Monday, November 29, 2010

EFEKTIVITAS PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING MELALUI ARBITRASE (Tinjauan kasus E.D. & F. MAN (SUGAR) LIMITED v. Y.HARYANTO)


Oleh : Suleman Batubara SH., MH

A. Latar belakang
  Era globalisasi perdagangan bebas yang saat ini sedang digalakkan oleh negara dunia telah mendapat dukungan dari pesatnya pertumbuhan teknologi dan informasi. Dikatakan demikian, karena para pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas bisnisnya khususnya dalam suatu transaksi internasional tidak lagi membutuhkan pertemuan antara para pihak secara langsung.[1]
Kenyataan ini jelas menguntungkan para pihak khususnya dari segi waktu. Namun di samping keuntungan tersebut, perjanjian semacam ini dalam prakteknya sangat rentan dengan masalah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan yang mendasar dari kedua belah pihak, baik mengenai kepentingan masing-masing pihak,[2] kewarganegaraan, disiplin hukum atau peraturan perundang-undangan yang dianut, budaya hukum dan juga kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masing-masing pihak. Disadarinya akan keadaan ini serta pengalaman dalam praktek, mengharuskan para pihak untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa (disputes) di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari terkait dengan pelaksanaan parjanjian pokok mereka.[3]
Dalam perkembangannya, para pelaku ekonomi (investor) cenderung memilih jalur non-litigasi dalam penyelesaian sengketanya, seperti; negosiasi,[4] mediasi,[5] konsiliasi dan arbitrase. Diminatinya lembaga arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa penanaman modal asing atau sengketa dagang internasional dikarenakan beberapa hal antara lain;[6]
1.      Proses beracara melalui litigasi biasanya memakan waktu yang relatif cukup lama, karena proses peradilan mengenal tingkat pertama hingga tingkat kasasi dan bahkan peninjauan kembali.[7]
2.      Hukum acara peradilan yang bertele-tele, rumit dan birokratis menimbulkan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ini memakan biaya yang mahal dan waktu yang cukup lama.
3.      Prinsip penyelesaian sengketa yang dianut oleh lembaga arbitrase yaitu, baik pemeriksaan maupun putusannya tertutup untuk umum (disclousure).[8]
4.      Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, prinsip ini memberikan pengertian bahwa suatu putusan arbitrase akan dapat langsung dilaksanakan segera setelah putusan tersebut dijatuhkan, walau dalam prakteknya prinsip tidak selamanya benar.
5.      Hakim pengadilan sering tidak menguasai substansi persoalan yang terkait dengan perkara-perkara khusus. Hal ini dapat dihindari oleh para pihak, karena kepada mereka diberikan kebebesan untuk memilih arbiternya yang dianggap cakap oleh mereka.
6.      Sifat putusan yang diberikan arbiter dalam arbitrase biasanya lebih bersifat win-win solution bukan menang-kalah (win-lose) seperti putusan hakim dalam pengadilan.[9]
7.      Prinsip dasar pengambilan keputusan dalam arbitrase yang didasarkan pada kepatutan (ex aequo et bono), keadilan serta kepentingan para pihak yang bersengketa.
8.      Citra dunia peradilan yang tidak baik. Hal terakhir ini merupakan salah satu alasan utama bagi para pelaku ekonomi dalam menghindari lembaga pengadilan. Penyalahgunaan kewenangan, profesionalisme dan sikaf berat sebelah adalah irama yang sering kita temui di dunia peradilan khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, investor asing merasa alergi terhadap hukum dan pengadilan Indonesia.
Erman Rajagukguk, dalam bukunya Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan menyebutkan beberapa alasan para kalangan usahawan memilih lembaga arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa mereka adalah sebagai berikut;[10]

Pertama, karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim dari negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit. Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung. Keempat, Adanya anggapan bahwa pengadilan di Indonesia akan bersikaf subyektif kepada mereka karena hakim yang memeriksa dan memutus sengketa bukan dari negara mereka. Kelima, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka. Keenam, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Dalam penjelasan Undang-undang Arbitrase dan APS sendiri, sebagaimana terdapat dalam alinea keempat, Bagian Umum, menyebutkan beberapa kelebihan arbitrase;[11]
a.             dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b.            dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena masalah dan administratif;
c.             para pihak dapat memilih arbiter yang mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d.            para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e.             putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tara cara (prosedur) sederhana saja atau pun langsung dapat dilaksanakan.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa berperkara melalui lembaga arbitrase memang lebih efektif, ekonomis dan efisien apabila dibandingkan dengan berperkara melalui lembaga pengadilan. Pernyataan ini tidaklah sepenuhnya benar, dengan perkataan lain, secara empiris arbitrase tidaklah selalu efektif. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus yang sudah ada, seperti; kasus Karaha Bodas Company (KBC) v. Pertamina, kasus Kartika Plaza v. Pemerintah Indonesia, kasus PT. Bakrie v. Trading Corporation of Pakistan Limited, kasus E. D. & F. MAN (SUGAR) Ltd v. Y. Haryanto dan yang baru-baru ini kasus Kaltim Prima Coal. Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa berperkara melalui lembaga arbitrase kadang kala justru lebih mahal dan lama.
Kasus-kasus tersebut di atas, selain membuktikan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidaklah selamanya efektif dan efisien. Dengan perkataan lain, adanya kasus-kasus ini telah membuktikan bahwa antara teori dan praktek dalam arbitrase adalah berseberangan. Kasus-kasus ini apabila ditelaah dari sudut regulasi khususnya di bidang arbitrase dan penyelesaian sengketa penanaman modal asing maupun perdagangan internasional semestinya tidak terjadi. Dikatakan demikian karena regulasi di bidang tersebut adalah telah cukup memadai.
            Beberapa masalah yang telah diuraian di atas, menjadikan penulis tertarik untuk menelaah secara lebih jauh dan dalam khususnya mengenai efektivitas penyelesaian sengketa penanaman modal asing di Indonesia khususnya terhadap kasus E.D. & F. Man (sugar) Limited v. Y. Haryanto.
Berangkat dari paparan serta uraian masalah yang hendak dijadikan fokus pembahasan dan analisa dalam penulisan makalah ini, maka pertanyaan atau pokok masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah, apakah penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih efektif apabila dibandingkan dengan pengadilan?.

B.           Uraian Kasus
         Sengketa antara E.D. & F. MAN (SUGAR) LIMITED v. Y.HARYANTO ini bermula dari adanya perjanjian jual beli gula di antara mereka, sebagaimana tertuang dalam akta jual beli gula No. 7428 tertanggal 12 Februari 1982 dan No. 7527 tertanggal 23 Maret 1982.[12] Dalam perjalanannya, perjanjian ini   kemudian mengalami masalah yang pada akhirnya menimbulkan sengketa di antara mereka.
         Sengketa yang terjadi di antara mereka ini, kemudian mereka bawa kepada sebuah lembaga arbitrase di London, sebagaimana telah mereka sepakati sebelumnya.[13] Lembaga arbitrase ini, kemudian menjatuhkan putusannya dengan menetapkan bahwa Y. Haryanto mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah US $ 9.000.00,- kepada E. D. F. Man Sugar. Uang ini dinyatakan sebagai hutang Y. Haryanto kepada E. D. F. Man Sugar sebagai akibat dari kegagalan Y. Haryanto melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian yaitu gagal mengirimkan gula kepada E. D. F. Man Sugar sebagaimana tertuang dalam perjanjian mereka.
         Keputusan arbitrase di London ini, kemudian tidak dilaksanakan oleh Y. Haryanto. Dengan kata lain, hutang yang ditetapkan oleh lembaga arbitrase ini tidak atau belum dibayar oleh Y. Haryanto sekalipun telah disomasi beberapa kali oleh E. D. F. Man Sugar. Kenyataan ini, mengharuskan E. D. F. Man Sugar melakukan upaya hukum, yaitu meminta fiat eksekusi (permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di London) pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berlanjut sampai pada Mahmakamah Agung Republik Indonesia.
         Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam putusannya menolak permohonan dari E. D. F. Man Sugar yang pada akhirnya menjadikan sengketa ini tidak kunjung selesai dan berlarut-larut. Kenyataan ini, jelas merugikan para pihak baik dari segi ekonomi, waktu juga hubungan baik diantara mereka.
Dari keseluruhan uraian kasus tersebut di atas, memastikan bahwa berperkara melalui arbitrase tidaklah selamanya efektif dan ekonomis. Kenyataan ini membuktikan bahwa berperkara melalui arbitrase justru lebih rumit, bertele-tele yang berimplikasi pada pembengkakan biaya dan waktu.




C.           Analisa hukum
Mahkamah Agung Republik Indonesia menolak pelaksanaan putusan arbitrase di London ini, terkait dengan sengketa antara Y. Haryanto dengan E. D. F. Man Sugar dengan bebera pertimbangan yang antara lain;
1.      Perjanjian yang dibuat batal demi hukum karena mempunyai sebab yang dilarang.
Alasan tersebut di atas, apabila dikaitkan dengan pendapat R. Subekti tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana terdapat dalam bukunya Hukum Perjanjian, maka menurut beliau suatu perjanjian tidak sah atau batal demi hukum (null and void) apabila tidak memenuhi syarat obyektif dari suatu perjanjian.[14] Syarat obyektif perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata yaitu; harus ada hal tertentu (obyek perjanjian jelas), harus berdasarkan sebab yang halal.[15]
Menurut Gunawan Wijaya, bahwa hukum yang digunakan untuk menilai apakah suatu perjanjian arbitrase telah dibuat secara sah atau tidak merupakan lex arbitri dari hukum yang dipilih oleh para pihak atau kalau pilihan hukum ini tidak ada maka pengujian tersebut dilakukan berdasarkan hukum dari negara tempat arbitrase dilangsungkan.[16] Menurut beliau ada beberapa hal yang pengujiannya didasarkan pada hukum yang dipilih oleh para pihak atau berdasarkan hukum dari negara tempat arbitrase  dilangsungkan yaitu; pengujian terhadap sah tidaknya perjanjian arbitrase, pengujian tentang obyek sengketa apakah dapat atau tidak diselesaikan melalui lembaga arbitrase, apakah pengadilan akan memberikan upaya hukum sementara (provisional) atau tidak, apakah harus ada atau tidak putusan yang berdasarkan pertimbangan yang beralasan, apakah keputusan arbitrase dapat ditinjau atau tidak mengenai materinya atau dasar-dasar lainnya dan tentang aturan-aturan dalam hal terjadinya kekosongan hukum.[17]
Jadi suatu perjanjian atau klausula arbitrase yang tidak memenuhi syarat; hal tertentu (obyek perjanjian jelas) dan sebab yang halal maka klausula arbitrase tersebut batal demi hukum. Oleh karenanya klausula arbitrase tidak dapat mengikat para pihak.
Dari uraian ini, dapat dikatakan bahwa suatu putusan arbitrase yang diambil dari suatu klausula yang tidak sah atau batal demi hukum sudah semestinya putusan tersebut juga batal demi hukum. Oleh karena itu putusan hakim yang menolak permohonan penetapan eksekuatur dari E.D. & F. MAN (SUGAR) LIMITED dalah sudah tepat apabila ditinjau dari sudut ini.

2.      Putusan arbitrase melanggar ketertiban umum
Hakim dalam menjatuhkan putusannya dalam kasus tersebut di atas, salah satu pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa putusan tersebut ternyata bertentangan dengan kepentingan umum negara Indonesia dikarenakan putusan yang diambil berdasarkan suatu perjanjian yang menurut hukum Indonesia adalah perjanjian yang batal demi hukum.
Pertimbangan hakim tersebut sesuai dengan isi pasal 3 ayat (3) dan pasal 4 ayat (2) PERMA No. Tahun 1990 yang menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan arbitrase internasional di Indonesia hanya terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tineke Louise Tuegeh Longdong dalam bukunya Asas Ketertiban Umum & Konvensi New York 1958, menyebutkan bahwa kepentingan umum berasal dari berbagai macam istilah. Kepentingan umum dalam bahasa Belanda disebut dengan openbare , dalam bahasa Prancis disebut dengan istilah ordre public dan di negara-negara sistem common law menyebutnya dengan istilah public policy.[18]
Dalam buku ini public order atau kepentingan umum diartikan sebagai “rem darurat” yang diperlukan oleh semua negara untuk menjaga kedaulatannya dengan membatasi keberlakuan hukum internasional dalam negaranya.[19] Sementara menurut Erman Rajagukguk dalam bukunya yang berjudul Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan mengatakan bahwa ketertiban umum ada kalanya diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan dan keamanan, atau disamakan dengan ketertiban hukum atau keadilan.[20]
Sudargo Gautama dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, menyatakan bahwa ketertiban umum internasional adalah kaidah-kaidah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhannya, perlindungan masyarakat pada umumnya. Kaidah-kaidah ini membatasi kekuatan extra territorial dari kaidah-kaidah asing.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari kepentingan umum adalah untuk membatasi keberlakuan suatu hukum perdata internasional dalam suatu negara atau ketertiban umum dapat diartikan juga sebagai “rem darurat” yang dapat dipergunakan apabila suatu hukum perdata internasional yang hendak dilaksanakan di suatu negara bertentangan dengan kepentingan umum dari negara tersebut. Dalam keadaan seperti ini hukum perdata internasional tersebut dapat ditolak keberlakuannya oleh negara yang bersangkutan.
Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan pendapat Gunawan Wijaya dalam bukunya yang berjudul Hukum Arbitrase yang menyatakan bahwa apabila suatu putusan arbitrase internasional (hukum perdata internasional) ternyata bertentangan dengan kepentingan negara Indonesia. Oleh karena itu maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung karena kewenangannya dapat menolak permohonan penetapan eksekuatur putusan arbitrase internasional tersebut.[21]
Uraian tersebut di atas apabila dikaitkan dengan kasus, maka pertimbangan yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusannya yaitu Putusan The Queen’s Counsel of The English Bar di London tertanggal, 17 Nopember 1989 adalah bertentangan dengan ketertiban umum bukan dikarenakan bahwa putusan tersebut adalah batal demi hukum karena telah diambil dari perjanjian atau klausula arbitrase yang batal demi hukum adalah tidak tepat. Menurut saya pertimbangan yang relevan adalah menyatakan bahwa putusan tersebut harus ditolak dikarenakan putusan arbitrase tersebut diambil berdasarkan perjanjian yang batal demi hukum bukan karena melanggar ketertiban umum.


D.          Kesimpulan
Dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan bahwa berperkara melalui arbitrase tidak selamanya efektif dan efisien. Kenyataan membuktikan bahwa, berperkara melalui arbitrase justru lebih rumit dan bertele-tele. Kenyataan ini, jelas merugikan para pihak baik dari sudut ekonomi maupun non-ekonomi.
            Melihat kasus Y. Haryanto dan E. D. F. Man Sugar ini, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan berperkara melalui arbitrase menjadi tidak efektif dan efisien antara lain;
1.         Kurangnya itikad baik (good faith) dari para pihak yang bersengketa;
2.         Kurangnya political will dari pemerintah khususnya lembaga pengadilan;
3.         Lemahnya penegakan hukum (law enforcement);
4.         Kurangnya pengetahuan para pelaku ekonomi, hakim, pengacara dan masyarakat tentang arbitrase; dan
Kurang akomodatifnya regulasi terhadap arbitrase.


[1]Perjanjian tersebut dikatakan suatu perjanjian internasional karena di dalam perjanjian tersebut  terdapat unsur asing (foreign element). Adapun unsur asing yang dimaksud adalah sebagai berikut; Pertama, para pihak yang membuat klausula atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha (place of business) mereka di negara-negara yang berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di luar negara tempat para pihak mempunyai usaha mereka. Ketiga, jika suatu tempat dimana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat dimana obyek sengketa paling erat hubungannya (most closely connected) letaknya diluar negara tempat usaha para pihak. Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa obyek perjanjian arbitrase mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara. Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Cet. Ke-2, (Bandung : Alumni Bandung, 1993), hal. 4
[2]Menurut Hikmahanto Juwana perjanjian-perjanjian (joint venture agreement) yang berskala internasional biasanya lebih banyak mengakomodasi prinsip-prinsip yang dianut oleh negara maju. Hal ini dikarenakan lebih dominannya posisi tawar (bargaining position) negara maju di banding negara berkembang dalam pembuatan suatu perjanjian atau transaksi bisnis internasional. Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam konflik Kepentingan Negara Berkembang dan Negara Maju,” Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, (Makalah disampaikan pada Pengukuhan Sebagai Guru Besar Hukum Ekonomi Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001), hal. 29. Pengukuhan (Juli 2002): 29
[3]Pengadilan adalah badan resmi yang didirikan oleh pemerintah yang diberi fungsi dan kewenangan mengadili dan memutus perkara. Yahya Harahap, Arbitarse Ditinjau Dari;  Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention of  the Recognation and Enforcement of  Foreign Arbitral Award dan PERMA No. 1 Tahun 1990, Cet. ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 83 
[4]Negosiasi adalah  suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau kesepahaman kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan. Ahmad Zakaria, http://www.ahmadzakaria.net, Negosiasi: Suatu Pengantar Teori Praktis. Diakses, 23 Januari 2008
[5]Secara umum mediasi sebenarnya merupakan bentuk dari dari proses alternatif dispute resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa. Penyebutan alternatif penyelesaian sengketa ini dikarenakan mediasi merupakan satu alternatif penyelesaian sengketa disamping pengadilan yang bersifat tidak memutus, cepat, murah dan memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan. Dalam proses mediasi ini juga dibantu oleh pihak ketiga yang netral (mediator) yang dipilih oleh para pihak. MaPPI FHUI, http://www.pemantauperadilan.com, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Diakses, 23 Januari 2008
[6]Eman Suparman melihat bahwa perubahan itu sesungguhnya telah terjadi pada tataran yang lebih rendah (keputusan atau peraturan pemerintah), bukan tataran primer (undang-undang), melalui paket-paket deregulasi. Besar dugaan bahwa perkembangan pada tingkat bawah ini telah mempengaruhi penataan hukum nasional. Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan (Jakarta: PT Tatanusa, 2004), hal. 1-2
[7]Menurut beberapa pandangan, tuduhan ini tidak selalu benar karena penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam beberapa kasus ternyata memakan waktu yang lama. Bahkan, di negara-negara tertentu, proses peradilan dapat berlangsung lebih cepat daripada proses arbitrase. Bandingkan dengan alinea kelima, Bagian Umum, Penjelasan Undang-undang Arbitrase dan APS. Lihat juga Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan (Jakarta: Chandra Pratama, 2000), hal. 1
[8]Sidang pemeriksaan di pengadilan pada dasarnya terbuka untuk umum. Artinya, setiap orang boleh menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan. Tujuannya ialah untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi menusia dan lebih menjamin objektivitas, sebagaimana diatur pasal 17-18 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. pasal 179 ayat (1) dan 317 HIR jo. pasal 190 Rbg. Bahkan, putusan yang diucapkan dalam sidang yang tidak terbuka dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan putusan itu batal demi hukum. Namun, apabila undang-undang menentukan lain atau ada alasan-alasan penting dari majelis hakim, persidangan dilakukan dengan tertutup (pasal 17 Undang-undang No. 14 Tahun 1970). Pemeriksaan perkara perceraian dan perzinahan, misalnya, dilaksanakan dengan tertutup. Bandingkan dengan Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogjakarta: Penerbit Liberty, 1999), hal. 13
[9]Bahkan, walaupun sering dikatakan lembaga arbitrase mengambil putusan berdasarkan bukti sama seperti litigasi, penelitian terhadap arbiter-arbiter American Arbitration Association mengatakan bahwa 75% di antara mereka mengambil putusan berdasarkan konsensus. Hanya tiga arbiter mengungkapkan perbedaan pendapat diselesaikan melalui voting. Lihat Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 2
[10]Erman Rajagukguk, Op. Cit. Hal. 1-2

[11]Bahkan, pakar hukum lain mengurutkan dua belas kelebihan arbitrase terhadap pengadilan. Walaupun Undang-undang Arbitrase dan APS ini menyebutkan setidaknya lima keunggulan arbitrase terhadap peradilan, di bagian lain, tepatnya dalam Penjelasan, Bagian Umum, alinea kelima, dengan jelas diungkapkan bahwa sebetulnya satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya tidak dipublikasikan. Itu berarti bahwa keempat butir lainnya masih merupakan kelebihan semu. Munir Fuady, “Penyelesaian Sengketa Bisnis melalui Arbitrase,” Jurnal Hukum Bisnis, vol. 21 (Oktober-November 2002): 92. 
[12]Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Reg. No. 1203 K/Pdt/1990
[13]Ibid.
[14]R. Subekti. op. cit.
[15]KUHPerdata, ps. 1320.
[16]Gunawan Wijaya, op. cit. hal. 51-52.
[17]Ibid.
[18]Tineke Louise Tuegeh Longdang, op. cit. hal. 97.
[19]Ibid. hal. 98.
[20]Erman Rajagukguk, op.cit. hal . 77.
[21]Gunawan Wijaya, op. cit. hal 134.

No comments:

Post a Comment