa, sejumlah LSM dan pemerintah masing-masing memberikan pendapat dan pandangannya. Para komentator, pemra-saran dan pemerintah diantaranya banyak yang “pro” dan “kontra” atas mutasi yang dilakukan oleh Aspan Sofyan Batubara tersebut sebagai Pejabat Sementara Bupati Madina. Tulisan ini berusaha untuk mengkaji masalah tersebut secara lebih obyektif khususnya dari aspek urgensi, legalitas dan manfaat mutasi bagi pemerintahan Kab. Madina.

Urgensitas Mutasi
Salah satu pertimbangan Bupati Madina melakukan mutasi adalah untuk efektivitas dan efesiensi biaya pemerintahan. Mengacu pada pertimbangan tersebut, mutasi bukanlah solusi yang paling tepat untuk dilakukan. Maksimalisasi kinerja, pengawasan, disiplin, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih merupakan langkah yang paling solutif dan efisien untuk mewujudkan tujuan tersebut. Jadi, mutasi bukanlah langkah yang paling tepat dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien. Dikatakan demikian karena mutasi tidak menjamin perbaikan melainkan pergantian, tidak akan menambah pemasukan kas daerah melainkan kantong-kantong tertentu. Bukan rahasia umum lagi bahwa di negara kita ini faktual semua bisa diatur dengan “uang”.
Mutasi bukanlah tugas yang berat karena siapapun dan kapanpun dapat dilakukan termasuk oleh Pejabat PLT dan pada saat-saat menjelang habisnya jabatan seperti yang terjadi di Kab. Madina ini. Namun menjadi pekerjaan yang susah bilamana mutasi diharuskan terlaksana diawal pemerintahan dan tepat sasaran, bukan ajang “bagi-bagi kue”. Mutasi semacam ini hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang mempunyai nasionalisme yang tinggi, bertanggung jawab, profesional dan berjiwa negarawan. Akankah karakter ini ada pada Bupati Madina? Entah, jawabannya tentu masing-masing punya penilaian yang berbeda satu sama lain. Harapan kita semoga beliau seperti pejabat yang kita idam-idamkan.
Uraian di atas, membuktikan kepada kita bahwa urgensi tidaknya mutasi terhadap pejabat pemerintahan Kab. Madina sangat tergantung kepada integritas, kualitas, akuntabilitas dan profesionalisme dari pejabat dan calon pejabat pengganti yang dimutasi. Dengan kata lain, kepribadian, kemampuan dan nasionalisme pejabat yang bersangkutan sangat menentukan mendesak tidaknya melakukan mutasi terhadapnya. Oleh karena itu, urgensitas mutasi hanya bersifat individual bukan kolegial. Tidaklah mungkin apabila dikatakan bahwa mayoritas pejabat pemerintah daerah Kab. Madina layak dimutasi, tapi kalau dikatakan sebagaian diantaranya, itu baru rasional. Dengan demikian, mutasi terhadap sebagian besar Camat di Kab. Madina oleh Bupati Madina bukan sesuatu yang urgen, tetapi kalau terhadap sebagian mungkin benar. Dikatakan demikian karena tidak mungkin sejumlah Camat yang dimutasi tersebut adalah pejabat yang memang nyata layak dimutasi.

Legalitas Mutasi
Bupati sebagai pejabat pemerintah daerah baik yang bersifat “sementara” atau lebih dikenal dengan “PLT” maupun yang sudah terpilih secara sah (tentatif), secara hukum berhak untuk melakukan mutasi terhadap pejabat yang berada dibawahnya. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Pertanyaannya adalah, mutasi yang bagaimanakah yang dimaksudkan oleh undang-undang tersebut? Dalam Pasal 21 undang-undang yang bersangkutan disebutkan bahwa kepala pemerintah daerah berhak mengelola aparaturnya. Mutasi dalam hal ini dapat diklasifikasikan sebagai tindakan pengelolaan. Oleh karena itu mutasi dibolehkan. Namun sekalipun dibolehkan, bukan berarti bahwa mutasi hanya memperhatikan aturan hukum semata, melainkan harus senantiasa sesuai dengan prinsip dan tujuan hukum atau undang-undang itu sendiri. Dengan demikian, mutasi yang dibolehkan atau sah secara hukum adalah mutasi yang dilakukan sesuai dengan prinsip dan tujuan hukum serta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Selain pertanyaan tersebut di atas, paling tidak ada tiga pertanyaan lain yang perlu dijawab dalam kaitannya dengan keabsahan mutasi yang sudah dilakukan. Adapun pertanyaan dimaksud adalah sebagai berikut; apakah mutasi tersebut murni dilakukan untuk kepentingan pemerintahan atau masyarakat? Ataukah kebijakan tersebut sengaja diambil demi kepentingan pribadi, pihak tertentu atau lainnya? Lalu, bagaimanakah “keabsahan” mutasi yang dilakukan apabila ternyata dapat dibuktikan bahwa prosedur atau cara yang dilakukan dalam mutasi tersebut adalah salah?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaji alasan-alasan, pertimbangan serta cara yang ditempuh terkait dengan mutasi tersebut. Dalam beberapa kesempatan Bupati Madina mengatakan bahwa mutasi tersebut dilakukan adalah untuk; perampingan sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), perbaikan kinerja jajaran pemkab, efisiensi anggaran mengingat anggaran pemkab yang minim, memperbaiki kinerja pemerintah, penyegaran, perbaikan kualitas dan pelayanan publik serta peningkatan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga. Melihat alasan mutasi tersebut, sementara dapat dikatakan bahwa mutasi tersebut adalah “sah” apabila dilihat dari sudut kepentingan yang diperjuangkan. Namun sebaliknya, mutasi tersebut adalah tidak sah apabila dikemudian hari ditemukan bukti bahwa mutasi tersebut bukan untuk kepentingan sebagaimana dinyatakan oleh Aspan Sofyan Batubara selaku Bupati Madina yang melakukan mutasi. Pertanyaan lanjutannya adalah kenapa “tidak sah”? Karena otoritas yang dimiliki Bupati dalam memutasi aparaturnya hanya “sah” bila dilakukan murni untuk kepentingan pemerintahan (negara) atau masyarakat, bukan kepentingan pribadi, golongan, pihak tertentu bahkan berbau KKN. Mutasi yang dilakukan berdasarkan “kepentingan” atau KKN sudah barang tentu menyalahi hukum. Oleh karena itu, mutasi yang demikian adalah “tidak sah” secara hukum. Dengan demikian, mutasi tersebut dianggap tidak pernah ada sekalipun untuk itu dibutuhkan rangkaian proses dan putusan yang bersifat final dan mengikat. Jadi, mutasi sebagai salah satu otoritas Bupati sebagai kepala pemerintahan daerah hanya “sah” apabila dilakukan untuk kepentingan pemerintahan (negara) atau masyarakat.
Hal lain yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan mutasi tersebut adalah bagaimana dampak mutasi yang dilakukan tersebut apabila mutasi yang dilakukan murni untuk kepentingan pemerintahan (negara) atau masyarakat akan tetapi cara yang ditempuh menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini tentunya harus mengikuti rangkaian proses mutasi tersebut khususnya dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh Bupati ataupun perwakilannya. Oleh karena penulis bukan “pengutil” Bupati Madina atau pengikutnya, maka pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan mengetengahkan dua asumsi. Asumsi pertama, proses mutasi dilakukan benar atau sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sementara asumsi kedua adalah sebaliknya yaitu proses mutasi dilakukan tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Apabila mutasi dilakukan dengan cara atau prosedur yang “benar”, maka mutasi tersebut adalah sah secara hukum. Demikian pula sebaliknya apabila mutasi tersebut dilakukan dengan cara yang “salah”, maka mutasi tersebut tidak sah secara hukum. Rasanya masih segar diingatan kita bahwa Herdarman Supandji (mantan Jaksa Agung) dianulir sebagai jaksa agung pada beberapa waktu yang lalu karena secara administratif atau cara pengangkatan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadapnya tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dengan demikian, keabsahan sebuah mutasi tidak hanya didasarkan pada syarat materil (substansi), akan tetapi juga tergantung kepada syarat formal atau prosedur (cara) yang dilakukan Bupati dalam mutasi tersebut.

Manfaat dan Kerugian Mutasi
Di awal sudah dijelaskan bahwa mutasi adalah bermanfaat apabila dilakukan dengan selektif, obyektif dan tepat. Sebaliknya, mutasi akan menjadi biang kehancuran bila hanya didasarkan pada kedekatan, kepentingan atau unsur lain di luar untuk kepentingan pemerintahan dan masyarakat. Dikatakan demikian, karena metode mutasi yang demikian akan menumbuhsuburkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan atau korupsi. Bukankah krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 di bawah rezim orde baru salah satunya disebabkan oleh kedekatan para keluarga, pengusaha, kroni dan pihak yang tidak bertanggung jawab lainnya kepada penguasa? Oleh karena itu, mutasi yang bersifat subyektif hanya akan menimbulkan kehancuran bukan kemajuan sebagaimana kita cita-citakan bersama. Dengan demikian, mutasi tersebut perlu kiranya dipertimbangkan kembali khususnya dari aspek manfaat yang diperoleh agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai. Terhadap mutasi yang sudah dilakukan, ke depan perlu kiranya menjadi perhatian oleh Bupati Madina terpilih. Hal ini ditujukan untuk memastikan apakah mutasi yang dilakukan sudah tepat dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku atau malah sebaliknya? Bila demikian halnya, maka terhadap mutasi yang dilakukan tidak sesuai dengan aturan atau bahkan melanggar hukum, harus diperiksa dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.

No comments:

Post a Comment