Saturday, November 27, 2010

EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING MELALUI ARBITRASE ICSID (Studi kasus AMCO Asia v. Republic of Indonesia)

Oleh : Suleman Batubara SH., MH
A.           Pengantar
Secara umum, penyelesaian sengketa melalui pengadilan dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu, pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung.[1] Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama, sedangkan  pengadilan tinggi merupakan pengadilan tingkat kedua dan mahkamah agung sebagai pengadilan tingkat ketiga atau terakhir.[2]
Pada pengadilan tingkat pertama, merupakan awal dari penyelesaian suatu sengketa. Di pengadilan negeri inilah awal mula dimulainya suatu sengketa melalui pengajuan gugatan oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan pengadilan tinggi merupakan babak kedua dari penyelesaian suatu sengketa. Pada pengadilan tinggi inilah para pihak dapat mengajukan upaya hukum banding atas suatu putusan pengadilan negeri. Sedangkan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat terakhir, merupakan tempat para pihak melakukan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali.
Dalam setiap tingkatan ini, proses penyelesaian sengketa dibagi kedalam beberapa tahap, yaitu, pemeriksaan, pembuktian dan pembacaan putusan. Dalam tahap pemeriksaan ini dimulai dari pembacaan gugatan, jawaban dan eksepsi, putusan sela, serta replik dan duplik. Sedangkan pada tahap pembuktian, akan dilakukan pemeriksaan alat-alat bukti, baik bukti surat maupun keterangan saksi-saksi. Setelah melalui tahap pemeriksaan dan pembuktian, maka sidang akan dilanjutkan pada tahap konklusi atau kesimpulan dan akhirnya pembacaan putusan majelis hakim.
Melihat tingkatan dan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam penyelesaian suatu sengketa pada pengadilan, apabila dibandingkan dengan beberapa kelebihan abitrase, sebagaimana disebutkan pada bab terdahulu. Dapat dikatakan bahwa secara teori penyelesaian sengketa melalui arbitase lebih cepat, singkat dan efektif apabila dibandingkan dengan pengadilan.
Apa yang disebutkan di atas, memang tidaklah sepenuhnya benar. Dengan kata lain, berperkara melalui pengadilan kadang kala lebih cepat sehingga lebih efektif apabila dibandingkan dengan arbitrase. Begitu juga sebaliknya, dalam banyak kasus berperkara melalui arbitrase jauh lebih efektif dan efisien. Oleh sebab itu, efektifitas dan efisiensi dari kedua lembaga ini adalah kasuistis. Dengan kata lain, tingkat efektifitas dan efisiensi dari kedua lembaga ini, dalam menyelesaikan suatu sengketa sangat ditentukan oleh banyak faktor.
Apabila ditelaah lebih jauh,  hal yang paling menonjol diantara pengadilan dan arbitrase dalam kaitannya dengan efektifitas penyelesaian sengketa adalah terletak pada sifat putusan yang dikeluarkan kedua lembaga ini. Prinsip final dan mengikat yang dianut oleh putusan arbitrase, merupakan salah satu faktor yang menjadikan berperkara melalui arbitrase jadi cepat dan singkat. Hal ini berbeda dengan sifat dari putusan pengadilan yang terhadapnya masih terbuka upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Terbukanya upaya hukum terhadap suatu putusan pengadilan menjadikan penyelesaian sengketa melalui lembaga ini jadi panjang, sehingga memakan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, perbedaan kekuatan hukum atas putusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini berimplikasi kepada efektif tidaknya penyelesaian sengketa melalui lembaga yang bersangkutan.
Namun proses arbitrase ICSID tidak selalu cepat, sebagai contoh dalam perkara AMCO Asia v. Republic of Indonesia, dimana penyelesaian sengketa oleh ICSID atas kasus tersebut memakan waktu sekitar 7 tahun. Hal ini dikarenakan salah satu pihak boleh meminta pemeriksaan kembali putusan ICSID kepada Ad Hoc Committee, seperti terjadi dalam perkara di atas. Hal ini akan diterangkan dalam analisis AMCO Asia v. Republic of Indonesia dihalaman berikutnya.
Secara teori berperkara melalui arbitrase memang jauh lebih efektif dan efisien apabila dibandingkan dengan pengadilan. Hal ini tidaklah sepenuhnya benar, dalam beberapa kasus membuktikan bahwa berperkara melalui arbitrase justru tidak efektif dan efisien.[3] Kasus-kasus yang membuktikan bahwa berperkara melalui arbitrase tidak efektif dan efisien diantaranya adalah kasus Hotel Kartika Chandra Plaza, Karaha Bodas Company v. Pertamina, Y. Haryanto v. E. D. F. Man Sugar, Bakrie Brothers dan lain-lain.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan berperkara melalui arbitrase menjadi tidak efektif dan efisien antara lain, kurangnya itikad baik dari para pihak, pengetahuan dan pemahaman para pihak terkait yang kurang tentang arbitrase, lemahnya penegakan hukum, regulasi yang kurang komprehensif dan lain sebagainya. Selain, faktor-faktor tersebut di atas, faktor yang sering menjadi polemik dalam berarbitrase ini adalah kurangnya political will dari pemerintah negara khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di dalam negara yang bersangkutan.
 Apabila dicermati lebih jauh, faktor yang lebih sering ditemui dalam tataran praktek adalah mengenai keteguhan para pihak terhadap itikad baik (good faith) dalam penyelesaian sengketa tersebut. Hal ini sangat penting, karena efektif tidaknya arbitrase sangat tergantung dari itikad baik para pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, berperkara melalui arbitrase akan efektif apabila dilandasi dengan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa, bukan mencari kemenangan dan menghindari kekalahan, namun lebih kepada pemenuhan kepentingan bersama (win-win solution).
            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa efektifitas penyelesaian suatu sengketa sangat ditentukan oleh banyak hal, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Oleh karena itu, efektitifitas berperkara melalui arbitrase maupun pengadilan sangat tergantung kepada itikad baik para pihak, keinginan untuk menyelesaikan masalah bukan untuk menang, loyalitas, profesionalisme, responcibility dan akuntabilitas para aparat pengadilan, penegakan hukum dan lain sebagainya.
                        Jadi berperkara melalui arbitrase tidak selamanya lebih efektif dan efisien apabila dibandingkan dengan pengadilan. Hal ini sangat tergantung pada banyak faktor. Oleh sebab itu, efektifitas penyelesaian sengketa melalui arbitrase maupun pengadilan sifatnya kasuistis. Dengan kata lain, kadang kala berperkara melalui arbitrase memang lebih efektif dibanding pengadilan. Namun, dalam kasus lainnya seperti, kasus Kartika Chandra Plaza, Karaha Bodas Company, E. D. F. Man Sugar v. Y. Haryanto dan lain sebagainya arbitrase ternyata tidak efektif dan efisien.


[1]Secara umum waktu yang dibutuhkan dalam berperkara melalui pengadilan mulai dari pengajuan gugatan hingga sampai pada keputusan terakhir dari Mahkamah Agung lebih kurang lima tahun. Dedi Harianto, “Beberapa Faktor Penghambat Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing di Indonesia”. Hal. 1.
[2]Menurut Budhy Budiman, faktor penyebab tidak efektifnya berperkara melalui pengadilan antara lain, beban pengadilan akan kasus sudah overloaded, lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive), unresponsive, formalistic dan technically. “Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek Perdata  dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999”, http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm, Diakses, 4 April 2008.
[3]Dalam sengketa antara PT. Amco Indonesia dan Amco Asia Corporation serta Investment Corporation telah memakan waktu lebih dari 11 tahun. Sudargo Gautama, Perkara Pertamina Lawan Kartika Thahir cs. Dan Jurisprudensi Indonesia Mengenai Hukum Perdata Internasional. Cet. Ke-1, (Bandung: Alumni, 1993). Hal. 368.

No comments:

Post a Comment