Saturday, February 5, 2011

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1995 MENJADI UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK DAN TANGGUNG JAWAB ORGAN-ORGAN PERSEROAN TERBATAS

Oleh: Suleman Batubara SH., MH

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pada dua tahun yang lalu pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merubah Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Perubahan undang-undang tersebut bukan tanpa pertimbangan dan tujuan. Singkatnya, pengundangan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas salah satunya ditujukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, efektifitas dari sudut birokrasi, efisiensi serta untuk kemudahan administrasi.
Di samping itu, perubahan undang-undang tersebut juga didasarkan pada perkembangan ekonomi dunia dan juga ragam transaksi bisnis yang begitu pesat perkembangannya. Keadaan ini, selain menjadikan undang-undang yang ada tertinggal juga dirasakan sudah akomodatif terhadap perkembangan dunia bisnis.
Untuk lebih jelasnya tentang faktor-faktor perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, di bawah ini hal tersebut akan dibahas secara lebih khusus dan dalam.


A. Faktor Yang Melatarbelakangi Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
Dalam pertimbangan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonom dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Atas dasar pertimbangan ini, dirasakan perlu untuk merubah Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas tersebut. Hal ini salah satunya ditujukan agar undang-undang dimaksud dapat memperkokoh pertumbuhan ekonomi, sehingga kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dapat tercapai.
Kemudian untuk meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif. Dari pertimbangan ini, terlihat jelas bahwa pengundangan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, selain ditujukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, regulasi ini juga ditujukan agar Indonesia mampu menghadapi globalisasi ekonomi di masa yang akan datang dan juga untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya disebutkan bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dari pertimbangan ini terlihat jelas bahwa Perseroan Terbatas merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi. Oleh karenanya terhadap badan usaha ini perlu diberikan landasan hukum yang dapat memacu pembangunan ekonomi nasional dengan asas kekeluargaan. Dari sini terlihat jelas bahwa pengundangan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 juga ditujukan untuk memperkokoh badan usaha perseroan terbatas agar dapat menunjang pembangunan ekonomi nasional dengan asas kekeluargaan.

B. Perbandingan Hak dan Tanggung Jawab Organ-Organ Perseroan Antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas tentunya sebagaian akan berimplikasi kepada hak dan tanggung jawab organ-organ perseroan tersebut dalam suatu perusahaan. Untuk mengetahui hal tersebut secara lebih dalam dan jelas, sub bab-sub bab berikut ini akan menguraikan hal tersebut secara lebih khusus dan dalam.

1. Hak dan Tanggung Jawab Pemegang Saham Dalam Perseroan
Dalam pasal 3 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa, pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Investor menyerahkan uangnya untuk dijadikan aset perusahaan dan ia menerima saham sebagai bukti kepemilikan atas perusahaan. Terjadilah apa yang disebut Lynn A. Stout sebagai capital lock-in. Suatu proses di mana a corporation assets belong to corporation not to equity investor. Sehingga kewajiban pemegang saham sebatas apa yang telah disetorkannya kepada perseroan.
Tetapi ketentuan Pasal 3 ayat 2 menyatakan ketentuan ayat 1 tadi tidak berlaku apabila:
a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. Pmegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Dari bunyi pasal 3 ayat (2a) Undang-Undang ini, dapat dikatakan bahwa, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi apabila persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Ketentuan dari pasal 3 ayat (2a) ini sama dengan bunyi pasal 3 ayat (2a) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995. Hal yang sama juga diatur dalam pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyatakan bahwa ersero diwajibkan mendaftarkan akta Perseroan seluruhnya beserta pengesahan yang diperolehnya dalam register umum yang disediakan untuk itu di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang mana dalam daerah hukumnya Perseroan itu mempunyai tempat kedudukannya, sedangkan mereka diwajibkan mengumumkannya dalam Berita Negara. Segala sesuatu yang tersebut di atas berlaku juga terhadap segala perubahan dalam syarat-syarat pendiriannya, atau dalam hal waktu perseroan diperpanjang.
Selanjutnya Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyatakan selama pendaftaran dan pengumuman tersebut belum diselenggarakan, maka sekalian pengurusnya adalah orang demi orang dan masing-masing bertanggung jawab untuk seluruhnya, atas tindakan mereka terhadap pihak ketiga. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tidak disebutkan tanggung jawab Pemegang Saham, bila Akta Pendirian belum didaftarkan di Kementerian Kehakiman.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan Akta Notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. Pasal 7 ayat (4) menyatakan, setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
Selanjutnya ayat (5) menyatakan, bahwa bila jangka waktu tersebut telah lampau, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian Perseroan dan atas permohonan pihak yang berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut. Pasal tersebut sama dengan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tidak ada ketentuan pemegang saham menjadi bertanggung jawab pribadi, bila ia satu-satunya pemegang saham.
Baru pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, substansi ini dicantumkan pada Pasal 7 ayat (4) dan kemudian ditempatkan lagi dalam pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru.
Prinsip ini menyatakan bahwa, para pemegang saham mempunyai remote control atas perseroan. Dalam terminologi Fama dan Jensen, kontrol itu berada dalam proses pengambilan keputusan (decision control). Tanggung jawab terbesar pemegang saham adalah menggunakan kewenangannya dalam proses pengambilan keputusan secara benar dan proposional berdasarkan Undang-Undang dan Anggaran Dasar perseroan.
Pasal 3 UUPT disebutkan mengenai tindakan-tindakan tertentu pemegang saham perseroan terbuka dan tertutup yang menyebabkan para pemegang saham tersebut bertanggung jawab secara penuh. Para pemegang saham yang mempunyai kontrol atas perseroan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk melanggar batas-batas kekuasan (ultra vires). Intervensi dalam pengelolaan perusahaan tidak dapat dibenarkan. Karena hal itu menjadi tidak konsisten ketika pemegang saham telah menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada direksi untuk menjalankan perseroan. Dalam terminologi Fama dan Jensen, pemegang saham hanya dapat melakukan pemantauan atas pelaksanaan perseroan. Sebaliknya, Direksi dapat mengatasi intervensi pemegang saham dengan mengedepankan transparansi.

2. Hak dan Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan
Dalam pasal 92 UUPT menyebutkan bahwa Direksi adalah organ perseroan yang berwenang untuk menjalankan pengurusan perseroan. Oleh sebab itu, Direksi adalah pihak yang mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Kewenangan Direksi untuk mewakili perseroan sebagaimana disebutkan dalam pasal 98 UUPT tidak berlaku apabila; terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. Dalam keadaan yang demikian ini, pihak yang berhak mewakili perseroan adalah; anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; atau pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
Direksi dalam kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan dapat dapat memberikan kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih, atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Namun, dalam hal perseroan jatuh pailit, Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Untuk lebih jelasnya mengenai tanggung jawab Direksi ini, setelah diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, di bawah ini hal tersebut akan dibahas secara lebih khusus dan dalam.





a. Tanggung Jawab Direksi Setelah Perseroan Berstatus Badan Hukum
Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri tentang Pengesahan Badan Hukum Perseroan.
Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan, perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status Badan Hukum, hanya boleh dilakukan oleh anggota Direksi bersama-sama pendiri, anggota Direksi lainnya, dan anggota Dewan Komisaris Perseroan, dan perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung renteng semua pendiri, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. Sementara ayat (2) Pasal 14 ini selanjutnya menyatakan, dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, maka perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan mengikat perseroan.
Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, Pasal 30 ayat (1) menyatakan, Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pengumuman yang dilakukan oleh Menteri tersebut harus terlaksana dalam 14 hari setelah keputusan Menteri lahir. Apabila ditelaah lebih jauh, tampaknya undang-undang yang baru ini menetapkan, bahwa setelah Perseroan Terbatas mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum, Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi tidak bertanggung jawab pribadi. Tidak ada satu pasal pun yang menetapkan bagaimana tanggung jawab Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi dalam periode setelah Akta Pendirian dan Anggaran Dasar mendapat pengesahan sebagai badan hukum sampai dengan perusahaan tersebut didaftarkan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 yang lama, dalam Pasal 23 menyatakan, selama pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan maka Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan. Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 sama dengan Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa tanggung Direksi adalah berbeda apabila status perseroannya juga berbeda. Dengan Kata lain, tanggung jawab Direksi terhadap perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, berbeda dengan perseroan yang sudah berbadan hukum. Kemudian, perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, dengan sendirinya merubah pertanggungjawaban Direksi pada perseroan sebelum berbadan hukum. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Direksi, Komisaris pendiri bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh salah Direksi, Komisaris dan atau pendiri sebelum perseroan berbadan hukum. Sementara menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum adalah pihak yang melakukan perbuatan melakukan hukum itu sendiri.


b. Tanggung Jawab Pribadi Direksi Perseroan Terbatas
Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, menyatakan Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Pasal 95 ayat (1) menyatakan, Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) tersebut di atas. Kemudian, ayat (2) pasal ini menyatakan, pengurusan sebagaimana dimaksud pada pasal 95 ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan, setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Dalam hal Direksi terdiri dari 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, maka tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
Pasal 95 ayat (5) menyatakan anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Perseroan, apabila dapat membuktikan :
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Pasal 90 ayat (3) menyatakan, seseorang anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Ia tidak menjalankan perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Bunyi Pasal 90 ayat (2) sama dengan bunyi Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kemudian, Pasal 95 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru sama dengan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 yang lama.
Jika melihat kebelakang, Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyatakan, bahwa tanggung jawab pengurus adalah tak lebih dari pada menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan sebaik-baiknya. Mereka pun karena segala perikatan dari perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga. Oleh karena itu, apabila mereka melanggar suatu ketentuan dalam Akta, atau tentang perubahan yang kemudian diadakan mengenai syarat-syarat pendirian, maka atas kerugian yang karenanya telah diderita oleh pihak ketiga, mereka itu masing-masing dengan diri sendiri bertanggung jawab untuk seluruhnya.
Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, menyatakan Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Kemudian, ayat (2) pasal ini selanjutnya menyatakan, Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandangnya tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas ini dan/atau Anggaran Dasar.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab Direksi ini, Pasal 95 ayat (1) menyatakan, Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1). Kemudian, ayat (2) menyebutkan, pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Selanjutnya ayat (3) menentukan, bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas seperti diuraikan di atas pada prinsipnya sama dengan Pasal 85 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995. Pasal 85 ayat (1) berbunyi: “Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan”. Ayat (2) pasal ini menyatakan, setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Oleh karena itu, undang-undang Perseroan Terbatas yang baru lebih jelas mengenai tanggung jawab Direksi atas perbuatannya yang tidak mendapat persetujuan Komisaris, padahal persetujuan tersebut diwajibkan oleh Anggaran Dasar Perseroan.
Direksi dalam kedudukannya sebagai organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan angaran dasar. Dalam kedudukannya ini, pada prinsipnya Direksi bertugas menjalankan dan mengelola perseroan. Untuk membantu Direksi dalam melakukan tugasnya, berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh Direksi, Direksi dapat meminta nasihat dari pihak ketiga atau membentuk komite khusus.
Setiap anggota Direksi haruslah merupakan seseorang yang mempunyai karakter yang baik dan pengalaman yang diperlukan. Direksi mengurus saham, Direksi akan menjalankan tanggung jawab sosial perseroan (misalnya bertindak sebagai warga yang baik di negara-negara dimana perseroan mejalankan usahanya) dan memperhatikan kepentingan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perseroan.
Direksi sebagai organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, seorang Direksi harus bertindak untuk kepentingan perseroan secara konsisten mengembangkan keterikatan perseroan terhadap pedoman pengelolaan perusahaan yang baik dan manfaatnya terhadap perseroan secara keseluruhan.
Untuk memfungsikan Direksi dalam suatu perusahaan, komposisi Direksi haruslah sedemikian rupa sehingga memungkinkan pembuatan keputusan yang efektif dan cepat. Sekurang-kurangnya 20% anggota Komisaris haruslah merupakan orang luar untuk meningkatkan (a) efektifitas perannya sebagai pengelola, dan (b) transparansi musyawarah yang dilakukan oleh Direksi.
Jumlah Direksi yang merupakan orang luar pada akhirnya haruslah sedemikian rupa, sehingga suara yang mereka berikan mempunyai pengaruh terhadap segala keputusan penting yang diambil pada setiap Rapat Direksi. Direksi yang merupakan orang luar tidak boleh mempuyai ikatan dengan Komisaris dan pemegang saham yang mempunyai kontrol atas perseroan dan tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menjalankan tugas mereka dengan tanpa berpihak untuk kepentingan perseroan.
Oleh sebab itu, semestinya angota Direksi perseroan terbuka sekurangnya terdiri dari 2 (dua) orang. Direksi selaku organ perusahaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus mematuhi segala undang-undang dan peraturan yang berkekuatan huum serta Anggaran Dasar perseroan dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dalam kaitanya dengan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan ini, seorang Direksi harus menjalankan tugas-tugasnya dengan maksud baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas segala kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugasnya.
Direksi dalam pengertian ini sudah selayaknya apabila menyimpan buku-buku perseroan, menyiapkan dan menyerahkan Laporan Tahunan dan laporan keuangan tahunan kepada RUPS Tahunan serta membuat dan menyimpan daftar pemegang saham dan notulen RUPS. Berdasarkan Pasal 87 UUPT, seorang anggota Direksi harus mengungkapkan kepada perseroan segala kepemilikan sahamnya atau anggota keluarganya dalam perseroan atau dalam perseroan lainnya. Seorang anggota Direksi yang memiliki saham dalam perusahaan-perusahaan dimaksud harus melaporkan kepemilikan sahamnya kepada Bapepam.
Dalam Peraturan Nomor IX.I.6 IV-1 Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep- 45/PM/2004 Tentang Direksi Dan Komisaris Emiten Dan Perusahaan Publik Ketua Badan Pengawas Pasar Modal, Calon anggota direksi dan komisaris wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut;
a. mempunyai akhlak dan moral yang baik;
b. mampu melaksanakan perbuatan hukum;
c. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
e. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 1 peraturan ini wajib dipenuhi selama masa jabatan anggota direksi dan komisaris.
f. Anggota direksi dan atau komisaris dilarang baik langsung maupun tidak langsung membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan Emiten atau Perusahaan Publik yang terjadi pada saat pernyataan dibuat.
g. Anggota direksi dan atau komisaris bertanggungjawab secara sendiri-sendiri maupun tanggung renteng atas kerugian pihak lain sebagai akibat pelanggaran terhadap ketentuan angka 3 peraturan ini.
h. Anggota direksi dan atau komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri maupun tanggung renteng atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 peraturan ini, apabila anggota direksi dan atau komisaris yang bersangkutan telah cukup berhati-hati dalam menentukan bahwa pernyataan tersebut adalah benar dan tidak menyesatkan.
i. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran keten tuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.

c. Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan
Dalam pasal 92 UUPT menyebutkan bahwa Direksi dalam menjalankan perseroan harus berpegang teguh pada kepentingan perseroan serta sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Selengkapnya pasal ini berbunyi sebagai berikut;

(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
(3) Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
(4) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(5) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
(6) Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan, pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi.

Pertanggungjawaban Direksi ini selanjutnya diatur dalam pasal 97 UUPT. Selengkapnya pasal ini berbunyi;

1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.

Dari rumusan pasal 92 UUPT ini, dapat disebutkan bahwa antara perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit dua orang Direksi. Dengan kata lain, kuantitas Direksi dalam perseroan terbuka, dan perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat berbeda dengan kuantitas Direksi dalam perseroan tertutup.
Dalam pasal 93 UUPT disebutkan bahwa, seseorang tidak dapat diangkat menjadi Direksi apabila; dinyatakan pailit, menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit, atau dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

(1) Perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan.
(2) Perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah pengangkatannya batal, adalah tidak sah dan menjadi tanggung jawab pribadi anggota Direksi yang bersangkutan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi tanggung jawab anggota Direksi yang bersangkutan terhadap kerugian Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dan Pasal 104.

Pertanggungjawaban Direksi ini selanjutnya diatur dalam pasal 97 UUPT. Selengkapnya pasal ini berbunyi;

1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
e. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
f. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
g. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
h. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Direksi dalam tanggungnya sebegai pengurus dalam suatu perseroan berkewajiban untuk, membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan risalah rapat Direksi, membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan; dan memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dan dokumen Perseroan lainnya.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab Direksi ini, pasal 101 menyebutkan bahwa; anggota direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus. Kepada anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud di atas, menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan tersebut.
Dalam kaitannya dengan RUPS, Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk; mengalihkan kekayaan Perseroan atau menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud apabila dilakukan tanpa persetujuan RUPS, tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.
Dalam pasal 1 angka (4) Undang-Undang No. 47 Tahun 2007 disebutkan bahwa, Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Direksi dalam suatu perseroan sangat besar. Kondisi ini, sangat memungkinkan seorang Direksi menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya tersebut. Oleh karena itu, undang-undang yang bersangkutan berusaha untuk mengantisipasi keadaan ini. Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh undang-undang tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal tersebut di bawah ini;
Pertama, pasal 82 Undang-Undang No. 47 Tahun 2007 menentukan bahwa Direksi sebagai pihak yang mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, harus senantiasa memperjuangkan kepentingan dan tujuan dari pada perseroan.
Oleh karena itu, secara a contrario, pengurusan Direksi yang tidak atau bertentangan dengan kepentingan dan atau tujuan perseroan, terhadapnya dapat dimintakan pertanggungjawaban. Dengan kata lain, stakeholders dapat menuntut Direksi, apabila dapat dibuktikan bahwa, pengurusan yang dilakukannya tidak sesuai atau bertentangan dengan kepentingan dan atau tujuan dari perseroan yang bersangkutan. Hal dipertegas kembali oleh pasal 82 undang-undang yang sama.
Kedua, pasal 79 ayat (2) yang menentukan bahwa, terhadap perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana dari masyarakat, menerbitkan surat pengakuan utang dan Perseroan Tbk, wajib mempunyai paling sedikit anggota Direksi. Ditentukannya jumlah minimal anggota Direksi terhadap perusahaan-perusahaan sebagaimana disebutkan di atas, apabila dicermati lebih jauh, ketentuan tersebut ditujukan untuk mencegah terjadinya penyelewengan atau penyalahgunaan dari pada Direksi dalam melakukan pengurusannya. Komposisi Direksi tersebut, diharapkan lebih menjamin pengurusan yang dilakukan oleh Direksi tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Sehingga kepentingan perseroan juga stakeholders dapat terakomodasi.
Ketiga, pasal 79 ayat (3) yang menentukan bahwa, orang yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perserorang yang cakap melakukan perbuatan hukum, tidak pernah dinyatakan pailit, atau yang menyebabkan suatu perseroan jatuh pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Pasal ini juga ditujukan agar Direksi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Dengan kata lain, seseorang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, pernah dinyatakan pailit dan atau yang menyebabkan suatu perseroan jatuh pailit serta pernah dihukum karena melakukan tindak pidana maupun perdata, dapat diasumsikan bahwa orang-orang tersebut secara moral kurang mempunyai integritas. Oleh karenanya, orang-orang tersebut dirasakan tidak akan dapat menjalankan pengurusan suatu perseroan. Oleh sebab itu, merupakan hal yang wajar apabila mereka dilarang atau dianggap tidak layak untuk menjadi salah satu anggota Direksi.
Keempat, pasal 84, yang menentukan ketidakwenangan Direksi mewakili perseroan dalam hal terjadi perkara di depan pengadilan, antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan, atau anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan perseroan. Ketentuan ini, dimaksudkan agar dalam penyelesaian permasalahan atau sengketa tersebut, dapat menjamin kepentingan perseroan bukan Direksi yang bersangkutan. Merupakan hal yang tidak wajar, apabila Direksi sebagai pihak yang berperkara atau yang mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan perseroan, mewakili perseroan yang bersangkutan. Jadi pengecualian kepengurusan Direksi dalam pasal ini, ditujukan untuk menjamin terwujudnya tujuan dan kepentingan perseroan yang bersangkutan.
Kelima, pasal 85 ayat (1) undang-undang yang sama. Dalam pasal ini ditentukan bahwa Direksi dalam menjalankan kepentingan dan usaha perseroan wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Kemudian ayat (2) dari pasal yang sama menyebutkan bahwa, Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila dia bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Dari bunyi pasal 85 ini, dapat dipastikan bahwa, seorang Direksi harus senantiasa dengan itikad dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Konsekuensi dari tidak adanya itikad baik dari seoarang Direksi dalam menjalankan perseroan, kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian yang ditimbulkan. Pertanggungjawaban secara penuh secara pribadi juga dapat dimintakan kepada Direksi, apabila yang bersangkutan dapat dibuktikan melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam pengurusannya. Dari makna pasal 85 undang-undang perseroan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hal tersebut ditujukuan untuk menjamin terwujudnya kepentingan dan tujuan perseroan serta hak-hak dari pada stakeholders-nya.
Kemudian, pasal 87 undang-undang yang sama, disebutkan bahwa, anggota Direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya dalam perseroan yang bersangkutan. Hal ini ditujukan untuk menghindari terjadinya terabaikannya kepentingan perseroan. Dengan kata lain, adanya kepemilikan saham Direksi atau keluarganya dalam perseroan yang bersangkutan, tidak menutup kemungkinan bahwa kepengurusan perseroan yang dilakukan akan mengutamakan kepentingannya ataupun kelurganya. Oleh karena itu, undang-undang perseroan ini secara preventif mencegah terjadinya hal yang demikian. Dengan cara seperti ini, diharapkan kepentingan perseroan juga para stakeholders senantiasa terjamin.
Selanjutnya, pasal 88 undang-undang bersangkutan, mensyaratkan bahwa seorang Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan. Dari pasal ini, dipastikan bahwa pasal ini ditujukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan asseta atau harta kekayaan perseroan, karena hal tersebut jelas merugikan perseroan, stakeholders juda para kreditur perseroan.
Uraian tentang Direksi tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan proses pengangkatan Direksi yaitu melalui RUPS, dapat dikatakan bahwa Direksi yang diangkat tersebut adalah reprentasi dari pemegang saham mayoritas. Dikatakan demikian, karena seperti telah diuraikan pada bab-bab terdahulu bahwa, prinsip pengambilan keputusan dalam RUPS didasarkan pada jumlah suara atau prinsip satu saham satu suara. Kondisi ini memposisikan pemegang saham mayoritas dalam posisi yang kuat, sehubungan dengan pengangkatan Direksi dalam perseroan bersangkutan.
Proses pengangkatan Direksi tersebut, apabila dihubungkan dengan transaksi benturan kepentingan dan peranan Direksi dalam suatu perseroan, yaitu sebagai pihak yang secara faktual mengurus dan mewakili perseroan, sangat terbuka kemungkinan bahwa kewenangan Direksi tersebut akan digunakan untuk kepentingan pemegang saham mayoritas bukan perseroan ataupun pemegang saham minoritas. Dikatakan demikian, karena dilihat dari proses pengangkatan Direksi yang didasarkan pada perolehan jumlah saham, sudah barang tentu keputusan pengangkatan Direksi tersebut berada di tangan pemegang saham mayoritas bukan minoritas atau publik. Oleh karenanya Direksi yang diangkat adalah identik dengan pemegang saham mayoritas. Dengan kata lain, kepentingan Direksi, sangat identik dengan kepentingan pemegang saham mayoritas.
Melihat kenyataan tersebut di atas, sudah merupakan suatu keharusan untuk menyamakan hak para pemegang saham dalam pengangkatan Direksi. Melalui pemberian hak yang sama tersebut, diharapkan kepentingan perseroan dan juga para stakeholders dari perseroan yang bersangkutan dapat terakomodasi secara keseluruhan. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari Undang-Undang No. 47 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga Peraturan Bapepam No. IX.E.1 sebagaimana diuraikan di atas dapat tercapai.

3. Hak dan Tanggung Jawab Komisaris Dalam Perseroan
a. Wewenang Komisaris Dalam Perseroan
Bila direksi merupakan organ yang diberikan kewenangan untuk menjalankan perusahaan oleh pemegang saham, maka Komisaris merupakan organ “perwakilan pemegang saham.” Komisaris diangkat oleh RUPS. Sebagai wakil pemegang saham, Komisaris memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab (akuntabel) untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan. Komisaris juga “mitra” direksi dalam menjalankan kebijakan. Komisaris memberikan nasihat kepada Direksi. Tetapi Komisaris juga memiliki kewenangan untuk memberhentikan sementara anggota direksi dengan menyebutkan alasannya.

b. Tanggung jawab Komisaris Dalam Perseroan
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan GCG, Komisaris harus menjalankan segala kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik menurut UUPT maupun anggaran dasar serta peraturan-peraturan terkait lainnya. Lebih jauh lagi, Komisaris harus mematuhi segala hukum dan peraturan yang berlaku serta Anggaran Dasar perseroan dalam menjalankan tugasnya dan memastikan bahwa Direksi juga mematuhinya.
Dari uraian di atas, khususnya tentang komisaris, berdasarkan UUPT, Komisaris harus melaksanakan kewajibannya dengan maksud baik dan tanggung jawab penuh untuk kepentingan perseroan. Undang-undang memberikan wewenang kepada Komisaris untuk memberhentikan seorang direksi harus menandatangani laporan tahunan perseroan. Oleh karena itu, Komisaris mempunyai tanggung jawab hukum yang sama dengan Direksi atas laporan keuangan yang menyesatkan yang menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Berdasarkan UUPT, setiap Komisaris harus memberitahukan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya atau keluarganya dalam perseroan atau perseroan lainnya.
Untuk menjamin terlaksananya prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ini, dalam hal untuk memaksimalkan fungsi dari komisaris maka rapat Komisaris harus diadakan secara teratur, misalnya secara prinsip sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan. Komisaris harus menetapkan prosedur Rapat Komisaris dan setiap Komisaris harus diberikan salinan notulen setiap Rapat Komisaris.
Dalam kapasitasnya sebagai pengawas, sudah selayaknya Komisaris mempunyai akses terhadap informasi mengenai perseroan secara menyeluruh dan pada waktunya. Hal ini penting, mengingat informasi yang diperoleh oleh Komisaris tersebut dapat dimanfaatkannya baik sebagai masukan maupun sebagai dasar untuk melakukan investigasi maupun perbaikan terhadap managemen perusahaan.
Oleh karena itu, Komisaris tidak mempunyai wewenang eksekutif dalam perseroan (kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 100 UUPT), adalah kewajiban Direksi dan/atau para pemegang saham untuk memastikan pemberian informasi mengenai perseroan kepada Komisaris.

No comments:

Post a Comment