Saturday, November 27, 2010

PRA-PERADILAN DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA


Oleh: Suleman Batubara, SH., MH
Proses penyelesaian perkara pidana didahului oleh adanya suatu peristiwa hukum seperti ditemukannya sesosok mayat, sebuah pintu rumah yang kena congkel, sekelompok orang berkumpul sambil minum-minum dan main kartu dan lain sebagainya.[1] Untuk memastikan bahwa peristiwa-peristiwa hukum di atas merupakan tindak pidana diperlukan beberapa rangkaian tindakan hukum sebagaimana dikenal dalam hukum acara pidana yaitu, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan.[2]
Dalam pasal 1 butir 5 KUHAP, disebutkan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik[3] untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa pidana yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.[4] Dari bunyi pasal ini, dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah tindakan awal dari penyelidik untuk menyelidiki apakah suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa pidana atau bukan. Dengan kata lain, penyelidikan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh penyelidik untuk memastikan dapat tidaknya peristiwa hukum tersebut ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Setelah tahapan penyelidikan selesai dilakukan kemudian peristiwa hukum yang diselidiki merupakan tindak pidana maka proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah tindakan penyidikan.[5] Penyidikan dalam KUHAP sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[6]
Berdasarkan bunyi pasal ini, dapat dikatakan bahwa tindakan penyidikan yang dilakukan adalah untuk mengumpulkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana tersebut. Bukti-bukti yang dikumpulkan oleh penyidik ini diharapkan dapat membantu memperjelas tindak pidana yang bersangkutan juga untuk mengetahui siapa pelaku atau tersangka tindak pidana yang bersangkutan.
Penyidik dalam melakukan penyidikan ini dapat melakukan beberapa upaya paksa sebagaimana diatur dalam KUHAP yaitu penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan pemeriksaan.[7] Hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik maupun penyidik pembantu ini dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang kemudian akan diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).[8]
  BAP yang diserahkan oleh penyidik kepada Penuntut Umum ini kemudian mereka teliti dan pelajari. Apabila ternyata BAP yang diserahkan penyidik ini belum lengkap, Penuntut Umum dapat mengembalikan BAP tersebut kepada penyidik untuk dilengkapi kembali. Pengembalian BAP ini harus disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi penyidik. BAP adalah dasar bagi Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaaanya.
Surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum ini kemudian dilimpahkan ke pengadilan untuk dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pada tahap inilah surat dakwaan Penuntut Umum diuji kebenarannya. Dengan perkataan lain, apabila surat dakwaan Penuntut Umum dapat dibuktikan kebenarannya di sidang pengadilan maka terdakwa dapat dihukum. Begitu juga sebaliknya, apabila apa yang didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti maka terdakwa tidak dapat dihukum.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa para aparat penegak hukum baik penyelidik, penyidik dan penuntut umum maupun Hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan beberapa wewenang. Wewenang yang dimiliki oleh aparat penegak hukum ini seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat dan lain sebagainya pada dasarnya melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) khususnya hak tersangka dan terdakwa.[9]
Hak-hak tersebut diberikan kepada para aparat penegak hukum dalam kapasitasnya sebagai orang yang menjalankan undang-undang yaitu pihak yang memeriksa suatu tindak pidana.[10] Hal ini dibolehkan dengan pertimbangan bahwa melalui pemberian wewenang inilah suatu tindak pidana dapat diselesaikan.
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan haknya tersebut harus senantiasa memperhatikan undang-undang. Hal ini ditujukan agar baik tersangka atau terdakwa maupun terpidana yang hak-haknya telah dirampas karena perbuatannya jangan sampai diinjak-injak dalam pengertian sekalipun mereka adalah pelaku tindak pidana yang bersangkutan namun mereka harus senantiasa dihormati dan dihargai.
 Negara dalam upaya melindungi Hak-hak tersangka maupun terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana ini telah memberikan aturan atau pedoman bagi aparat penegak hukum tersebut sebagaimana terdapat dalam KUHAP dan perundang-undangan lainnya.
Dalam praktek sekalipun kewenangan para aparat hukum telah diatur sedemikian rupa dalam KUHAP dan undang-undang lainnya terkadang wewenang aparat penegak hukum ini kadangkala disalahgunakan sehingga hak-hak tersangka atau terdakwa tidak terlindungi. Dalam KUHAP salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para tersangka atau terdakwa yang hak-haknya dilanggar oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya adalah mengajukan praperadilan.[11]
         Praperadilan sebagai suatu upaya yang diharapkan oleh para tersangka dan terdakwa untuk dapat memperjuangkan kembali hak-haknya yang telah dirampas oleh aparat penegak hukum dengan cara melawan hak tersebut terkadang tidak dapat efektif atau berhasil. Dengan kata lain, dalam praktek upaya praperadilan ini kadangkala tidak dapat memperjuangkan hak-hak para tersangka atau terdakwa yang telah dirampas tersebut. Hal ini dikarenakan beberapa hal seperti ketidakjelasan perundang-undangan yang mengatur tentang praperadilan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya itikad baik dari aparat penegak hukum, praktek korupsi dan lain sebagainya.
         Menurut Adnan Buyung Nasution sebagaimana dikutip oleh MaPPI ada beberapa kelemahan dari praperadilan yaitu pertama, tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan misalnya, tindakan penggeledahan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat. Dikatakan demikian karena hal ini tidak dijelaskan dalam KUHAP.
         Kedua, praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, tanpa adanya permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Oleh sebab itu, apabila permintaan untuk itu tidak ada sekalipun penangkapan atau penahanan nyata-nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka sidang praperadilan tidak dapat diadakan.
         Ketiga, dalam praktek pemeriksaan praperadilan selama ini, Hakim lebih banyak perihal dipenuhi atau tidaknya syarat-syarat formil semata dari suatu penangkapan atau penahanan misalnya, ada atau tidaknya surat penangkapan, ada atau tidaknya surat perintah penahanan dan lain sebagainya. Keadaan ini, menjadikan pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim praperadilan tersebut tidak mengena pada sasaran dan tujuan dari praperadilan itu sendiri.[12]
         Hal senada juga disampaikan oleh Indriyanto Seno Adjie, beliau mengatakan bahwa praperadilan yang tertuang dalam KUHAP saat ini sebenarnya telah melenceng dari konsep awal karena praperadilan tidak mengakomodasi suatu kewenangan pencegahan dalam upaya paksa yang tidak sah untuk dilakukan. Hal ini mengingat bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan setelah upaya paksa selesai dilakukan.[13]


[1]Ada beberapa jalur untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana. Pertama, pengaduan yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepeda pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan. Pasal butir 25 KUHAP. Kedua, Laporan yaitu pemberitahuan yang disampaikan seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana. Pasal 1 butir 24 KUHAP. Ketiga, tertangkap tangan yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya  atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu tindak pidana. Pasal 1 butir 20 KUHAP.
[2]Mappi, Alur Peradilan Pidana. http://www.pemantauperadilan.com, Diakses, 5 Oktober 2007.
[3]Penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Pasal 4 KUHAP. Adapun kewenangannya antara lain, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti, menyruruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, pengeledahan dan penahanan, pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, membawa dan mengahadapkan seseorang pada penyidik, membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakannya. Pasal 5 jo. Pasal 16 ayat (1) KUHAP.  
[4]Pasal 1 butir 5 KUHAP.
[5]Pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 6 KUHAP. Adapun kewenangan dari penyidik antara lain, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang tindak pidana, melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, menyuruh berhanti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka dan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, mengadakan penghentian penyidikan. Pasal 7 jo. Pasal 131 KUHAP. Kemudian, penyidik juga berwenang melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. pasal 7 jo. Pasal 132 jo. Pasal 133 KUHAP. Selain itu penyidik juga berwenang untuk membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakannya, menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Pasal 8 KUHAP. Dalam pasal 31 juga disebutkan bahwa penyidik berwenang atas permintaan tersangka atau terdakwa penyidik dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan orang berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan. Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Pasal 110 KUHAP menyebutkan bahwa penyidik juga berwenang melakukan penyidikan tambahan jika penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi sesuai dengan petunjuk dari penuntut Umum. Pasal 110 ayat 2 KUHAP.
[6]Pasal 1 butir 2 KUHAP.
[7]Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 6 ayat (1) KUHAP. Sedangkan Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur Iebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Pasal 6 ayat 2 KUHAP. Adapun wewenang dari penyidik antara lain menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seorang, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 7 KUHAP. Sedangkan kewajiban penyidik adalah membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini dan menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Pasal 8 KUHAP. Dalam KUHAP juga dikenal penyidik pembantu yang mempunyai wewenang sebagaimana disebut dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP, kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Pasal 11 KUHAP. Sedangkan kewajiban dari penyidik pembantu ini adalah Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum. Pasal 12 KUHAP.

[8]Wewenang Penuntut Umum antara lain menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu, mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik, memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik. Pasal 14 jo. Pasal 138 KUHAP. Sementara itu Penuntut Umum juga berwenang untuk membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara ke pengadilan. Pasal 14 jo. Pasal 139 jo. Pasal 140 jo. Pasal 149 KUHAP. Dalam pasal 146 KUHAP disebutkan bahwa Penuntut Umum juga berwenang untuk menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepad terdakwa maupun kepada saksi untuk dating pada siding yang ditentukan. Pasal 146 KUHAP. Dalam pasal 137 disebutkan bahwa Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan. Pasal 137 KUHAP. Kemudian pasal 14 menyebutkan bahwa Penuntut Umum juga berwenang untuk menutup perkara demi kepentingan umum, mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang dan melaksanakan penetapan Hakim.  Pasal 14 KUHAP. Selanjutnya dalam pasal 31 disebutkan bahwa Penuntut Umum juga berwenang atas permintaan tersangka atau terdakea mengadakan penangguhan panahanan dengan atau tanpa uang jaminan uang atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan. Pasal 31 ayat (1) KUHAP.
[9]Dalam Piagam PBB mengenai Deklarasi Hak Azasi Manusia sebagaimana dikutip oleh MaPPI dalam article 13 (1) menyebutkan everyone has the right to freedom of movement and residence within the border of each state. Kemudian dalam article 17  (1) dan (2) menyebutkan, everyone has the right to own property alone as well as in association with others, no one shall be arbitrarily deprived of his property. MaPPI, Pengawasan Horosontal Terhadap Upaya Paksa Dalam Proses Peradilan Pidana, Diakses, 6 Oktober 2007. Pengaturan HAM ini juga terdapat dalam pasal 333 ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan demikian, diancam dengan pidana paling lama 8 tahun. Pasal 333 KUHP.
[10]Pasal 50 KUHAP.
[11]Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Pasal 1 butir 11 KUHAP. Loebby Loqman mengatakan bahwa perbedaan antara praperadilan dengan Rechter Commissaris di negari Belanda dan Habeas Corpus di Amerika Serikat adalah praperadilan hanya mempunyai fungsi examinating judge. Dikatakan demikian, karena praperadilan hanya memriksa sah atau tidaknya suatu penangkapan serta sah tidaknya suatu penahanan. Sedangkan Rechter Commissaris dapat bertindak secara eksekutif yakni mereka berhak untuk memanggil, memeriksa serta melakukan penahanan, di samping sebagai Hakim pengawas dalam pelaksanaan upaya paksa mereka juga mempunyai fungsi baik sebagai investigating judge maupun sebagai examinating judge. Kemudian, Habeas Corpus di Amerika Serikat mempunyai fungsi yang sama dengan Rechter Commissaris. Dikatakan demikian karena di samping mereka mengawasi jalannya upaya paksa mereka juga memberikan nasehat-nasehat dalam pelaksanaan upaya paksa tersebut. Loebby Loqman, Pra-Peradilan di Indonesia, Cet. Ke-1. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984). Hal. 47-53.
[12]MaPPI. Op. Cit.
[13]Ibid.

No comments:

Post a Comment