Saturday, November 27, 2010

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


Oleh: Suleman Batubara, SH., MH

Sebelum menjelaskan tentang pengertian arbitrase, ada baiknya dijelaskan pengertian tentang arbiter terlebih dahulu. Arbiter dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan Kekuasaan dan Jalannya Pengadilan Mahkamah Agung di Indonesia pasal 15, arbiter diistilahkan dengan wasit.[1] Arbiter dalam Arbitration Act 1950 negara Inggris, selain menggunakan istilah arbitrator juga dipakai istilah umpire yang pengertiannya sama dengan scheidsman dalam bahasa Belanda. Istilah dalam pengertian ini lebih ditujukan kepada majelis arbitrase atau arbiter tunggal.[2]
            Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, arbiter di definisikan sebagai berikut ;

Seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase.[3]



Dalam Black Law Dictionary  arbiter diartikan sebagai berikut ;

A person chosen decide a controversy; an arbitrator, referee. Aperson bound to decide according to the rules of law and equality, as distinguished from and arbitrator, so that it be according to the judgment of a sound man. See arbitrator.


            Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa arbiter atau wasit atau umpire adalah seorang pihak ketiga yang netral yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa berdasarkan kesepakatannya atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri maupun suatu lembaga arbitrase yang bertugas untuk membantu mereka dalam penyelesaian sengketanya. Pada prinsipnya tugas dari pada seorang arbiter adalah memeriksa, mengadili dan memutus sengketa yang diserahkan kepadanya baik secara konsiliasi atau perdamaian maupun melalui suatu keputusannya.

A.           Pengertian arbitrase
Dalam bab pertama secara singkat telah dibicarakan tentang pengertian arbitrase ini, namun dalam pragraf ini akan dicoba untuk membahas lebih khusus dan spesifik. Seperti telah dijelaskan pada pragrap pertama, bahwa arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian sengketa (disputes) perdata (pivate) diluar pengadilan (non-litigation) dengan dibantu oleh seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter) yang bersifat netral yang diberi kewenangan untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa yang sedang mereka hadapi.[4] Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan pada perjanjian atau klausula arbitrase (arbitration clause), yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum maupun setalah timbulnya sengketa.
Arbitrase apabila dilihat dari suku katanya berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare, yang mempunyai arti kebijaksanaan. Oleh karena itu R. Subekti dalam bukunya yang berjudul Arbitrase Perdagangan mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa yang proses dibantu oleh seorang pihak ketiga dengan menggunakan kebijaksanaannya.[5] Sedangkan dalam  islam arbitrase sering disebut dengan istilah al-tahkim yang merupakan bagian dari al-qadla (pengadilan).[6]
Pengertian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan arbitrase itu sendiri dapat menimbulkan kesalahpahaman pengertian tentang arbitrase itu sendiri. Hal ini dikarenakan pengertian yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa tidak akan mengindahkan norma-norma hukum lagi dan hanya menyandarkan pada kebijaksanaannya saja. Pengertian ini adalah keliru sebab seorang arbiter atau majelis arbitrase dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu sengketa terikat dengan norma-norma hukum perundang-undangan yang ada, dengan kata lain arbiter dalam memutus suatu sengketa tidak hanya didasarkan pada kebebasan arbiter semata. Oleh sebab itu kemudian R. Subekti memberikan pengertian tentang arbitrase sebagai berikut ;

Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.[7]



Sedangkan menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury memberikan definisi tentang arbitrase adalah sebagai berikut ;

Suatu proses yang mudah dan simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan mereka didasarkan pada dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.[8]



Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase adalah ;
1.            Merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigation).
2.            Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dibuat secara tertulis baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa.
3.            Dalam proses penyelesaiannya, para pihak dibantu oleh seorang pihak ketiga yang netral yang disebut dengan istilah arbiter.
4.            Arbiter atau wasit dapat dipilh langsung oleh para pihak dapat juga ditunjuk oleh pengadilan negeri atau suatu lembaga arbitrase.
5.            Keputusan yang diberikan oleh arbiter atau wasitnya bersifat final dan binding.

B.           Jenis-Jenis Arbitrase
Mengacu pada Konvensi-Konvensi Internasional seperti ; Convention of the Settlement of Invesment Disputes Between State and National Other States atau Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Award maupun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dala UNCITRAL Arbitration Rules, maka jenis-jenis arbitrase dapat diklasifikasikan sebagai berikut ;
1.            Arbitrase ad hoc (volunter)
Arbitrase ad hoc adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada saat selesainya sengketa tersebut. Pembentukan arbitrase ad hoc ini didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.
            Dalam arbitrase ad hoc ini formalitas-formalitas dan prosedur pelaksanaan arbitrase, diserahkan atau ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Formalitas dan prosedur yang diberikan untuk ditentukan oleh para pihak sebelum dilaksanakannya proses arbitrase tersebut seperti ; penentuan tempat dimana arbitrase dilangsungkan, jumlah arbiter, peraturan beracaranya, cara pemilihan arbiter dan bagaimana pelaksanaan dari putusan arbitrase itu sendiri nantinya. Gunawan Wijaya memberikan definisi tentang arbitrase ad hoc ini adalah sebagai berikut ;

Suatu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan sengketa tertentu, arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu yaitu sampai sengketa tersebut diputuskan.[9]

Sumargono memberikan definisi tentang arbitrase adalah sebagai berikut;

Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain arbitrase ad hoc bersifat insidentil.[10]

Dari kedua pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa arbitrase ad hoc ini adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa. Dalam jenis arbitrase ini para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana cara pemilihan arbiter dilakukan, kerangka kerja, prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase.[11] Oleh karena itu Suyud Sumargono mengatakan bahwa ciri pokok dari arbitrase ad hoc ini adalah penunjukan arbiternya secara perorangan.

2.            Arbitrase Institusional (institusional arbitration)
Dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958 arbitrase institusional ini disebut dengan istilah permanent arbitral body.[12] Hal ini dikarenakan bentuk dan sifat dari arbitrase ini sendiri, yaitu suatu arbitrase yang dibentuk oleh suatu organisasi tertentu dan bersifat tetap atau permanent. Menurut Gunawan Wiajaya arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini sengaja didirikan oleh suatu organisasi tertentu dan bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul dari suatu perjanjian.[13]
Sifatnya yang permanent dan menetap dari badan arbitrase institusional ini merupakan suatu ciri pembeda yang utama dari arbitrase ad hoc. Badan arbitrase institusional selain bersifat permanent atau tetap pendiriannya juga tidak didasarkan pada ada tidaknya sengketa, dengan perkataan lain bahwa badan arbitrase institusional ini sudah berdiri sebelum timbulnya sengketa. Hal ini adalah merupakan suatu pembeda antara badan arbitrase institusional dan arbitrase yang bersifat ad hoc, karena arbitrase yang bersifat ad hoc ini biasanya didirikan setelah timbulnya sengketa.
Dari sifatnya yang sementara serta ketidaktetapan dari arbitrase yang bersifat ad hoc ini, maka dalam tataran prakteknya sering  mengalami hambatan seperti; kesulitan dalam melakukan negosiasi, menetapkan aturan-aturan prosedural dan penetapan cara pemilihan arbiter yang disetujui oleh kedua belah pihak. Kelemahan-kelemahan tersebut di atas secara tidak mutlak merupakan kelebihan dari badan arbitrase institusional.
Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut di atas, maka para pihak yang bersengketa sering memilih badan arbitrase yang bersifat institusional dalam rangka penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Dengan kata lain pada tataran praktek arbitrase yang bersifat institusional ini lebih diminati karena dirasakan mempunyai keunggulan dibanding arbitrase yang bersifat ad hoc.
Badan arbitrase institusional ini apabila dilihat dari sudut ruang lingkupnya, maka dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu;

A.           Arbitrase Institusional Nasional (national arbitration)
Menurut Ridwan Widiastoro, arbitrase nasional yaitu penyelesaian suatu sengketa melalui badan arbitrase yang dilakukan di dalam satu atau negara dimana unsur-unsur yang terdapat didalamnya memiliki nasionalitas yang sama.[14] Pengertian nasionalitas yang sama menurut beliau dalam hal ini adalah seperti; adanya persamaan kewarganegaraan diantara para pihak, domisili yang sama, sistem dan budaya hukum yang sama. Sedangkan menurut Gunawan Wijaya arbitrase nasional adalah arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan.[15] Dari uraian di atas tentang arbitrase nasional, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu arbitrase dapat dikatakan bersifat nasional apabila ;
1.      Unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrasenya hanya bersifat nasional.
2.      Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat dari kawasan atau teritorialnya.
Beberapa contoh arbitrase institusional nasional antara lain ;
a.       Badan Arbitrase Nasional Indonesia, merupakan badan arbitrase nasional negara Indonesia yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).
b.      The Netherlands Arbitration Institute, yaitu pusat arbitrase nasional negara Belanda.
c.       The Japanese Commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional Jepang dalam lingkungan KADIN Jepang.

B.           Arbitrase Institusional Internasional (international arbitration)
Arbitrase Internasional ini menurut Riwan Widiastoro adalah kebalikan dari arbitrase nasional yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang dapat dilakukan di luar maupun di dalam suatu negara salah satu pihak yang bersengketa dimana unsur-unsur yang terdapat didalamnya memiliki nasionalitas yang berbeda satu sama lain (foreign element).[16] Menurut Sudargo Gautama yang dimaksud dengan unsur asing (foreign element) dalam suatu perjanjian arbitrase adalah sebagai berikut ;

Pertama, para pihak yang membuat klausula atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempata usaha (place of business) mereka di negara-negara yang berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di luar negara tempat para pihak mempunyai usaha mereka. Ketiga, jika suatu tempat dimana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat dimana obyek sengketa paling erat hubungannya (most closely connected) letaknya diluar negara tempat usah para pihak. Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa obyek perjanjian arbitrase mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.[17]



Dari uraian tersebut terlihat jelas perbedaan antara arbitrase nasional dengan arbitrase internasional. Perbedaan kedua jenis arbitrase ini terletak pada unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrase itu sendiri. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa suatu arbitrase dikatakan bersifat nasional apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrase tersebut hanya mengandung unsur-unsur yang bersifat nasional, sedangkan arbitrase internasional adalah suatu arbitrase yang di dalam perjanjian arbitrasenya terdapat unsur-unsur asing.
Adapun contoh-contoh daro lembaga arbitrase ini antara lain ;
1.            Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC). Merupakan pusat arbitrase internasional yang didirikan di Paris pada tahun 1919.
2.            The International Center For Settlement of Investment Disputes (ICSID). Arbitrase ini adalah badan arbitrase yang bersifat internasional yang mengatur tentang sengketa investasi yang berskala internasional.
3.            United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL).

C.           Arbitrase Institusional Regional (regional arbitration).
Arbitrase institusional regional adalah suatu lembaga arbitrase yang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya berwawasan regional seperti ; Regional Center for Arbitration yang didirikan oleh Asia-Afrika Legal  Consultative Committee (AAALC).


B. Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase
Seperti telah dijelaskan pada bab pertama, bahwa adanya arbitrase selain didasarkan pada ada tidaknya kesepakatan (perjanjian) diantara para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui lembaga arbitrase juga didasarkan pada sah tidaknya klausula arbitrase itu sendiri. [18] Dalam pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu;[19]
1.      Adanya kesepakatan diantara para pihak.
2.      Para pihak harus cakap melakukan perbuatan hukum.
3.      Kesepakatan tersebut mengenai hal tertentu.
4.      Obyek dari kesepakatan tersebut harus mengenai sebab yang halal
Syarat sahnya perjanjian tersebut oleh R. Subekti dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu syarat yang bersifat subyektif dan syarat yang bersifat obyektif.[20]
Syarat obyektif mengenai hal tertentu di atas, apabila ditinjau dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 5 menyebutkan bahwa ;[21]

(1)   Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2)   Sengkata yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Pengertian perdagangan yang dimaksud dalam pasal tersebut di atas, dapat dilihat dari penjelasan pasal 66 huruf b menyebutkan bahwa sengketa-sengketa yang dapat diarbitrasekan (obyek) arbitrase adalah sengketa dalam ruang lingkup hukum dagang yaitu sebagai berikut;[22]

Yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain dibidang :
-          perniagaan;
-          perbankan;
-          keuangan;
-          penanaman modal;
-          industri;
-          hak kekayaan intelektual.

Dari penjelasan pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa obyek sengketa arbitrase hanyalah sengketa dalam ruang lingkup hukum perdagangan yaitu; di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal dan industri. Ketentuan ini secara logis analogis dapat dikatakan bahwa suatu klausula arbitrase yang obyek sengketa (hal tertentu) di luar ruang lingkup atau di luar bidang-bidang tersebut di atas adalah batal demi hukum.
Pada pragraf terdahulu syarat sahnya perjanjian ini oleh R. Subekti dikelompokan kedalam dua kelompok yaitu syarat subyektif dan obyektif. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan apabila salah satu dari kedua kelompok syarat sahnya perjanjian tersebut tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian. Menurut beliau suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila suatu perjanjian tidak terpenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.[23]
Pengertian antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum adalah berbeda satu sama lain. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan mempunyai pengertian bahwa terhadap perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan oleh salah satu pihak yang merasa haknya dirugikan dengan keadaan tersebut, dengan kata lain perjanjian tersebut adalah sah apabila tidak dipermasalahkan oleh pihak yang dirugikan. Suatu perjanjian batal demi hukum mempunyai pengertian bahwa, perjanjian tersebut sejak semula adalah tidak sah meskipun tidak ada upaya pembatalan dari salah satu pihak. Oleh karena itu perjanjian yang batal demi hukum ini sejak semula adalah tidak ada. Jadi secara analogi hak-hak dan kewajiban yang melekat di dalam perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum atau hapus secara otomatis.[24]
Syarat perjanjian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan klausula arbitrase maka klausula arbitrase tersebut harus merupakan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam bentuk tertulis, harus dibuat oleh para pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum, obyek kesepakatan tersebut harus jelas serta harus mengenai sebab yang halal. Jadi suatu klausula arbitrase harus memenuhi keempat syarat tersebut di atas agar klausula arbitrase tersebut sah secara hukum dan dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Klausula arbitrase yang dibuat para pihak yang disebut di atas merupakan dasar hukum bagi semua pihak untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari. [25]
Klausula arbitrase apabila ditinjau dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 7 yang berbunyi “para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi diantara mereka diselesaikan melalui arbitrase”. Kata menyetujui dalam pasal tersebut membuktikan bahwa suatu sengketa hanya dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase apabila telah sama-sama disetujui para pihak, dengan kata lain tanpa adanya persetujuan dari para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase maka sengketa tersebut tidaklah dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Hal ini sejalan dengan syarat sahnya perjanjian yang disebutkan di atas.
Kata persetujuan dalam pasal tersebut di atas apabila dikaitkan dengan pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 maka persetujuan tersebut harus dalam bentuk tertulis. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dituliskan bunyi dari pasal tersebut yaitu;[26]

(1)         Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebu harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak.
(2)         Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam akta notaris.
(3)         Perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dala ayat (1) harus memuat;
a.       Masalah yang dipersengketakan;
b.      Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c.       Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d.      Tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan;
e.       Nama lengkap sekretaris;
f.        Jangka waktu penyelesaian sengketa;
g.       Pernyataan kesediaan arbiter;
h.       Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
(4)         Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat batal demi hukum.



Apa yang disebutkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut di atas sebelumnya juga telah mendapat pengaturan dalam pasal 615 Reglement Verorodering (Rv) yang menyebutkan bahwa pihak-pihak dapat mengikatkan dirinya satu sama lain untuk menyelesaikan persengketaannya yang mungkin timbul kepada seorang atau beberapa orang arbiter.[27] Jadi jauh sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini ada penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase telah dikenal di Indonesia.
Klausula arbitrase apabila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perikatan yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[28] Prinsip ini menurut Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya merupakan asas kebebasan berkontrak (pacta sunservanda).[29] Ketentuan ini apabila dikaitan dengan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian maka suatu klausula yang telah dibuat secara sah (memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian) maka klausula arbitrase tersebut merupakan suatu undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

 Klausula arbitrase ini dalam prakteknya dikenal dua macam yaitu pactum de compromittendo dan akta kompromis. Dari segi yuridis kedua klausula arbitrase ini adalah sama, unsur pembeda diantara kedua klausula arbitrase ini adalah waktu (timing) pembuatan dari pada klausula arbitrase itu sendiri. Klausula arbitrase dalam bentuk pactum de compromittendo ini dibuat sebelum timbulnya sengketa, sedangkan akta kompromis dibuat setelah timbulnya sengketa. Jadi perbedaan diantara kedua klausula arbitrase ini hanyalah terletak pada saat pembuatannya.
Hal lain yang juga menjadi pembeda dari pactum de compromittendo dengan akta kompromis adalah pencantuman (penulisan) dari kedua klausula arbitrase itu sendiri. Pactum de compromittendo biasanya dibuat bersamaan (menyatu) dengan perjanjian pokok, sedangkan akta kompromis dibuat secara tersendiri (terpisah) dari perjanjian pokoknya.
Adanya perbedaan letak pencatuman dari klausula arbitrase ini dalam praktek sering menjadi kendala, artinya akta kompromis yang dibuat terpisah dengan perjanjian pokok menimbulkan ketidakpastian walau secara hukum kebsahan dari klausula arbitrase tersebut adalah sah. Hal inilah yang menjadikan dewasa ini untuk memilih pactum de compromittendo sebagai bentuk kesepakatan (perjanjian) diantara mereka untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase. Dengan kata lain pactum de compromittendo yang dibuat menyatu dengan perjanjian pokok dirasakan lebih menjamin kepastian hukum atas keberadaan klausula arbitrase.

A. Pactum de Compromittendo
Seperti telah diuraikan pada alinea-alinea terdahulu, bahwa pactum de compromittendo adalah suatu klausula arbitrase yang dibuat sebelum timbulnya sengketa.[30] Jadi sejak awal klausula arbitrase ini telah dibuat oleh para pihak sebagai bentuk kesepakatan mereka untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui lembaga arbitrase dan bukan melalui lembaga pengadilan.
Pactum de compromittendo ini dibuat secara bersamaan dengan perjanjian pokok. Cara pembuatan pactum de compromittendo ini dapat dibuat dengan dua cara yaitu; dibuat menyatu atau terpisah (tersendiri) dengan perjanjian pokok.
Alasan terpenting memilih klausula arbitrase dalam bentuk pactum de compromittendo ini adalah untuk menjamin kepastian hukum tentang keberadaan klausula arbitrase itu sendiri. Dengan kata lain klausula arbitrase dalam bentuk ini dirasakan dapat menghindari perbedaan penafsiran tentang kedudukan klausula arbitrase tersebut.

B. Akta Kompromis
Secara umum di atas telah dibahas tentang akta kompromis ini, namun untuk lebih detail di sini dicoba untuk menguraikan tentang akta kompromis ini secara lebih spesifik. Akta kompromis adalah klausula arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa setelah timbulnya sengketa.[31] Jadi apabila pactum de compromittendo dibuat sebelum timbulnya sengkta, akta kompromis sebaliknya yaitu dibuat setelah adanya sengketa.
Letak perbedaan yang esensil diantara kedua klausula tersebut di atas adalah terletak pada saat pembuatannya. Pactum de compromittendo dibuat pada saat belum ada sengketa sedangkan akta kompromis setelah ada sengketa. Jadi dari uraian tersebut di atas, baik pactum de compromittendo maupun akta kompromis adalah sama klausula arbitrase (perjanjian), dengan kata lain kedua klausula arbitrase tersebut adalah sama dasar hukum dan falsafah bagi semua pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase.[32]

C.           Macam-Macam Klausula Abitrase
1. Klausula arbitrase umum (general)
         Klausula arbitrase apabila dilihat dari sudut isinya, dapat diklasifikasikan ke dalam dua klasifikasi yaitu; klausula arbitrase yang bersifat umum (general) dan khusus. Suatu klausula arbitrase dikatakan bersifat umum apabila di dalam klausula arbitrase tersebut secara jelas dan nyata dikatakan bahwa semua (all) sengketa yang timbul dalam pelaksanaan suatu perjanjian akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Jadi adanya kata semua (all) dalam klausula arbitrase memberikan pengertian bahwa klausula arbitrase tersebut bersifat umum (general).
         Jadi klausula arbitrase dikatakan bersifat umum apabila obyek sengketa yang akan diarbitrasekan adalah bersifat umum atau keseluruhan, tentunya sengketa-sengketa yang dapat diarbitrasekan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dituliskan contoh dari pada klausula arbitrase yang bersifat umum.

A. Klausula Arbitrase Korea
“all disputes, controversies, or differences which may arise between the parties, out of or in relation to or in connection with this contract, or for the brech thereof, shall be finally settled by arbitration in Seoul, Korea the Korean Commercial Arbitration and under the laws of Korea. The award rendered by the arbitrator(s) shall be final and binding upon both parties concerned”




B. Klausula Arbitrase BANI
“semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”

            Dari kedua contoh klausula arbitrase tersebut di atas, dapat terlihat jelas kata-kata all dan semua. Seperti yang telah disebutkan terdahulu bahwa adanya kata-kata tersebut dengan sendirinya memberikan pengertian bahwa obyek sengketa arbitrase adalah semua (all) sengketa (disputes/controverce) yang tentunya termasuk dalam ruang lingkup arbitrase. Jadi klausula arbitrase yang bersifat umum atau general ini adalah suatu klausula arbitrase yang di dalamnya dicantumkan secara jelas dan nyata bahwa yang menjadi obyek sengketa arbitrase adalah semua jenis sengketa yang dapat diarbitrasekan.

2. Klausula arbitrase yang bersifat khusus
            Klausula arbitrase yang bersifat khusus ini adalah klausula arbitrase yang didalamnya ditentukan secara spesifik atau jelas tentang apa-apa yang menjadi obyek sengketa arbitrase, dengan kata lain tidak semua sengketa yang akan timbulnya nantinya dari suatu perjanjian akan dilaksanakan melalui lembaga arbitrase. Ciri dari klausula arbitrase yang bersifat khusus ini adalah terdapatnya kata sebagian (any) dalam klausula arbitrase itu sendiri, seperti contoh berikut ini;

B.     Klausula arbitrase UNCITRAL
“any disputes, controversy or claim arising out of or relation to this contract, or the breach, termination in validity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as set present in force. The appointing authority shall be the ICC acting in accordance with the rules adopted by the ICC for this purpose”

Dari klausula arbitrase UNCITRAL tersebut di atas, terlihat jelas bahwa dalam klausula arbitrase tersebut tercantum kata any yang memiliki arti bahwa aobyek sengketa yang dapat diarbitrasekan terkait dengan suatu perjanjian hanyalah sengketa-sengketa yang telah ditentukan sebelumnya oleh para pihak. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa klausula arbitrase yang bersifat khusus adalah suatu klausula arbitrase yang obyek sengketanya terbatas, yaitu sesuai dengan kesepakatan para pihak.

2.3. Prinsip Umum Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase
Seperti telah dikatakan di atas, bahwa diminatinya lembaga arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa di bidang perdagangan (privat), hal ini tidak terlepas dari adanya beberapa keunggulanan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase seperti; prinsip cepat dan hemat biaya, kebebasan menentukan prosedur beracaranya, pengambilan keputusan didasarkan pada keadilan, kejujuran dan kepatutan. Hal lain yang juga menjadikan arbitrase berkembang adalah sifat putusannya yang final dan mengikat serta proses pemeriksaannya yang tertutup untuk umum (disclousure).

A.           Prinsip cepat dan hemat biaya
Pada umumnya seluruh pemeriksaan perkara (sengketa) baik melalui jalur litigasi maupun non-litigasi mempunyai prinsip cepat, singkat dan hemat. Prinsip ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 sebagaimana terdapat dalam pasal 4 ayat (2) yang juga menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman pada asas; cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan serta tidak bertele-tele dan berbelit-belit.[33]
            Prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan prinsip pemeriksaan yang dianut oleh lembaga arbitrase adalah sejalan. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menyebutkan; “(1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk”.[34]
            Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya proses peradilan cepat dan hemat dalam arbitrase ini antara lain;
1.      Karena diberikannya kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri proses beracaranya, yang tentunya mereka akan memilih prosedur yang singkat dan cepat sehingga jelas akan mendukung kearah penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien serta hemat biaya.
2.      Pada umumnya pihak-pihak dalam arbitrase adalah subyek hukum yang memiliki itikad baik (good faith) untuk sama-sama menyelesaikan sengketa. Sehingga penyelesaian sengketanya menjadi lebih cepat karena adanya dukungan dari semua pihak.
3.      Berperkara melalui lembaga arbitrase berarti berperkara di luar pengadilan. Keadaan ini secara langsung akan membawa kearah penyelesaian sengketa yang cepat, singkat dan tepat hal ini dikarenakan terpotongnya jalur birokrasi yang begitu panjang dan bertele-tele sebagaimana biasanya terjadi pada lembaga pengadilan.
4.      Keistimewaan yang dimiliki oleh putusan arbitrase itu sendiri yaitu final dan binding. Keistimewaan putusan arbitrase ini meniadakan upaya hukum dalam arbitrase itu sendiri dengan kata lain terhadap putusan arbitrase tersebut tertutup upaya hokum baik banding maupun kasasi.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip pemeriksaan yang cepat dan hemat biaya adalah prinsip dasar yang harus dimiliki oleh lembaga arbitrase agar penyelesaian sengketa melalui lembaga ini efektif dan efisien. Keadaan ini diharapkan dapat memberikan nilai lebih bagi para pihak.

B.           Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan keadilan dan kepatutan
Di atas, telah dikatakan bahwa prinsip pengambilan keputusan dalam arbitrase adalah didasarkan pada kepatutan dan keadilan.[35] Hal inilah yang juga membedakan arbitrase dengan lembaga pengadilan yang dalam memeriksa, mengadili dan memberikan putusannya lebih didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku (what is the law). Keadaan yang demikian ini membawa kosekuensi pada diri pribadi para pihak, artinya pemberian putusan yang didasarkan pada hukum semata akan menghasilkan pihak yang kalah dan menang (win-lose). Sedangkan pemutusan sengketa yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kepatutan serta dengan melihat pada kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa akan menghasilkan putusan yang bersifat win-win solution.
Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan kepatutan dan keadilan ini dipertegas kembali dalam  Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 56 yaitu;[36]

(1)   Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasar keadilan dan kepatutan.
(2)   Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.

Dengan melihat bunyi dari pasal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan dalam arbitrase berdasarkan kepatutan dan keadilan ini adalah merupakan suatu keharusan yang mesti diperhatikan oleh para arbiter maupun para pihak dalam proses penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Prinsip yang dianut oleh arbitrase ini selain memberikan nilai tambah bagi lembaga arbitrase ini sendiri juga memberikan keuntungan yang sangat esensil bagi para pihak, dimana putusan yang bersifat win-win solution merupakan putusan yang sama-sama diinginkan para pihak oleh karena ini secara logis akan berdampak pada kelanggengan hubungan mereka.

C.           Prinsip sidang tertutup untuk umum (disclousure)
Dikalangan pebisnis nama baik adalah merupakan sebuah indikator yang dapat menghantarkan mereka kedalam dua kemungkinan yaitu; sukses atau hancur (gulung tikar). Mereka akan sukses bilamana di mata masyarakat mereka mempunyai image baik, begitu juga sebaliknya mereka akan bangkrut bilamana mereka mempunyai image yang buruy di mata mesyarakat.
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya keadaan tersebut di atas, maka salah satu kiat yang dilakukan para pebisnis ini adalah menyelesaikan sengketanya dengan para koleganya melalui jalur non litigasi seperti; negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dipilhnya cara-caranya tersebut di atas, selain bertujuan untuk menjaga nama baik para pihak juga diharapkan sengketa tersebut dapat selesai dengan segera serta mendapatkan putusan adil dan fair.
Prinsip pemeriksaan tertutup untuk umum ini diatur dalam pasal 27 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi “semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup”.[37] Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa para arbiter atau arbiter maupun para pihak dalam memeriksa sengketa harus senantiasa dapat menjaga segala informasi yang merupakan rahasia bagi para pihak. Oleh karena itu kepada pihak yang dengan sengaja mengimformasikan (mempublikasikan) suatu berita yang bersifat rahasia sudah semestinya diberikan hukuman yang setimpal.
Ketentuan sebagaimana terdapat dalam pasal 27 ini apabila ditinjau lebih jauh selain merupakan suatu keharusan (imperative) juga akan memberikan keuntungan bagi semua pihak dalam arbitrase itu sendiri. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa salah satu alasan memilih lembaga arbitrase adalah proses pemeriksaannya yang bersipat disclousure ini. Oleh karena itu ketentuan ini merupakan wujud dari keinginan para pihak.

2.4. Kelemahan dan keunggulan lembaga arbitrase
A. Kelebihan dan keuntungan lembaga arbitrase
Tumbuh kembangnya lembaga arbitrase dewasa ini tidak terlepas dari kelebihan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase itu sendiri bila dibandingkan dengan lembaga pengadilan. Adapun kelebihan-kelebihan tersebut seperti; adanya kewenangan yang diberikan kepada arbiter untuk memutus sengketa berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), artinya arbiter dalam memeriksa dan memutus sengketa tidak hanya berpatokan pada aspek hukum semata melainkan juga harus memperhatikan kehendak dan keinginan dari masing-masing pihak.[38] Konsekuensi dari prinsip putusan yang didasarkan pada keadilan dan kepatutan adalah terakomodirnya kepentingan para pihak dalam putusan yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pengambilan keputusan dalam arbitrase selain didasarkan pada keadilan dan kepatutan juga harus didasarkan pada situasi dan kondisi pihak-pihak yang bersengketa (kompromistis). Prinsip ini akan berakibat langsung pada putusan yang win-win solution .[39] Hal lain yang merupakan suatu kelebihan berperkara melalui lembaga arbitrase ini adalah diberikannya kebebasan bagi para pihak untuk menentukan sendiri ketentuan hukum acara mereka, ketentuan ini ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan;[40]

(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

            Dari bunyi pasal tersebut di atas, jelas terlihat bahwa prosedur beracara dalam arbitrase bebas untuk ditentukan oleh para pihak dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang arbitrase ini sendiri. Kebebasan yang diberikan kepada para pihak ini untuk menentukan sendiri hukum acaranya memberikan keuntungan kepada mereka karena mereka dapat memilih hukum acara yang singkat dan sederhana sehingga lebih efisien. Keadaan ini berbeda bila berperkara melalui lembaga pengadilan yang kesemuanya telah ditentukan sendiri dalam undang-undang yang pada kenyataannya sangat birokratis dan menjadikan penyelesaian sengketa tersebut berbelit-belit dan bertele-tele sehingga tidak efektif.[41] Keuntungan lain dari prinsip kebebasan ini adalah didapatkannya putusan yang adil dan fair (obyektif) karena putusan tersebut diberikan oleh arbiter yang sama-sama dipilih (dipercaya) para pihak. Keadaan ini tidak didapatkan bilamana berperkara di pengadilan yang hakim-hakimnya telah ditentukan sendiri oleh kepala instansi yang bersangkutan, sehingga ada kemungkinan terjadinya sifat berat sebelah mengingat hal ini sering terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia.[42]
            Alasan lain yang menjadikan berperkara melalui lembaga arbitrase lebih menguntungkan para pihak adalah sifat putusannya yang final dan mengikat.[43] Pengertian final adalah putusan arbitrase tersebut merupakan putusan akhir, dengan kata lain terhadapnya tertutup upaya hukum. Mengikat artinya para pihak dalam putusan arbitrase tersebut harus tunduk serta wajib melaksanakan putusan tersebut dengan suka rela. Keadaan ini amat membantu para pihak yang bersengketa khususnya dalam hal eksekusi.
            Erman Rajagukuguk mengatakan bahwa kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase antara lain; [44]
1.       Karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.
2.       Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim dari negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit.
3.       Pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung.
4.       Adanya anggapan bahwa pengadilan di Indonesia akan bersikaf subyektif kepada mereka karena hakim yang memeriksa dan memutus sengketa bukan dari negara mereka.
5.       Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka.
6.      Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.[45]
Adi Sulistiyono, dalam sebuah makalahnya juga menyebutkan bahwa kelebihan-kelebihan dari lembaga arbitrase antara lain;[46]
1.      Mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2.Meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa.
3.Memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.
4.Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak, sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi.
5.Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.
6.Bersifat tertutup rahasia (confidential).
7.Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa depan masih terjalin dengan baik.
8.Mengurangi merebaknya ”permainan kotor” dalam pengadilan.


B.Beberapa Kelemahan Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase
Dalam uraian pada alinea terdahulu terlihat jelas bahwa berperkara melalui lembaga arbitrase mempunyai banyak kelebihan yang dengan sendirinya membawa para pihak pada posisi yang menguntungkan. Fenomena ini tidaklah selamanya benar, sebab dalam beberapa kasus yang pernah terjadi membuktikan bahwa berperkara melalui lembaga arbitrase justru rumit dan berbelit-belit sehingga menghabiskan waktu yang panjang juga biaya yang relatif mahal.
Berkaca pada kasus yang pernah terjadi, dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan tidak efektifnya penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase ini antara lain;
1.      Salah satu penyebab utama terjadinya sengketa dalam suatu transaksi bisnis (business transaction) adalah adanya perbedaan kepentingan (interest) diantara para pihak, fenomena ini sering membawa proses negosiasi mengalami dead lock. Keadaan ini apabila dihubungkan dengan prinsip dasar dari arbitrase yaitu kesepakatan adalah sejalan, dengan kata lain dalam arbitrase untuk mempertemukan keinginan para pihak dalam bentuk kesepakatan juga merupakan persoalan tersendiri dalam arbitrase. Oleh karena itu beberapa sarjana mengatakan bahwa efektif tidaknya berperkara melalui arbitrase sangat tergantung pada besar tidaknya kemauan para pihak untuk duduk bersama menyelesaikan sengketa mereka. Jadi salah satu kendala dalam arbitrase ini adalah susahnya mempertemukan kehendak para pihak.
2.      Prinsip pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam arbitrase yang berorientasi pada kepentingan para pihak secara tidak langsung mengurangi otoritas arbiter atau majelis arbitrase dalam memutuskan sengketanya, dengan kata lain dengan diberikannya kebebasan yang begitu besar bagi para pihak dengan sendirinya mengurangi kewenangan arbiter atau majelis arbitrase. Hal ini dapat membawa kearah penyelesaian sengketa yang bertele-tele sehingga menjadikan proses arbitrase tidak efisien.
3.      Dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, maka negara Indonesia secara yuridis terikat atas konvensi tersebut. Oleh karena itu sudah semestinya suatu putusan arbitrase asing yang dimintakan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia seharusnya dapat diakui serta dilaksanakan di Indonesia yang tentunya setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan secara limitatif. Fenomena tersebut kadang tidak sejalan dengan realitas yang ada, hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang permohonan pengakuan dan pelaksanaannya telah dibatalkan atau ditolak baik oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun oleh Mahakamah Agung Republik Indonesia. Keadaan ini merupakan persoalan yang penting dalam arbitrase, dengan perkataan lain suatu arbitrase dapat efektif apabila ada kemauan yang baik dari aparat penegak hukum (pemerintah) untuk menegakkan hukum (law enforcement).[47]
4.      Keterkaiatan lembaga peradilan dalam proses arbitrase menjadikan penyelesaiannya panjang dan lama. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri sebab sekalipun kebebasan untuk menentukan sendiri prosedur beracara dalam arbitrase merupakan mutlak kewenangan para pihak namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini dapat dilihat dari keharusan arbiter atau majelis arbitrase maupun kuasanya untuk mendaftarkan putusannya pada pengadilan yang berwenang untuk itu, ini dilakukan untuk mendapatkan penetapan apakah putusan arbitrase tersebut dapat atau tidak dilaksanakan di Indonesia. Keadaan ini jelas merugikan para pihak apalagi dalam beberapa kasus yang ada pada kenyataannya sering terombang-ambing dikarenakan tidak diberikannya kepastian atas permohonan putusan arbitrase tersebut.
Tidak adanya otoritas yang diberikan kepada lembaga arbitrase untuk mengeksekusi putusannya sendiri juga merupakan polemik dalam dunia arbitrase, sebab sekalipun proses penyelesaian sengketanya berjalan lancar kalau pelaksanaan putusannya sendiri tidak dapat dieksekusi adalah sia-sia. 


[1]Indonesia, Undang-Undang Tentang Susunan Kekuasaan dan Jalannya Pengadilan Mahkamah Agung di Indonesia, UU No. 1 Tahun 1950. ps. 15.
[2]Pengertian arbiter dalam buku subekti dan tineke latondong
[3]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 1 bt. 7.
[4]R. Subekti. Op. Cit.
[5]Ibid.
[6]Said Aqil Husein Al Munawar, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Bekerjasama Dengan Bank Muamalat, 1994), hal. 14.
[7]Ibid.
[8]Salim H. S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,. Cet. Ke-3. (Jakarta : Grafika, 2003), hal. 142.
[9]Gunawan Wijaya, Op. Cit. hal. 52-53.
[10]Suyud Sumargono, Op. Cit. hal. 123.
[11]Gary Good Paster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim. Op. Cit. hal. 27.
[12]Ibid.
[13]Gunawan Wijaya, Op. Cit. hal 52.
[14]Ridwan Widiastoro, Op. Cit. hal. 164.
[15]Gunawan Wijaya, Op. Cit.
[16]Ibid.
[17]Sudargo Gautama, Op. Cit. hal. 4.
[18]Syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat  syarat yaitu; sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. KUHPerdata, ps. 1320.
[19]Ibid.
[20]Syarat subyektif menyangkut para pihak dalam perjanjian tersebut sedangkat syarat subyektif menyangkut obyek dari perjanjian itu sendiri. R. Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. Ke-18, (Jakarta : pt intermasa, 2001), hal. 17.
[21]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 5.
[22]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. penjelasan. ps. 66. 
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya sengketa. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum/ADR, ps. 1. bt. 3. sedangkan menurut Priyatna Abdurrasyid klausula arbitrase (arbitration clause) merupakan sumber falsafah, sumber hukum dan sumber yurisdiksi bagi semua pihak yang terkait di dalam suatu sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase ADR, Priyatna Abdurrasyid,”Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Diputes Resolution/ADR/Arbitration) Suatu Tinjauan,” Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 21. (2002) 10. 
[26]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 9.
[27]Sut Girsang, Arbitrase, (Jakarta : Litbang Diklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1992), hal. 3.
[28]KUHPerdata, ps. 1338.
[29]Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet. Ke-1 (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 60. 
[30]Pactum de Compromittendo adalah sebuah klausula yang dicantumkan dalam perjanjian pokok, yang berisi bahwa penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari pada pelaksanaan perjanjian itu akan diselesaikan dengan peradilan wasit. C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 141.
[31]Akta kompromis adalah perjanjian yang dibuat secara khusus bila telah timbul sengketa dalam melaksanakan perjanjian pokok. Ibid.
[32]Ibid
[33]Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Ps. 4 ayat (2).
[34]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 4 ayat (1).
[35]Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, Op. Cit. hal. 19-21.
[36]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 5 ayat (1) dan (2).

[37]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 27.
[38]Akhmad Ichsan, Kompendium Tentang Arbitrase Perdagangan Internasional (Luar Negari), Cet. Ke-1. (Jakarta : Pradnya Paramita, 1992), hal. 78.
[39]Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis. Cet. Ke-1. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000). Hal. 12.
[40]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 31.
[41]M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997). Hal. 151.
[42]H. M. Tahir Azhari, Penyelesaian Sengketa Melalui Forum Arbitrase, Prospek Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia, Cet. Ke-1. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 163.
[43]H. M. Tahir Azhari, Op. Cit. hal. 113-114. 
[44]Erman Rajagukguk, Op.Cit. hal. 1-2.
[45]Erman Rajagukguk, Op.Cit. hal. 1-2.
[46]Adi Sulistiyono, “Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution Dalam Perspektif Hukum,” Jurnal Hukum Bisnis vol. 25. (2006) : 73.
[47]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cet. Ke-2. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal. 53.

1 comment:

  1. itu footnote kenapa op cit semua. padahal diatasnya gk ada ket nya

    ReplyDelete