Sunday, November 28, 2010

PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA


Oleh: Suleman Batubara, SH., MH

Salah satu keuntungan dan kelebihan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase adalah kekuatan hukum dari keputusannya yang bersifat final dan binding.[1] Final diartikan bahwa keputusan arbitrase tersebut merupakan keputusan tingkat akhir dalam artian terhadapnya tertutup upaya hukum baik banding,[2] kasasi maupun peninjauan kembali.[3] Binding diartikan bahwa keputusan arbitrase tersebut mengikat kedua belah pihak yang bersengketa oleh karena itu para pihak wajib untuk melaksanakan keputusan arbitrase tersebut secara suka rela.[4]
Prinsip final dan binding apabila dikaitkan dengan Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing, maka suatu putusan arbitrase asing yang dimohonkan oleh suatu negara yang juga merupakan anggota dari Konvensi New York 1958 untuk diakui dan dilaksanakan di suatu negara yang juga merupakan anggota dari Konvensi tersebut sudah semestinya mau mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing tersebut dengan ketentuan putusan arbitrase asing tersebut telah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara tempat dimana keputusan arbitrase dimohonkan.
Pengertian final dan binding tersebut di atas sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal III Konvensi New York 1958, lengkapnya berbunyi sebagai berikut ; [5]

Each Contracting State shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of territory where the award the award is relied upon, under the conditions laid down in the following articles. There shall nor be imposed substansially more onerous conditions or higher feel or chargers on the recognition or enforcement of arbitral to which this Convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral award.


            Kekuatan hukum yang dimiliki oleh keputusan arbitrase asing ini, memberikan penafsiran kepada kita bahwa terhadap keputusan arbitrase tersebut dapat segera dilaksanakan (eksekusi)[6] segera setelah putusan arbitrase tersebut dijatuhkan yang tentunya setelah memenuhi persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di negara tempat putusan arbitrase dimohonkan untuk dilaksanakan. Penafsiran ini sangat bertolak belakang apabila dihubungkan dengan realita yang ada, yaitu masih terbukanya upaya hukum[7] yang dapat dilakukan untuk menyangkal atau paling tidak untuk menunda pelaksanaan dari putusan arbitrase tersebut.
            Suatu putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final dan binding,[8] hal inilah yang menjadikan faktor pembeda sekaligus juga merupakan suatu keunggulan lembaga arbitrase apabila dibandingkan dengan lembaga pengadilan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa terhadap putusan pengadilan sejak awal terbuka upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Upaya hukum tersebut dapat digunakan oleh setiap orang yang tidak puas atas suatu putusan pengadilan yang tentunya harus sesuai atau memenuhi ketentuan tang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu.
            Dari uraian tersebut di atas, terlihat jelas bahwa antara putusan arbitrase dan putusan pengadilan terdapat perbedaan yang nyata. Dimana putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final dan binding sedangkan putusan pengadilan tidak atau sebaliknya. [9]
Adanya perbedaan kekuatan hukum diantara kedua putusan tersebut di atas, secara langsung memberikan perbedaan terhadap kekuatan hukum dari kedua putusan tersebut. Suatu putusan arbitrase secara hukum punya kekuatan eksekutorial sedangkan putusan pengadilan tidak demikian. Kekuatan eksekutorial di sini mempunyai pengertian bahwa terhadap putusan tersebut secara hukum dapat segara dieksekusi setelah putusannya dijatuhkan, sedangkan yang tidak mempunyai kekuatan eksekutorial mempunyai pengertian bahwa terhadap putusan tersebut tidak secara otomatis dapat dieksekusi melainkan diperlukan tindakan hukum lain agar putusan tersebut dapat dieksekusi. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang dianut yaitu suatu putusan hanya dapat dilakukan eksekusi apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap kecuali ditentukan lain.
   Memang tidak semua putusan arbitrase dapat dilaksanakan di Indonesia khususnya putusan arbitrase asing. Agar suatu putusan arbitrase asing dapat diakui serta dilaksanakan di Indonesia harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.[10] Khusus untuk putusan arbitrase asing, agar putusan tersebut dapat dimintakan pengakuan dan eksekusinya[11] harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan-ketentuan dan persyaratan sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi New York 1958, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, PERMA No. 1 Tahun 1990 untuk memperoleh perintah pelaksanaan (eksekuatur).[12]
Secara yuridis dengan telah diratifikasinya Konvensi New York 1958, diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 serta dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 1990 negara Indonesia terikat untuk mau mengakui serta melaksanakan suatu putusan arbitrase asing yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia, tentunya harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan dan ketentuan sebagaimana disebutkan di atas.[13]
Ada beberapa alasan yang menyebabkan suatu putusan arbitrase tidak dapat diakui atau dilaksanakan yang salah satunya adalah dikarenakan masih adanya upaya hukum pembatalan[14] atau penolakan terhadap putusan arbitrase itu sendiri. Adanya upaya hukum pembatalan atau penolakan putusan arbitrase ini selain bertolak belakang dengan sifat putusan arbitrase itu sendiri yaitu final dan binding hal ini juga menjadikan putusan arbitrase tersebut belum berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijs) secara otomatis putusan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial oleh sebab itu terhadapnya tidak dapat dilakukan eksekusi. Selain upaya hukum pembatalan dan penolakan ini dalam arbitrase juga dikenal upaya hukum banding[15] dan kasasi.[16]
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prinsip final dan binding yang melekat pada putusan arbitrase tidaklah mutlak benar, dengan perkataan lain masih terbuka beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menyangkal suatu putusan arbitrase. Ketidakkonsistenan dari putusan arbitrase ini selain merupakan suatu masalah juga menjadikan hambatan dan kendala pada tataran praktek khususnya dalam hal eksekusi suatu putusan arbitrase.
Sebelum membahas terlebih jauh tentang upaya hukum dalam arbitrase ini khususnya dalam hal upaya hukum penolakan di bawah ini terlebih dahulu diuraikan tentang pengertian dan perbedaan antara upaya hukum penolakan dan pembatalan putusan arbitrase asing.

A. Pengertian Penolakan Putusan Arbitrase Asing
Dalam bahasa Inggris penolakan diistilahkan dengan refusal, yang dalam Blacks Law Dictionary didefinisikan sebagai berikut ;

1.The denial or rejection of something of fered or demanded <the lawyer’s refusal to answer , <the lawyer’s refusal to answer question was based on the attorney-client privilege>. 2. An opportunity to accept or reject something before it is offered to others; the right or privilege of having this opportunity <she promised her friend the refusal on her house>.[17]


            Istilah refusal yang digunakan untuk upaya hukum penolakan ini sebagaimana terdapat Black Law Dictionary tersebut di atas, sejalan dengan istilah yang dipakai oleh Hikmahanto Juwana dalam sebuah artikelnya yang berjudul Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional. Dalam artikel ini beliau juga menggunakan istilah refusal untuk penolakan dan annulment/set aside untuk upaya hukum pembatalan.[18]
            Dalam artikel ini, beliau memberikan perbedaan antara penolakan dengan pembatalan baik terhadap pengertian maupun akibat hukum yang ditimbulkan dari kedua upaya hukum tersebut. Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan perbedaan dari kedua upaya hukum tersebut yaitu ;

Perbedaan tersebut dapat dilihat dari: pertama, berdasarkan proses dan alasan untuk pembatalan (annulment/set aside) putusan arbitrase diatur dalam peraturan perundang-undangan suatu negara dan tidak diatur dalam sebuah perjanjian internasional; sedangkan proses dan alasan penolakan (refusal) putusan arbitrase asing justru diatur dalam perjanjian internasional yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional. Kedua, berdasarkan kensekuensi hukumnya, pembatalan putusan arbitrase berakibat pada dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu putusan arbitrase dan pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase (re-arbitrate). Pembatalan putusan arbitrase tidak membawa konsekuensi pada pengadilan yang membatalkan untuk memiliki wewenang memeriksa dan memutus sengketa. Sedangkan penolakan putusan arbitrase oleh pengadilan, tidak berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan mempunyai konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila ternyata di negara lain terdapat asset dari pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara tersebut.[19]



            Dengan melihat uraian tersebut di atas, Hikmahanto Juwana tidak memberikan pengertian tentang  upaya hukum penolakan putusan arbitrase perdefinisi. Upaya hukum penolakan apabila dilihat dari kronologi timbulnya, syarat-syaratnya dan alasan-alasan serta dari sudut instansi yang berwenang melakukan penolakan terhadap suatu putusan arbitrase maka dapat dikatakan bahwa upaya hukum penolakan adalah; suatu upaya hukum yang dapat digunakan oleh salah satu pihak dalam proses berarbitrase yang merasa tidak puas atas suatu putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase dengan cara mengajukan permohonan penolakan kepada salah satu lemabaga lemabaga pengadilan yang berwenang untuk itu dengan terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan di negara tempat permohonan penolakan dimohonkan.[20]

B. Perbedaan pengertian upaya hukum penolakan dengan pembatalan
            Dari uraian pada pragraf terdahulu, tentang pengertian upaya hukum pembatalan dan penolakan yang diberikan oleh Hikmahanto Juwana maka dapat ditarik perbedaan antara upaya hukum pembatalan dengan penolakan yang antara lain adalah sebagai berikut;
1.          Upaya hukum pembatalan diistilahkan dengan annulment/set aside sedangkan upaya hukum penolakan diistilahkan dengan refusal.
2.          Pengaturan, syara-syarat, alasan-alasan antara upaya hukum pembatalan dengan penolakan adalah berbeda satu sama lain. Pengaturan dan syarat serta alasan upaya hukum pembatalan diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan suatu negara, sedangkan upaya hukum penolakan diatur dalam suatu perjanjian internasional yang kemudian ditransformasikan kedalam undang-undang nasional suatu negara.
3.          Akibat hukum dari diterimanya upaya hukum pembatalan berbeda dengan upaya hukum penolakan. Dikabulkannya upaya hukum pembatalan mengakibatkan putusan arbitrase tersebut dinafikan (dianggap tidak pernah ada putusan arbitrase), sedangkan akibat hukum dikabulkannya upaya hukum penolakan adalah tidak berarti dinafikannya keputusan arbitrase tersebut. Jadi apabila suatu putusan arbitrase ditolak oleh lembaga pengadilan suatu negara, maka pihak yang ditolak (menang) tersebut masih dapat mengajukannya kembali ke negara tempat dimana asset dari pihak yang dikalahkan berada.
4.          Dikabulkannya upaya hukum pembatalan mengharuskan para pihak untuk mengulang kembali proses arbitrase (re-arbitrate), sedangkan apabila upaya hukum penolakan dikabulkan tidak mengharuskan para pihak untuk mengulang kembali proses berarbitrase.
5.          Dikabulkannya upaya hukum pembatalan tidak serta merta memberikan kewenangan bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut.
6.          Alasan dari upaya hukum pembatalan lebih mengacu kepada substansi sengketa sedangkan alasan upaya hukum penolakan tidak demikian, dengan kata lain bahwa alasan dari suatu penolakan lebih mengacu kepada procedural bukan substansial.
7.          Penolakan keputusan arbitrase lebih didasarkan pada tidak adanya yurisdiksi dari pengadilan dimana arbitrase tersebut dimohonkan untuk diakui dan dilaksanakan sedangkan upaya hukum pembatalan tidaklah demikian.

Prinsip-prinsip umum pelaksanaan putusan arbitrase asing
Pada umumnya setiap negara anggota Konvensi New York 1958 harus mengakui bahwa putusan arbitrase asing sebagai putusan yang mengikat dan oleh karenanya mempunyai daya eksekusi bagi para pihak.[21] Namun dalam beberapa putusan arbitrase asing ada yang tidak dapat dilaksanakan atau ditolak maupun dibatalkan oleh pengadilan di negara tempat arbitrase dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya.
Suatu putusan arbitrase asing dapat ditolak atau dibatalkan maupun ditunda pelaksanaannya dikarenakan beberapa faktor seperti;  perjanjian (klausula) yang menjadi dasar arbitrase tidak sah atau batal demi hukum,[22] putusan arbitrase melampaui apa yang dimohonkan oleh pemohon,[23] putusan arbitrase diambil berdasarkan itikad buruk arbiter atau majelis arbitrase, proses pengambilan putusan arbitrase tidak adil (fair), putusan didasarkan pada tipu muslihat atau keterangan palsu,[24] putusan arbitrase bertentangan dengan kepentingan umum (public policy)[25], arbiter atau mejelis arbitrase dalam memberikan putusannya tidak berdasarkan hukum yang dipilh (choise of law) para pihak,[26] ada kesalahan prosedural yang ditemukan oleh pengdilan pada saat pendaftran,[27] putusan arbitrase belum bersifat final,[28] dan lain-lain.[29] Adanya salah satu faktor tersebut dalam suatu putusan arbitrase dengan sendirinya dapat dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan atau menolak maupun menunda pelaksanaan putusan arbitrase itu sendiri.
Suatu putusan atbitrase menjadi tidak sah bilamana dalam putusan tersebut terdapat salah satu faktor di atas. Putusan arbitrase yang tidak sah secara hukum tidak dapat mengikat para pihak oleh karenanya terhadap putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan (eksekusi). Hal ini dengan sendirinya menghilangkan sifat final dan binding yang dimiliki oleh putusan arbitrase itu sendiri.[30] Dengan kata lain suatu putusan arbitrase yang tidak sah secara hukum menjadikan putusan tersebut tidak final dan mengikat. Dikatakan tidak final dikarenakan terhadap putusan yang demikian dapat dilakukan upaya hukum pembatalan ataupun penolakan.
Uraian di atas, apabila dihubungkan dengan salah satu kelebihan dan keuntungan yang dimiliki arbitrase yaitu putusannya yang bersifat final dan mengikat menjadi bertolak belakang dengan kata lain suatu putusan arbitrase yang seharusnya langsung dapat dilakukan eksekusi menjadi berlarut-larut atau tidak dapat langsung dieksekusi. [31] Dari realita di atas dapat dikatakan bahwa putusan arbitrase yang bersifat final dan binding tidaklah mutlak benar.
Salah satu pertimbangan dari pihak yang bersengketa untuk memilih lembaga arbitrase sebagai pranata penyelesaian sengketanya karena arbitrase dirasakan mempunyai banyak kelebihan dan keuntungan.[32] Paradigma ini diharapkan dapat membawa mereka pada posisi yang menguntungkan baik dari sudut waktu, biaya, dan lain sebagainya.
            Adanya kelebihan dan keuntungan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase ini tidak terlepas dari prinsip yang dianut oleh lembaga itu sendiri dalam menyelesaikan sebuah sengketa.[33] Ada beberapa perbedaan prinsip penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dengan pengadilan. Perbedaan prinsip inilah yang kemudian memberikan dampak antara untung dan rugi bagi pihak-pihak yang menggunakannya.[34] 
            Di bawah ini diuraikan tentang prinsip-prinsip penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase yang antara lain;

A. Prinsip putusan arbitrase final dan binding
            Salah satu perbedaan antara lembaga arbitrase dengan lembaga pengadilan adalah kekuatan hukum dari putusan masing-masing lembaga tersebut. Putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final dan binding.[35] Final diartikan bahwa putusan arbitrase itu bersifat akhir atau dalam bahasa hukum sering disebut dengan istilah (inkracht van lewijs) atau berkekuatan hukum tetap, sedangkan binding diartikan bahwa putusan tersebut mengikat semua pihak dalam suatu arbitrase dan karena mereka tidak boleh melanggar putusan tersebut.[36]
            Sifat putusan arbitrase di atas berbeda dengan sifat putusan pengadilan yang pada prinsip masih terbuka upaya hukum seperti; banding, kasasi atau pengajuan kembali.[37] Terbukanya upaya hukum terhadap suatu putusan pengadilan ini menjadikan putusan pengadilan tersebut belum bersifat final  (akhir).  Oleh karena putusan pengadilan ini belum bersifat final maka dengan sendirinya putusan arbitrase tersebut belum mengikat para pihak.
            Perbedaan sifat dari kedua putusan tersebut membawa pada konsekuensi dapat dan belum dapat putusan tersebut dieksekusi. Sudah merupakan suatu ketentuan umum bahwa suatu putusan hanya dimungkinkan untuk dapat dilakukan eksekusi apabila putusan tersebut sudah final atau berkekuatan hukum tetap. Begitu juga sebaliknya bahwa terhadap putusan yang belum bersifat final maka terhadapnya belum bisa dilakukan eksekusi.
            Ketentuan di atas apabila dikaitkan dengan sifat dari suatu putusan arbitrase, maka boleh dikatakan semestinya terhadap suatu putusan arbitrase dapat dilakukan eksekusi segera setelah putusan arbitrase dijatuhkan. Sementara terhadap putusan  pengadilan sebaliknya yaitu belum dapat dieksekusi sebelum putusan tersebut bersifat final atau berkekuatan hukum tetap.
            Realita di atas apabila dilihat dari akibat yang ditimbulkan maka jelas berbeda antara suatu putusan yang dapat langsung dieksekusi dengan yang tidak dapat langsung dieksekusi. Salah satu perbedaannya adalah masalah waktu. Suatu putusan yang langsung dapat dieksekusi tentunya menjadikan proses penyelesaian sengketa (perkaranya) tidak memerlukan waktu yang panjang dan bertele-tele, begitu sebaliknya dengan putusan yang terhadapnya masih terbuka upaya hukum akan menjadikan proses penyelesaian sengketanya bertele-tele agar sengketa itu dapat selesai.[38] Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan bagi dewasa ini dalam memilih lembaga arbitrase sebagai suatu solusi dalam penyelesaian sengketa yang dialaminya.
            Prinsip final dan binding dalam arbitrase ini mendapat pengaturan baik dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, PERMA No. 1 Tahun 1990 dan juga Konvensi New York 1958. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ketentuan ini dapat dilihat dalam beberapa pasal seperti; pasal 17 ayat (2), pasal 45 ayat (2), pasal 53 dan pasal 60.

B. Asas Resiprositas (Reciprocity principle)
            Pada umunya, suatu negara yang berdaulat tidak terikat untuk mengakui keputusan yang telah dijatuhkan oleh lembaga arbitrase atau peradilan asing.[39] Hal ini disebabkan karena suatu keputusan yang telah dijatuhkan oleh lembaga arbitrase atau peradilan asing mengandung perintah yang jika perlu dapat dijalankan secara paksa terhadap seseorang, yang juga merupakan penjelmaan dari kekuasaan tertinggi (kedaulatan) suatu negara. Oleh karena itu apabila hal ini akan dijalankan di negara lain merupakan suatu pelanggaran terhadap kedaulatan negara tersebut.[40]
Prinsip tersebut di atas, pada mulanya juga diterapkan dalam sistem hukum nasional, dalam hal pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Ketentuan ini dapat dilihat dari pasal 456 Rv yang secara garis besarnya mengatur bahwa keputusan lembaga peradilan asing tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga tidak dapat dilaksanakan dengan diberikannya perintah pelaksanaan oleh Hakim indonesia seperti halnya keputusan pengadilan Indonesia sendiri. Kekuatan hukum dari lembaga peradilan atau putusan arbitrase asing dianggap hanya mempunyai kekuatan sebagaimana akta otentik dalam pembuktian. Oleh karena itu perkara itu harus diulangi pemeriksaannya di muka peradilan yang berenang di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman dan juga kepentingan dan kebutuhan negara Indonesia khususnya dalam hal peningkatan iklim investasi dan pertumbuhan ekonominya, fenomena di atas dirasakan menjadi suatu faktor penghambat dalam meningkatkan iklim investasi khususnya dan juga pertumbuhan ekonomi pada umunya.[41] Hal ini yang kemudian memotivasi pemerintah Indonesia untuk melakukan beberapa kebijakan seperti; melakukan reformasi dalam penegakan hukum, melakukan pembenahan dan sinkronisasi di beberapa peraturan perundang-undangan.[42]
Khusus dalam di bidang perundang-undangan pemerintah Indonesia telah merubah kebijakannya dalam bidang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, hal ini dapat dilihat diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan di bidang arbitrase dan juga diratifikasinya beberapa konvensi internasional dalam bidang yang sama. Kebijakan ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi para investor yang pada akhirnya doharapkan dapat mendorong mereka untuk berinvestasi di Indonesia.[43]
Adanya kebijakan di bidang peraturan perundang-undangan khususnya dalam bidang arbittrase tersebut secara langsung memberikan perubahan dalam dunia arbitrase khususnya dalam pengakuan dan pelaksanaannya. Dengan kata lain, suatu putusan arbitrase atau peradilan asing yang tadinya tidak mempunyai daya eksekusi di Indonesia berubah menjadi mempunyai daya eksekusi walau dengan beberapa ketentuan dan pembatasannya.
Hal ini dapat dilihat dari pasal 66 butir (a) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terlihat jelas bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia apabila Negara pemohon dengan Negara Indonesia terikat suatu perjanjian tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing baik secara bilateral maupun multilateral.[44] Untuk lebih jelasnya di bawah ini di tuliskan bunyi dari pasal tersebut yaitu;[45]

Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional.


Ketentuan ini dipertegas lagi oleh pasal 3 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 1990 yang menyebutkan;[46]

(1)    putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu Konvensi Internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Dari bunyi pasal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa asas resiprositas ini merupakan suatu keharusan (mandatory) agar suatu putusan arbitrase asing tersebut dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Asas ini merupakan asas timbal balik yang berarti bila Negara Indonesia mau mengakui serta melaksanakan putusan arbitrase asing maka Negara pemohon tersebut juga sebaliknya yaitu harus mau mengakui dan juga melaksanakan putusan arbitrase Negara Indonesia yang tentunya putusan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan mereka.
Asas resiprositas ini merupakan pencerminan dari nilai-nilai hukum internasional yang berlaku secara universal dan diakui keberadaannya oleh seluruh Negara-negara di dunia dan berlaku bagi semua bidang kehidupan antar bangsa. Asas ini juga merupakan prinsip kedaulatan Negara dan kedaulatan hukum maupun kedaulatan Negara dan bangsa Indonesia dang sekaligus merupakan prinsip saling menghormati diantara sesame bangsa dan Negara dunia.[47]
Asas timbal balik ini juga diatur dalam Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing sebagaimana terdapat dalam pasal I ayat (3) yang ber bunyi;[48]

“any state may on the basic of reciprocity declare that it will apply the Convention to reconation and enforcement of award made only in territory
   of another Contracting State”.

            Jadi uraian tersebut di atas, terlihat jelas bahwa asas resiprositas (timbal balik) ini merupakan suatu keharusan dalam suatu putusan arbitrase asing agar dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Dengan kata lain suatu putusan arbitrase asing yang pengakuan dan pelaksanaannya dimohonkan di Negara Indonesia akan ditolak bilamana antara Negara pemohon dengan Negara Indonesia tidak terdapat asas ini.[49]

C. Asas ketertiban Umum (public policy)
            Ketertiban umum dikenal dalam berbagai istilah seperti order pulic dalam bahasa Prancis, public policy (dalam Anglo Saxon).[50] Selain istilahnya yang berbeda di masing-masing Negara, pengertian dari kepentingan umum ini juga berbeda di suatu Negara dengan di Negara lain karena hal ini dipengaruhi oleh falsafah bangsa, sistem politik, pemerintahan serta kepribadian suatu bangsa.[51] Ketiadaan kesamaan pengertian ini selain menimbulkan perbedaan penafsiran tentang pengertian kepentingan umum, keadaan ini juga sering dijadikan sebagai suatu pegangan untuk dapat menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing.[52] Dalam PERMA No. 1 Tahun 1990, menyebutkan secara jelas bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Negara Indonesia sebatas putusan arbitrase yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.[53]

Ketertiban umum[54] oleh Sudargo Gautama diartikan sebagai; sesuatu yang dianggap bertentangan dengan ketertiban umum suatu Negara, apabila didalamnya terkandung suatu hal atau keadaan yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa.[55] Sedangkan Erman Rajgukguk menyebutkan bahwa kepentingan umum ada kalanya diartikan sebagai “ketertiban, kesejahteraan dan keamanan”, atau disamakan dengan pengertian “ketertiban hukum” atau “keadilan”.[56] Sedangkan Tony Budidjaja menyarankan agar pelanggaran kepada ketertiban umum ini (public policy, public order) seharusnya dianggap sebagai suatu pelanggaran yang bobotnya melampaui atau lebih berat dari alasan-alasan yang termuat di dalam pasal 70 undang-undang arbitrase.[57]
Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa suatu putusan arbitrase asing bertentangan dengan kepentingan umum yang antara lain;
1. Suatu putusan arbitrase dapat dikatakan bertentangan dengan kepentingan umum, jika dalam proses pemeriksaannya salah satu pihak tidak diberikan kesempatan untuk didengar dengan cukup sebelum keputusan diambil.
2. Arbiter atau majelis arbitrase dalam memberikan putusannya ternyata bersifat berat sebelah atau impartiality.
3. Arbiter atau majelis arbitrase dalam memberikan putusannya tidak disertai dengan alasan-alasan ataupun dasar-dasar hukum yang menjadi pertimbangannya.
4. Apabila dalam prosedur pengambilan putusan arbitrase tidak sesuai dengan hukum acara yang disepakati para pihak atau putusan diambil dengan melanggar hukum acara arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak. 
            Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa rumusan dari kepentingan umum adalah berbeda di masing-masing negara hal ini dikarenakan adanya perbedaan falsafah negara, sistem hukum, budaya hukum dan juga peraturan perundang-undangan yang berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Rumusan kepentingan umum selain dipengaruhi oleh beberapa faktor tersebut di atas, dia juga dipengaruhi oleh sebuah situasi dan kondisi. Dengan kata lain pengertian kepentingan umum ini akan berbeda bilamana situasi dan kondisinya berbeda. Keadaan inilah yang menurut Dedi Harianto bahwa kepentingan umum ini kadang-kadang bisa menjadi sebuah kedua binal “unruly horse” yang bisa lari ke sana ke mari (sering dipengaruhi oleh kepentingan politik) khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.[58]

3.3. Prosedural Penolakan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia
            Sekalipun putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final dan binding namun tidak serta merta putusan tersebut dapat langsung dilakukan eksekusi. Dengan kata lain eksekusi suatu putusan arbitrase tidak terlepas dari keterkaitan pengadilan, hal inilah yang juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan putusan arbitrase menjadi berlarut-larut.[59] Jadi agar putusan arbitrase dapat dieksekusi terlebih harus didaftarkan kepada Pengadilan Jakarta Pusat yang selanjutnya mengajukan permohonan eksekuatur kepada pengadilan tersebut atau Mahkamah Agung  yang berupa penetapan pelaksanaan atas putusan arbitrase tersebut.[60]
            Keadaan ini memang kontradiktif dengan sifat dari putusan arbitrase itu sendiri, artinya keharusan prosedural yang diwajibkan peraturan perundang-undangan tersebut bila ditinjau dari sifat putusan yang dimiliki oleh arbitrase adalah bertolak belakang. Hal ini selain merupakan suatu penghambat dalam penegakan (enforcement) hukum arbitrase sekaligus juga merupakan kekurangan dari lembaga arbitrase. Realita ini memang tidak dapat dihindari dikarenakan satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk mengeksekusi suatu putusan arbitrase pada saat ini hanyalah pengadilan. Dengan lain perkataan lembaga arbitrase sampai saat ini belum mempunyai otoritas maupun perangkat yang dapat mengeksekusi putusannya sendiri.
            Jadi suatu putusan arbitrase asing untuk dapat diakui dan dilaksanakan haru terlebih dahulu memenuhi dan mengikuti proses sebagaimana telah ditentukan dalam undang-undang. Di bawah ini dicoba diuraikan tentang prosedur agar suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Negara Indonesia.

A. Pendaftaran putusan arbitrase
            Suatu putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia bilamana telah mendapat penetapan eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung.[61] Untuk mendapatkan penetapan eksekuatur ini arbiter atau majelis arbitrase maupun kuasanya harus mendaftarkan putusan arbitrase asing tersebut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketentuan ini sesuai dengan isi dari pasal 67 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi;[62]

(1)     Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(2)     Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan;
a.        lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
b.       lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan aslinya dalam bahasa Indonesia; dan
c.        keterangan dari perwakilan diplomatic Republik Indonesia di Negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

            Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan agar suatu putusan arbitrase asing dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia ialah mendaftarkan putusan arbitrase tersebut kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah pendaftaran dilakukan baru kemudian diajukan permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung Republik Indonesia.
            Permohonan ekesekuatur putusan arbitrase perihal pengakuan dan pelaksanaan diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bilamana para pihaknya bukan Negara atau pemerintah maupun wakilnya,[63] sedangkan apabila salah satu pihaknya adalah pemerintah atau Negara maupun wakilnya maka permohonan diajukan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.[64]

B. Pengadilan yang berwenang menolak putusan Arbitrase Asing
            Di atas, telah diuraikan bahwa pengadilan yang berhak memberikan eksekuatur putusan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang bilamana para pihaknya bukan pemerintah atau Negara maupun wakilnya dan Mahkamah Agung Republik Indonesia berwenangn bila salah satu pihaknya adalah pemerintah atau Negara maupun wakilnya.[65] Jadi untuk melihat pengadilan mana yang punya wewenang atau otoritas untuk menolak suatu putusan arbitrase asing digantungkan pada subyek hokum dari pada putusan arbitrase asing tersebut.
Suatu putusan arbitrase asing yang ditolak permohonan eksekuaturnya  oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat dilakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, sedangkan terhadap penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadapnya tertutup upaya hukum. Suatu putusan arbitrase asing yang ditolak pengakuan dan pelaksanaannya oleh salah satu lembaga pengadilan di suatu Negara bukan berarti putusan tersebut tidak diakui, artinya suatu putusan arbitrase asing yang ditolak sebenarnya diakui putusan arbitrase asing tersebut adalah benar namun dikarenakan beberapa hal seperti; tidak terdapatnya asas resiprositas antara negara pemohon dengan Negara Indonesia sehingga putusan arbitrase tersebut terpaksa ditolak. Hal inilah yang membedakan pengertian penolakan dengan pembatalan. Suatu putusan arbitrase yang dibatalkan mengakibatkan dinafikannya putusan arbitrase tersebut atau dianggap tidak pernah ada putusan arbitrase (bukan hanya sekedar tidak diakui).  Jadi antara penolakan dengan pembatalan adalah dua hal yang berbeda baik dari sudut istilah, pengaturan alasannya, pengertian serta  akibat hukum yang ditimbulkan.[66]

3.4. Alasan-Alasan Penolakan Putusan Arbitrase Asing
            Seperti telah diuraikan pada pragraf-pragraf terdahulu, bahwa suatu putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final dan binding (mengikat). Prinsip ini tidaklah selamanya benar artinya sangat kasuistis (kasus per kasus). Suatu putusan arbitrase ini menjadi tidak final dan binding dikarenakan beberapa sebab seperti; klausula arbitrase yang menjadi dasar dan falsafah arbitrase tidak sah secara hukum,[67] para pihak tidak diberikan kesempatan yang dan patut dalam melakukan pembelaannya,[68] putusan arbitrase yang dijatuhkan melampaui batas kewenangan yang diberikan atau yang dituntut,[69] proses berarbitrase dan pemilihan arbiter atau majelis arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, putusan arbitrase belum mengikat para pihak, obyek sengketa arbitrase bukan tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang di Negara dimana putusan arbitrase dimintakan pengakuan dan pelaksanaannya,[70][71] putusan arbitrase melanggar ketertiban umum,[72] antara Negara pemohon dengan termohon tidak terdapat perjanjian perihal pengakuan dan pelaknaan putusan arbitrase asing,[73] putusan arbitrase diambil berdasarkan tipu muslihat atau keterangan palsu dan lain sebagainya.[74]
            Alasan-alasan penolakan putusan arbitrase asing tersebut bila dilihat dari sumbernya, maka dapat diklasifikasikan kedalam dua klasifikasi yaitu alasan penolakan yang bersumber dari Konvensi New York 1958 dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Untuk lebih jelasnya tentang alasan-alasan penolakan tersebut di atas, dibawah ini dicoba diuraikan berdasarkan sumbernya.
 
A. Menurut Konvensi New York 1958
Dalam Konvensi New York 1958 terdapat beberapa alasan yang menyebabkan suatu putusan arbitrase asing dapat ditolak perihal pengakuan dan pelaksanaannya. Adapun alasan-alasan tersebut antara lain;
1.            Klausula arbitrase yang menjadi dasar dan falsafah arbitrase tidak sah secara hukum.[75]
Seperti telah dikatakan pada bab kedua tesis ini, bahwa dasar hukum serta falsafah dari suatu arbitrase adalah klausula arbitrase.[76] Secara logis analitis dapat dikatakan bahwa tanpa adanya suatu klausula arbitrase yang sah secara hukum dengan sendirinya meniadakan arbitrase, begitu juga sebaliknya bahwa dengan adanya klausula arbitrase yang dibuat secara sah oleh para pihak dengan sendirinya menjadikan arbitrase yang mereka pilih berikut segala putusannya sah secara hukum serta mengikat semua pihak dalam arbitrase tersebut.
Adanya klausula arbitrase yang dibuat secara sah oleh para pihak selain menjadikan mereka terikat secara hukum terhadap klausula atau perjanjian tersebut hal ini juga menghilangkan kompetensi lembaga lain seperti pengadilan untuk menyelesaikan sengketa mereka, dengan perkataan lain lembaga arbitrase yang mereka pilih secara absolut mempunyai otoritas dan kewenangan untuk memeriksa, mengadili serta memberikan putusannya terhadap sengketa tersebut. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 11 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menyebutkan;[77]

(1)   Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2)   Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. 


Ketentuan ini apabila dikaitkan dengan prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata adalah sejalan yaitu suatu perjanjian yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan oleh karena itu mereka terikat secara hukum atas perjanjian tersebut. Pengertian terikat di sini, bahwa para pihak harus tunduk dan patuh dan melaksanakan segala sesuatunya sesuai dengan isi perjanjian itu sendiri.
Menurut pasal 1320 KUHPerdata serta pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dikatakan sah dan mengikat para pihaknya apabila telah memenuhi empat syarat yaitu; kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal. Selanjutnya keempat syarat ini oleh R. Subekti dibagi menjadi dua bagian yaitu satu syarat yang bersifat subyektif dan kedua syarat yang bersifat obyektif. Dikatakan bersifat subyektif dikarenakan syarat yang terdapat dalam bagian ini yaitu syarat mengenai subyek yang membuat perjanjian itu sendiri. Sedangkan dikatakan bersifat obyektif dikarenakan syarat yang terdapat dalam bagian mengatur tentang obyek dari perjanjian itu sendiri.
Pembagaian syarat perjanjian ini kedalam dua bagian selain dikarenakan hal yang diatur berbeda satu sama lain, hal ini juga dikarenakan adanya perbedaan akibat hokum yang ditimbulkan bilamana syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian. Jadi akibat hukum dari suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif adalah berbeda dengan suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif.
Akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat subyektif dari suatu perjanjian mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangakan akibat hokum dari suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif dari suatu perjanjian menjadikan perjanjian tersebutn batal demi hukum (null and void) bukan dapat dibatalkan. Kedua akibat hukum ini adalah berbeda satu sama lain, dengan kata lain suatu putusan arbitrase yang dapat dibatalkan mempunyai pengertian bahwa untuk batalnya perjanjian tersebut diperlukan upaya hukum yaitu berupa pembatalan agar perjanjian tersebut dapat batal. Jadi suatu perjanjian arbitrase sekalipun tidak memenuhi syarat subyektif sebagaimana disebutkan di atas adalah sah secara hukum bilamana pihak yang dirugikan atau pihak yang merasa haknya dilanggar tidak melakukan upaya pembatalan. Upaya pembatalan ini merupakan syarat mutlak bagi hakim untuk dapat membatalkan suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif tersebut. Tidak demikian halnya dengan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif secara otomatis perjanjian tersebut adalah batal demi hukum atau tidak sah. Oleh karena itu perjanjian seperti ini dengan sendiri tidak dapat mengikat para pihak yang membuat. Jadi perbedaan utama antara pengertian dapat dibatalkan dengan batal demi hokum adalah terletak pada diperlukan atau diuwajibkan tidaknya adanya suatu upaya hukum pembatalan agar perjanjian tersebut batal atau tidak sah.
Uraian di atas tentang syarat sahnya perjanjian dikaitkan dengan alas an yang terdapat dalam Konvensi New York 1958 ini adalah sejalan. Dengan kata lain suatu putusan arbitrase yang diambil berdasarkan suatu klausula (perjanjian arbitrase) yang batal demi hukum atau tidak sah maka dengan sendirinya putusan arbitrase tersebut juga tidak sah atau batal demi hukum dan oleh karenanya para pihak tidak terikat padanya.
2.            Para pihak tidak diberikan kesempatan yang dan patut dalam melakukan pembelaannya.
Seperti di sebutkan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, bahwa para pihak dalam arbitrase bebas menentukan hukum acara berarbitrase yang berlaku bagi mereka sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang tentang arbitrase itu sendir. Hukum acara yang disepakati para pihak ini harus sebutkan dengan tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis.[78] Dalam perjanjian atau kesepakatan tentang hokum acara arbitrase ini harus ditentukan jangka waktu dan tempat dimana proses arbitrase dilakukan, sedangkan apabila ketentuan ini tidak tedapat dalam perjanjian tersebut maka yang berhak menentukan jangka waktu serta tempat dimana arbitrase dilaksanakan menjadi kewenangan arbiter atau majelis arbitrase.[79]
Dalam ayat (2) dengan pasal yang sama menambahkan bahwa apabila tidak ada kesepakatan atau perjanjian diantara para pihak tentang hukum acara ini, maka yang berlaku adalah hukum acara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 30 Tahun 1999.[80] Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya hukum acara dalam arbitrase merupakan kewenangan dari para pihak, dengan kata lain mereka dengan bebas dapat menentukan sendiri hukum acaranya yang dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Pengertian kebebasan di sini dibatasi oleh undang-undang, artinya sekalipun hal itu mutlak hak dari para pihak (asas kebebasan berkontrak) namun perjanjian yang mereka buat tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Undang-undang dalam arti luas mencakup juga nilai-nilai kepatutan, keadilan serta kebiasaan.
Seperti telah disebutkan pada pragraf di atas, bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah (memenuhi syarat-syarat perjanjian) menjadikan perjanjian tersebut sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pengertian undang-undang di sini adalah bahwa para pihak terikat secara hukum kepada perjanjian tersebut. Oleh karena itu mereka wajib menjalankan perjanjian tersebut.
Prinsip umum hukum perjanjian tersebut bilamana dihubungkan dengan alasan penolakan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi New York 1958 di atas yaitu suatu putusan arbitrase asing dapat ditolak pengakuan dan pelaksanaannya apabila dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusannya telah ternyata diketahui (dengan pembuktian terlebih dahulu) bahwa para pihak tidak diberikan kesempatan yang layak, pantas dan seimbang untuk didengar dalam melakukan pembelaannya. Hal inilah relevan dengan sebab asas umum dalam pemeriksaan setiap diberikan sama oleh hukum untuk melakukan pembelaannya (equality before the law).
Oleh sebab itu suatu hal yang pantas dan wajar bilamana suatu putusan arbitrase asing yang dimintakan pengakuan dan pelaksanaannya ditolak oleh pengadilan suatu negara bilamana hal ini dapat dibuktikan. Jadi sekalipun hal ini tidak diperjanjikan oleh para pihak, ketentuan ini menjadi sebuah keharusan dan kewajiban dari para arbiter atau majelis arbitrase untuk memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak untuk didengar dalam melakukan pembelaannya. Ketentuan ini menjadi lebih kuat bilamana sebelumnya antara para pihak telah ada kesepakatan bersama tentang hukum acaranya yang menyebutkan dengan tegas bahwa arbiter atau majelis arbitrase dalam melakukan pemeriksaan dan pengambilan keputusannya harus terlebih dari memberikan kesempatan yang sama untuk didengar bagi para pihak perihal pembelaan masing-masing.
Dari ketentuan dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam berarbitrase para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri hukum acaranya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan dan keadilan. Arbiter dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa yang ditanganinya sebelum menjatuhkan putusannya harus terlebih daru mendengarkan pembelaan dari para pihak. Pembelaan yang diberikan oleh arbiter atau majelis arbitrase ini harus seimbang atau tidak berat sebelah. Jadi suatu putusan arbitrase asing yang ternyata arbiter atau majelis arbitrase dalam pengambilan keputusannya telah tidak memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak untuk didengar keterangannya dalam hal pembelaannya maka terhadap putusan tersebut dapat ditolak baik pengakuan maupun pelaksanaannya.

3.            Putusan arbitrase yang dijatuhkan melampaui batas kewenangan yang diberikan atau yang dituntut.
Hubungan hukum antara para arbiter dengan para pihak adalah hubungan dalam bentuk perjanjian. Oleh karena itu para arbiter dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketanya terikat dengan perjanjian yang mereka buat dengan para pihak. Ketentuan ini dapat dilihat dari pasal 17 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi;[81]

(1)   Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.
(2)   Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan bersama.

Dari ketentuan dapat disimpulkan bahwa baik para arbiter maupun para pihak sama-sama terikat dengan perjanjian tersebut, dengan perkataan lain mereka semua harus tunduk dan mau melaksanakan isi dari perjanjian tersebut. Salah satu bentuk wujud dari para arbiter dalam melaksanakan segala sesuatunya terkait dengan arbitrase dan perjanjian antara para arbiter dengan para pihak ialah memeriksa, mengadili dan memberikan putusannya berdasarkan kesepakatan dan kemauan para pihak. Oleh karena itu suatu putusan arbitrase asing yang ternyata putusannya melebihi apa yang dituntut oleh para pihak terhadapnya dapat dimintakan agar putusan arbitrase tersebut ditolak baik pengakuan dan pelaksanaannya. 

4.            Proses berarbitrase dan pemilihan arbiter atau majelis arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pada prinsipnya prosedur acara arbitrase dapat ditentukan sendiri secara bebas oleh para pihak. Ketentuan ini harus dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak yang kemubdian dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian yang mereka buat ini tentang prosedural berarbitrase dengan sendirinya mengikat para pihak atau mereka yang membuatnya. Terikatnya para pihak dalam perjanjian ini dikarenakan perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Keadaan ini dengan sendirinya mewajibkan para pihak untuk bertindak dan bersikab sesuai perjanjian yang mereka buat. Hal ini bila dihubungkan dengan preses beracara dalam arbitrase maka para pihak maupun arbiter harus dilakukan atau sesuai kesepakatan tersebut.
            Suatu putusan arbitrase asing yang telah diputuskan oleh seorang arbiter atau majelis arbitrase yang proses pemilihannya dilakukan dengan melanggar kesepakatan atau perjanjian para pihak tentang itu, maka terhadapnya dapat dimintakan penolakan. Penolakan ini diajukan oleh pihak yang merasa haknya dirugikan atas keadaan ini kepada pengadilan yang berwenang untuk itu dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung Republik Indonesia karena kewenangannya dapat menolak pengakuan maupun pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut.

5.            Putusan arbitrase belum mengikat para pihak.
Suatu putusan baik putusan arbitrase maupun pengadilan hanya dapat dilaksanakan (eksekusi) setelah putusan tersebut bersifat final. Namun karena beberapa hal atau keadaan tertentu atau memaksa ada kalanya suatu putusan dapat segera dilaksanakan segera setelah putusan tersebut dijatuhkan, seperti putusan provosionil.
Jadi suatu putusan arbitrase asing akan ditolak perihal pengakuan dan pelaksanaannya bilamana putusan arbitrase asing yang dimohonkan tersebut belum final dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase belum bersifat final dan mengikat para pihak dapat disebabkan beberapa hal, antara lain; karena terhadap putusan tersebut masih dilakukan upaya hukum seperti banding atau kasasi, karena putusan tersebut diambil dari klausula arbitrase yang tidak sah, karena putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum, karena putusan tersebut diputuskan tanpa alasan dan dasar hukum yang sah.
Adanya keadaan tersebut di atas, dengan sendirinya mengakibatkan putusan arbitrase yang dijatuhkan tersebut tidak dapat atau belum mengikat para pihak dan oleh karenanya terhadapnya dapat dimintakan penolakan kepada pengadilan yang berwenang perihal pengakuan dan pelaksanaannya. Ketentuan ini adalah relevan sebab tidak mungkin dapat dipaksakan untuk melakukan sesuatu yang kepadanya tidak terikat sesuatu itu dalam hal ini putusan arbitrase.



6.            Obyek sengketa arbitrase bukan tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang di Negara dimana putusan arbitrase dimintakan pengakuan dan pelaksanaannya.
Dalam pasal 66 butir (b) menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrse asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia sebatas putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang. Sementara penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang termasuk kedalam ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan di bidang; perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual.[82]
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu putusan arbitrase asing dapat ditolak pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia bilamana putusan tersebut di luar ruang lingkup hukum dagang. Jadi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung Republik Indonesia karena kewengannya dapat menolak suatu putusan arbitrase asing yang ruang lingkupnya di luar hukum perdagangan sebagaimana disebutkan di atas.

7.            Putusan arbitrase melanggar ketertiban umum.
Ketertiban umum dapat juga dijadikan sebagai dasar untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Hal ini diatur baik di dalam Konvensi New York 1958 maupun Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Dalam Konvensi York ketertiban umum ini diatur dalam pasal V ayat (2) butir (b) yang berbunyi “The recognation of enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country”.[83]
Pengertian ketertiban umum ini berbeda di masing-masing negara, hal inilah yang kemudian sering menjadi kendala dalam tataran praktek. Ketiadaan kesamaan penafsiran dan pengertian tentang ketertiban umum ini pada kenyataannya cenderung disalahgunakan. Hal ini dapat di lihat dari beberapa kasus yang sudah pernah ada seperti kasusnya E. D. & F. Man (Sugar) Ltd. V. Haryanto. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa alasan pemerintah dalam menolak permohonan pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase ini salah satunya adalah karena putusan tersebut melanggar ketertiban umum.[84]
Menurut Sudargo Gautama, ketertiban umum ini hendak diartikan sebagai suatu lembaga dalam hukum perdata internasional yang memungkinkan sang hakim untuk secara pengecualian mengenyampingkan pemakaian dari hukum asing, yang menurut ketentuan hukum perdata internasional hakim sendiri seyogianya harus diperlakukan. Dengan kata lain tidak dipakainya hukum asing dalam hal yang khusus ini disebabkan karena hukum asing ini dipandang demikian menyolok dan memberi “shock” (kegoncangan) kepada sendi-sendi asasi dari pada sistem hukum sendiri jika dipergunakan. Oleh karena itu menurut beliau hakim dalam memakai ketentuan ketertiban umum ini dalam memutus suatu sengketa harus seirit mungkin agar tidak menimbulkan anggapan bahwa negara tersebut hanya ingin memperlakukan hukum nasionalnya sendiri.[85]
Beliau menyatakan bahwa fungsi dari ketertiban umum ini adalah sebagai “rem darurat” dalam sebuah kereta api. Rem darurat di sini mempunyai pengertian bahwa penggunaan ketertiban umum ini sebagai alasan untuk tidak dapat memperlakukan hukum negara asing dalam sebuah negara harus seirit mungkin dengan kata lain karena suatu keterpaksaan. Namun untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran serta untuk menghindari penyalahgunaan dari ketertiban umum ini, menurut beliau perlu diberikan suatu definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ketertiban umum ini. Beliau menyarankan sebaiknya suatu ketertiban umum diartikan sebagai “kaidah-kaidah hukum asing yang sebenarnya harus diperlakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum perdata internasional di Indonesia, tidak akan dipergunakan, bilamana kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan “ketertiban umum”dan “kesusilaan yang baik”.[86]




8.            Antara Negara pemohon dengan termohon tidak terdapat perjanjian perihal pengakuan dan pelaknaan putusan arbitrase asing.
Salah alasan yang dapat dijadikan untuk menolak suatu putusan arbitrase asing oleh suatu negara dimana putusan arbitrase asing itu dimohonkan adalah ketiadaan perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral antara negara pemohon dengan negara yang dimohonkan. Perjanjian timbal balik yang dimaksud sering diistilahkan dengan asas resiprositas (reciprocity principle).[87]
Dalam pasal ini disebutkan bahwa negara termohon dapat menolak suatu putusan arbitrase asing perihal pengakuan atau pelaksanaan bilamana antara negara pemohon dengan negara termohon tidak terdapat perjanjian tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Hal ini dapat dilihat dari kalimat “When ssigning, ratifying or accading to this Convention, or notifying extension under article X hereof, any State may on the basic of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognation and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting Sate.....”.[88]
Dari ketentuan ini dapat terlihat jelas bahwa kepada masing-masing negara diberikan kebebasan untuk menentukan atau membuat perjanian bahwa keberlakuan Konvensi New York 1958 tersebut hanya berlaku kepada masing-masing negara peserta atau negara anggota. Jadi berdasarkan pada ketentuan ini jelas dibolehkan suatu negara termohon untuk menolak suatu putusan arbitrase asing perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan tersebut bilamana antara mereka tidak terikat dengan suatu perjanjian tentang pengakuan atau pelaksanaan putusan arbitrase asing, dengan kata lain Konvensi New York 1958
hanya dapat diberlakukan kepada masing-masing negara anggota.

B. Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
1. Asas resiprositas
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa asas resiprositas ini disebutkan secara tegas baik dalam Konvensi New York 1958, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 maupun PERMA No. 1 Tahun 1990. Dalam Konvensi New York 1958 hal ini dapat dilihat dari bunyi pasal I ayat (3) yang berbunyi “....any state may on the basic of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognation and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State...”. Dari kalimat tersebut dapat terlihat jelas bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan bilamana antara negara pemohon dengan negara termohon sama-sama terikat pada konvensi tersebut.[89]
Ketentuan yang sama juga terdapat dalam pasal 66 butir (a) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang juga menyebutkan secara tegas bahwa putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia bilamana negara Indonesia dengan negara pemohon terdapat perjanjian internasional baik secara bilateral maupun multilateral di bidang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.[90] Prinsip ini kembali ditegaskan oleh PERMA No. 1 Tahun 1990 sebagaimana terdapat dalam pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan oleh suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, pelaksanaan didasarkan pada asas timbal balik (resiprositas).[91]
            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas resiprositas ini bersifat mandatory (wajib) ada dalam suatu putusan arbitrase agar putusan tersebut dapat diakui dan dilaksanakan di negara Indonesia. Oleh karena itu suatu hal yang patut secara hukum bilamana suatu putusan arbitrase asing yang nyata-nyata tidak memenuhi asas ini ternyata ditolak perihal pengakuan dan pelaksanaannya di Indonessia. Begitu juga sebaliknya semestinya apabila dalam suatu putusan arbitrase asing yang dimintakan pengakuan maupun pelaksanaannya di Indonesia yang telah memenuhi asas ini serta ketentuan-ketentuan lain yang diatur secara limitatif dalam undang-undang seharusnya diakui dan dapat dieksekusi di Indonesia. Hal ini selain merupakan suatu keharusan dan penegakan hukum (law enforcement) juga untuk menuding bahwa negara Indonesia adalah negara yang kebal hukum.


2. Obyek sengketa dalam ruang lingkup hukum perdagangan
Dalam beberapa ketentuan di bidang arbitrase seperti; Konvensi New York 1958, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 serta PERMA No. 1 Tahun 1990 menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrase yang obyek sengketanya di luar ruang lingkup hukum dagang maka terhadapnya tidak dapat dieksekusi. Dalam Konvensi New York 1958 ketentuan ini dapat dilihat dari bunyi pasal I ayat (3) yang menyebutkan bahwa putusan arbitrase hanya dapat diakui dan dilaksanakan di suatu negara apabila putusan arbitrase yang dimintakan termasuk sengketa dalam ruang lingkup hukum dagang menurut perundang-undangan dimana putusan arbitrase asing tersebut dimohonkan.[92]
Ketentuan ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, sebagaimana terdapat dalam pasal 66 butir (b) yang berbunyi;[93]

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia  termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

            Dari bunyi pasal tersebut di atas, dapat dipastikan bahwa prinsip atau ketentuan ini bersifat memaksa (mandatory). Dengan perkataan lain tanpa terpenuhinya ketentuan ini dalam suatu putusan arbitrase asing yang dimohonkan perihal pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia maka sudah sepantasnya terhadap permohonan tersebut ditolak.
Pentingnya ketentuan ini ditegaskan kembali oleh PERMA No. 1 Tahun 1990 yang menyebutkan bahwa putusan-putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan juga dilaksanakan di Indonesia bilamana putusan arbitrase asing tersebut termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang menurut hukum atau peraturan perundang-undangan di negara Indonesia.[94] Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan juga dieksekusi di Indonesia bilamana putusan arbitrase asing tersebut termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan menurut hukum Indonesia.

3. Asas ketertiban umum
Sebagaimana telah dibicarakan di atas, bahwa ketertiban umum ini merupakan prinsip umum dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Penegasan ini dapat kita jumpai dalam pasal V ayat (2) butir (b) yang menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksankan di suatu negara bilamana putusan arbitrase asing tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum dari negara termohon. Hal ini bila dikaitkan dengan keadaan di Indonesia merupakan hal yang wajar dan pantas secara hukum apabila ternyata suatu putusan arbitrase asing ditolak pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia dikarenakan putusan yang dimohonkan nyata-nyata bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.[95]
Ketentuan ini selain diatur dalam Konvensi New York 1958 juga diatur dalam Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tepatnya terdapat dalam pasal 66 butir (c) lengkapnya berbunyi;[96]

(c) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksudkan dalam huruf (a) hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
 
            Dari bunyi pasal ini dapat diambil kesimpulan bahwa suatu putusan arbitrase asing yang dimohonkan perihal pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia yang mana putusan tersebut nyata-nyata bertentang dengan ketertiban umum semestinya terhadap putsan tersebut harus ditolak. Ketentuan ini ditegaskan kembali oleh PERMA No. 1 Tahun 1990 sebagaimana terdapat dalam pasal 3 ayat (3) yang juga secara tegas menyebutkan bahwa putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia bilamana putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.[97]


[1]Erman Rajagukuguk, Ibid
[2]Perlu diketahui upaya hukum pembatalan dengan dan banding adalah berbeda satu sama lain karena yang dipermasalahkan adalah hal-hal yang berada di luar pokok sengketa. Contoh pembatalan bias dilakukan jika para arbiter dalam membuat putusan tidak menggunakan hukum yang telah disepakati para pihak; atau arbiter telah membuat putusan yang melebihi apa yang diminta pihak-pihak yang bersengketa. http://antikorupsi.org/ “Proses Hukuk KBC”. Selasa 07 Desember 2004 
[3]http://www.bapmi.org/in/arbitration award.php  ”Putusan Arbitrase”. 20 Juni 2006
[4]Dalam pasal 32 Hukum Acara BANI menyebutkan bahwa putusan bersifat final dan mengikat. Para pihak menjamin akan langsung melaksanakan putusan tersebut. Dalam putusan tersebut, Majelis menetapkan suatu batas waktu bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan Putusan dimana dalam Putusan Majelis dapat menetapkan sanksi dan/atau denda dan/atau tingkat bunga dalam jumlah yang wajar apabila pihak yang kalah lalai dalam melaksanakan putusan itu. Hukum Acara BANI, ps. 32
[5]Konvensi New York 1958. ps. III
[6]Fungsi dan kewenangan pengadilan dalam memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase berbeda dengan fungsi dan kewenangan pengadilan dalam memeriksa permohonan (eksekusi) putusan arbitrase. Apabila dalam memeriksa permohonan eksekusi putusan arbitrase, fungsi pengadilan lebih bersifat administratif, maka dalam memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase, fungsinya adalah yudikatif (mengadili). “Pembatalan Putusan Arbitrase di Indonesia”. http://cms.sip.co.id/hukumonline/ . Sabtu 17 Juni 2006

[7]Dalam pasal 1 ayat (12) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 menyebutkan bahwa upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. ps. 1 ayat (12)
[8]Konvensi New York 1958. ps. III
[9]Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 60 dan penjelasannya
[10]Linda Rachmainy, “Arbitrase Untuk Keadilan”. http://www.pikiran-rakyat.com/. Mei 2004
[11]Eksekusi adalah suatu pemaksaan oleh Negara (yang dalam proses perdata kerap dilakukan oleh pengadilan) agar pihak yang dikalahkan mau mematuhi putusan pengadilanatau arbitrase. http://www.kompas.com/. “Proses Hukum KBC”. Sabtu, 07 Desember 2004.
[12]Dalam penjelasan pasal 66 huruf (d) dikatakan bahwa suatu putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur). Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 pasal 66 huruf (d) dan penjelasan, hal ini sesuai dengan pasal 1 PERMA No. 1 Tahun 1990. Namun dalam pasal 3 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 1990 menyebutkan bahwa suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
[13]Indah Lisa Diana, “Ketertiban Umum Sebagai Dasar Penolakan Dilaksanakannya Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia,” http://www.pemantauperadilan.com/. Sabtu 21 Juni 2003
[14]Upaya hukum pembatalan tidak sama dengan upaya hukum banding karena yang dipermasalahkan adalah hal-hal yang ada di luar pokok sengketa. Sebagai contoh pembatalan bisa dilakukan jika para arbiter dalam membuat putusan tidak menggunakan hokum yang disepakati para pihak; atau arbiter telah membuat putusan melebihi apa yang diminta pihak-pihak yang bersengketa. http://www.kompas.com/. “Proses Hukum KBC”. Ibid
[15]Undang-Undang No 30 Tahun 1999. ps. 72 ayat (4)
[16]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 68 ayat (2)
[17]Bryan A. Garner, Black Law Dictionary, Eight Edition (St. Paul: Weat Publishing Co, 2004), hal. 1307.
[18]Hikmahanto Juwana, Op. Cit.
[19]Ibid.
[20]http://www.pertamina.com/. “Upaya Hukum Pertamina Untuk Melindungi Kepentingan Indonesia”. Selasa 23 April 2002

[21]Gunawan Wijaya & Ahamad Yani, Hukum Arbitrase, Cet. Ke-1. (Jakarta : Rajawali Pers, 2000). Hal. 130
[22]Tony Budidjaja, http://www.cms.sip.co.id/hukumonline/. “Pembatalan Putusan Arbitrase di Indonesia”. Sabtu, 17 Juni 2006
[23]Ketua BANI: Putusan PN Jakarta Pusat Sudah Benar. http://www.hukumonline.com/ “Sengketa Pertamina vs Karaha Bodas”, Sabtu 17 Juni 2006
[24]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 70
[25]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 66 butir ©.
[26]Yufendy, “Mencermati Putusan Pengadilan Banding Singapura di Kasus KBC”. http://www.hukumonline.com/detail. 13 September 2005
[27]http://www.hukumonline.com/detail. “Salah Prosedur, Putusan Arbitrse Internasional Bisa Dibatalkan”. 10 September 2002
[28]http://www.pertamina.com/ , “Upaya Hukum Pertamina Untuk Melindungi Kepentingan Indonesia”. Ibid.
[29]R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Cet. Ke-1. (Bandung :Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1981). Hal. 25.
[30]BANI, http://www.bani-arb.org/bani, “Pendapat Yang Mengikat & Klausula Arbitrasetc ”Pendapat Yang Mengikat & Klausula Arbitrase”
[31]Mariam Darus, “Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa Dibidang Ekonomi Dan Keuangnan Diluar Pengadilan”, http://www.lfip.org/english/pdf/bali/seminar/
[32]http://www.indomedia.com. “Penyelesaian di Luar Pengadilan : Telaah Atas Kasus PLN vs Poiton I”
[33]Linda Rachmainy mengatakan bahwa perbedaan metode penyelesaian sengketa antara lembaga pengadilan dengan lembaga arbitrase antara lain; pengadilan mengedepankan metode pertentangan (adversarial) sedangkan arbitrase mengutamakan itikad baik, non-konfrontif serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para pihak tidak diposisikan pada posisi bertarung melainkan hanya mengemukakan argumen masing-masing hal ini dapat menunjang putusan yang lebih sempurna, dimana hukum tidak mengorbankan keadilan dan kepastian hukum. Dalam arbitrase para pihak dapat membuka diri dan meningkatkan peranannya untuk membuka akses keadilan bagi masyarakat tanpa harus terbelenggu pada aturan normative yang rigid. Linda Rachmainy. Ibid
[34]Menurut Budhy Budiman, kelemahan dari lembaga pengadilan antara lain; pengadilan dianggap mempunyai beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive), kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically). Budhy Budiman, “Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999”. http://www.uika-bogor.ac.id/ .
[35]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 60
[36]Pikiran Rakyat, http://www.pikiran–rakyat.com, “BANI Sudah Tangani 300 Kasus Sengketa Bisnis Penjualan Indosat Bisa Diajukan ke Arbitrase”
[37]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, penjelasan ps. 60.

[38]Wirawan, “Menyelesaikan Perdata Secara Singkat”. http://www.pikiran-rakyat.com Senin 18 Oktober 2004.
[39]Reglement Verordering (Hukum Acara Perdata Untuk Wilayah Jawa dan Madura). Ps. 456.
[40]Dedi Harianto, Ibid
[41]Kompas, http://www.kompas.com/. “Penggerak Ekonomi Versus Klaim Arbitrase”.
[42]Erman Rajagukuguk, Op. Cit
[43]Bismar Nasution, Op. Cit
[44]ELIPS, Hukum Dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Cet. Ke-1. (Jakarta: ELIPS, 1995). Hal. 10. 
[45]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 66 butir (a).
[46]PERMA No. 1 Tahun 1990, ps. 3 ayat (1).
[47]Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Op. Cit. hal. 132.
[48]Konvensi New York 1958, ps. I ayat (3).
[49]Dedi Harianto, Ibid.
[50]Menurut Dedi Harianto putusan arbitrase adalah bertentangan dengan ketertiban umum apabila; salah satu pihak tidak diberikan kesempatan untuk didengar dengan cukup sebelum keputusan diambil, putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan putusannya, pengambil putusan melanggar prosedur berarbitrase yang bersangkutan, klausula arbitrase tidak sah atau batal demi hukum. Dedi Harianto, Ibid.
[51]Dedi Harianto, Ibid 
[52]Erman Rajagukguk, Op. Cit. hal. 77.
[53]PERMA No. 1 Tahun 1990, ps. 3 ayat (3) dan ps. 4 ayat (2).
[54]Abdul Gani Abudullah, mengatakan bahwa fungsi dari ketertiban umum dalam hubungannya dengan pilihan hukum (choice of law) dalam kontrak bisnis internasional adalah sebagai berikut; Pertama, sebagai lembaga yang membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan choice of law. Kedua, sebagai rem darurat atau penghambat. Ketiga, yaitu untuk membatasi keberlakuan hukum asing dalam hal-hal tertentu. Keempat, untuk menghalangi kebebasan hak otonomi para pihak dalam menentukan berlakunya hukum dalam kontrak mereka. Kelima, sebagai elemen yang membatasi berlakunya stelsel hukum dari hakim yang mengadili sengketa para pihak. Keenam, sebagai perlindungan terhadap pemakaian otonomi hak para pihak dalam choice of law yang terlampau luas. Abdul Gani Abdulllah, http://www.bi.go.id/    
[55]Sudargo Gautama. Ibid
[56]Erman Rajagukuguk, Ibid.
[57]Tony Budidjaja, Ibid.
 
[58]Dedi Harianto, Op. Cit
[60]Linda Rachmainy, “Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan”, http://www.pikiran-rakyat.com. Mei 2004 
[61]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 66 butir ©.
[62] Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 67.

[63]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 65.
[64]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 66 butir (e).
[65]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 68.
[66]Hikmahanto Juwana, Ibid.
[67]Konvensi New York, ps. V ayat I butir (a)
[68]Konvensi New York, ps. V ayat I butir (d)
[69]Konvensi New York, ps. V ayat I butir (c)
[70] Konvensi New York, ps. III ayat I
[71]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (b)
[72]Konvensi New York, ps. X
[73]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (a), hal ini juga ditegaskan kembali dalam PERMA No. 1 Tahun 1990. ps. 3 ayat (1)
[74]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 70
[75]Tony Budidjaja. Ibid
[76]Priyatna Abdurrasyid, Ibid.
[77]Undang-Undang No. 30, ps. 11.
[78]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 31 ayat (1)
[79]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 31 ayat (3)
[80]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 31 ayat (2)
[81]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 17
[82]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 66 butir (b) dan penjelasannya
[83]Konvensi New York 1958, ps. V ayat (2) butir (b)
[84]E. D. & F. Man (Sugar) Ltd. V. Haryanto 1205 K/Pdt/1990
[85]Sudargo Gautama, Op. Cit. hal. 142.
[86]Ibid.
[87]Konvensi New York 1958, ps. I ayat (3)
[88]Ibid
[89]Konvensi New York 1958. ps. I ayat (3)
[90]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (a)
[91]PERMA No. 1 Tahun 1990. ps. 3 ayat (1)
[92]Konvensi New York 1958. ps. I ayat (3)
[93]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (b)
[94]PERMA No. 1 Tahun 1990. ps. 3 ayat (2)
[95]Konvensi New York 1958. ps. V ayat (2) butir (b)
[96]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 66 butir (c)
[97]PERMA No. 1 Tahun 1990. ps. 3 ayat (3)

No comments:

Post a Comment